Pelayanan Konseling Kristen Profesional
Dari Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia
Reformed Broadcasting Ministry
Reformed Broadcasting Ministry
Konseling Online
Pelayanan konseling gratis online tersedia bagi Anda!
Buku Konseling Pastoral
Telah terbit buku Konseling Pastoral

Jumlah Pengunjung

3689523
Today
Yesterday
This Month
870
2157
23213


Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.

Pendahuluan
Tulisan kali ini adalah renungan pribadi yang saya ingin bagikan bagi mereka yang terbeban untuk pendidikan theologi. Renungan ini adalah suatu refleksi yang diharapkan dapat menjernihkan salah pengertian tentang apa dan bagaimana belajar di Sekolah Tinggi Theologi.

Pada umumnya orang berpikir bahwa Sekolah Tinggi Theologi adalah tempat di mana seorang belajar berkhotbah. Memang, khotbah (homiletika) merupakan salah satu mata kuliah yang mungkin diajarkan, tetapi khotbah hanyalah satu dari puluhan mata kuliah yang lain. Bahkan di banyak Sekolah Tinggi Theologi khotbah sama sekali tak pernah diajarkan. Lalu apa yang diajarkan? Mengapa perlu Sekolah Tinggi Theologi?

Ide tentang perlunya Sekolah Tinggi Theologi bagi hamba-hamba Tuhan bukanlah pemikiran abad XX. Sejak abad keempat bapak-bapak gereja seperti Agustinus, Panteaus, Clement dan Origen sudah benar-benar secara sering memikirkan kepentingan dari pendidikan yang setinggi-tingginya bagi hamba-hamba Tuhan. Dengan mempelajari filsafat (Platonis) mereka semakin menyadari betapa rahasia kehidupan manusia yang begitu kompleks hanya dapat dijawab oleh kebenaran-kebenaran firman Tuhan yang betul-betui mendalam. Mereka yakin bahwa theologi adalah ilmu yang paling tinggi dan paling agung mengatasi segala ilmu pengetahuan yang lainnya. Jikalau hamba Tuhan betul-betui ingin menjadi hamba Tuhan yang bertanggung jawab, ia harus mengenal ilmu theologi dan integrasinya dengan setiap aspek kehidupan (konsep Aristotelian). Untuk itulah kurikulum di Sekolah Tinggi Theologi menjadi begitu kompleks, meliputi begitu banyak mata kuliah yang harus dipelajari. Mata kuliah theologi itu sendiri bisa terdiri lebih dari sepuluh mata kuliah, belum lagi mata-mata kuliah Alkitab, filsafat, bahasa, pendidikan, psikologi, sejarah, dan sebagainya. Jumlah seluruhnya bisa mencapai lebih dari lima puluh mata kuliah, dan khotbah (homiletika) hanyalah salah satu dari lima puluh mata kuliah tersebut. Homiletika hanyalah satu bagian kecil di tengah keseluruhan kurikulum di Sekolah Tinggi Theologi. Jadi, meskipun khotbah merupakan hal yang sangat penting, belajar di Sekolah Tinggi Theologi tidak sama dengan hanya belajar ilmu berkhotbah.

Belajar di Sekolah Tinggi Theologi adalah belajar di tengah kondisi yang menuntut kemampuan dan kedewasaan yang penuh. Kemampuan saja tidak cukup, karena tanpa kedewasaan yang penuh, mata-mata kuliah yang begitu banyak tak mungkin dapat diintegrasikan dalam kehidupan dan pelayanan praktis. Kemampuan tanpa kedewasaan menghasilkan sarjana yang tidak hidup dalam kebenaran yang ia pelajari. Mungkin ia fasih dalam berkhotbah, tetapi ia tidak menghayati dimensi-dimensi "firman Allah" yang ia beritakan. la hanyalah pemain sandiwara, kehidupannya tidak integratif. Apa yang dipelajari tidak menjadi pengalaman pribadinya dengan kebenaran Allah. Kalaupun ia berhasil menjadi Sarjana Theologi, ia bukanlah hamba yang menjawab panggilan Allah.

Kedewasaan merupakan salah satu komponen yang terpenting dalam studi theologi, dan itu selalu ditandai oleh:

I. Kemampuan hidup dalam dimensi "religious"
Keunikan dari pelajaran dalam setiap mata kuliah di Sekolah Tinggi Theologi adalah adanya dimensi religious. Kalaupun mata kuliah yang diajarkan tidak secara langsung bicara tentang agama (religion], tetap keberhasilan studi dalam mata kuliah tersebut ditentukan oleh kemampuan mahasiswa menarigkap dimensi-dimensi religious yang tersedia. Edward Schillebeeckx (teolog Belanda) menyebut dimensi ini sebagai "personal communion between God and man" ("Revelation and Thelogy", Vol. 1. Trans. by. N. D. Smith. New York: Sheed and Ward, 1967, p. 93). Suatu pengalaman (dan bukan pemahaman cognitive) yang hanya dapat dibuktikan melalui peristiwa perubahan dan pembaharuan dalam hidup individu yang bersangkutan.

Charles Clock dalam tulisannya yang berjudul, "On the Study of Religious Commitment," menyebutkan tentang lima dimensi kehidupan rohani yang secara langsung mendapat dampak perubahan dan pembaharuan tersebut. Itu meliputi: (1) dimensi ideologi yang disebut religious belief, (2) dimensi ritual yang disebut sebagai religious practices, (3) dimensi experiential yang disebut sebagai religious feeling, (4) dimensi inteleklual yang disebut sebagai religious knowledge, dan (5) dimensi consequential yang disebut sebagai religious effects ("Religious Education", LVII, July - August. 1962. pp 98-100). Jadi, kalau betui individu tersebut hidup dalam dimensi religious ia akan mengalami arti "belajar" yang sesungguhnya. Dalam hidupnya terjadi proses "transfer" dari apa yang dipelajari secara cognitive di kelas ke dalam kehidupan praktisnya secara utuh.

Dengan dasar ini, mahasiswa theologi akan dibebaskan dari jerat sikap mental "belajar untuk menjadi pelayan agama." Mereka akan memahami betapa pengalaman dengan Allah yang hidup justru membebaskan mereka dari belenggu "agama" yang mematikan. Pengalaman dengan Allah akan membuat agama Kristen menjadi religionless Christianity (kekristenan tanpa agama) (Dietrich Bonhoeffer," Letters and Papers from Prison," Ed. by. E. Bethge. London: SCM, 1967. pp. 152-155). Tepatlah seperti yang dikatakan oleh Karl Barth bahwa, "the revelation of Cod is not only above all religions, but in its fullness and plenitude is actually destructive of a religion, (Penyingkapan diri Allah bukan hanya mengatasi semua agama tetapi bahkan di dalam kepenuhannya menghancurkan jerat-jerat agama yang mematikan)" ("Church Dogmatics," Vol. I, 2. Edinburg: dark, 1956, p. 280). Dimensi religious atau dimensi perjumpaan dengan Allah akan membebaskan individu tersebut dari "agama." la akan menyadari bahwa tingkah laku agama hanyalah simbol dari kebenaran yang lebih dalam. ia akan memlliki kekuatan memperbaharui simbol-simbol tersebut sesuai dengan pertanggungjawaban imannya kepada Allah.

Setiap calon Sarjana Theologi harus dapat hidup dalam dimensi religious ini. Meskipun secara praktis ia akan melakukan pelayanan dan kegiatan-kegiatan agama, ia bukanlah pelayan agama. la adalah pelayan (hamba) Allah. Pekerjaannya bukanlah suatu job melainkan "jawab atas panggilan Allah."

II. Kemampuan hidup dalam dimensi "theology"
Kalau dimensi religious membebaskan individu dari jerat "agama," maka dimensi theo/ogy adalah manifestasi cognitive dari kebenaran tersebut. Artinya, dimensi theology adalah sarah satu dimensi pertanggungjawaban iman di mana orang beriman "menformulasikan dan menjelaskan" apa yang dialami dalam dimensi religious tadi. Melalui theologi, pengalaman dengan Allah yang "incomprehensible" (di seberang akal budi), sekarang menjadi "knowable" (terfahami). Seperti yang Schillebeckx katakan bahwa, melalui theologi "the law of faith becomes visible in human thought" (hukum-hukum iman yang begitu abstrak menjadi objek yang terpahami akal budi manusia) (Edward Schillebeeckx, ibid, pp. 87-95).

Setiap momentum perjumpaan dengan Allah memiliki dimensi-dimensi yang begitu kaya yang tak mungkin dapat difahami dan dijelaskan secara sempurna. Oleh sebab itu visibilitas dari dimensi religious tetap merupakan visibilitas theology. Artinya, pengalaman dengan Allah menjadi visible hanya dalam konteks iman yang hidup (living faith). Walaupun ada kemungkinan orang percaya bisa menformulasikan pengalaman dengan Allah dalam theologi yang tepat, tetap visibilitas kebenarannya tidak secara otomatis dapat ditangkap olehnya. Individu tersebut harus berada pada momentum yang Karl Barth sebut sebagai primal history yaitu "moment which has no before and after" (momentum di luar ikatan sejarah dan ikatan hukum alam) ("The Epistle to the Romans," London: Oxford Univ. Press. 1933. p. 137). Suatu momentum "pemahaman cognitive" bersama dengan Allah.

Jadi, berada di dalam dimensi theology bukanlah suatu pengalaman natural dalam suatu proses belajar seperti biasanya. Tidak pernah ada seorangpun yang bisa memasuki dimensi theology di luar iman yang sejati. Mungkin secara cognitive seorang bisa memikirkan dan menformulasikan konsep-konsep theologi yang "benar." Tetapi tanpa iman yang hidup ia tidak pernah berada di dalam dimensi theology. Oleh sebab itu belajar di Sekolah Tinggi Theologi betul-betui melibatkan individu dalam suatu proses belajar yang sama sekali asing dan tak pernah dikenal di sekolah-sekolah yang lain.

Penutup
Dimensi religious dan dimensi theology merupakan keunikan-keunikan yang mungkin paling mudah diabaikan dalam konteks belajar di Sekolah Tinggi Theologi. Sebabnya oleh karena setiap mata kuliah di Sekolah Tinggi Theologi penuh dengan religious content (isi agamawi) yang seringkali dianggap "pada dirinya sendiri (an sich)" adalah kebenaran Allah. Oleh sebab itu hal mempelajari content tersebut biasanya disertai dengan munculnya pola-pola bahkan sistem kehidupan jiwa yang 'religious." Akhirnya makin lamaindividu yang bsrsangkutan makin tidak menyadari akan kepentingan dari dimensi religious dan dimensi theology yang sesungguhnya. la bisa mempelajari theologi sistematik (dogmatic), misalnya, tanpa keterlibatan langsung dengan Allah yang hidup. Untuk inilah Emil Brunner mengingatkan bahwa, "Dogmatics is not the Word of God” (“The Christian Doctrine of Cod: Dogmatics", Vol. I. Trans. by. Olive Wyon. Phil.: Westminster, 1950. p. v). Walaupun mungkin dogmatics yang dipelajari di Sekolah Tinggi Theologi benar-benar lahir dari pengalaman yang sejati dengan Allah, tetapi tanpa individu mahasiswa tersebut masuk ke dalam dimensi religious dan dimensi theology, ia hanyalah seorang mahasiswa yang mempelajari religious content, la hanya seorang mahasiswa. la bukan hamba Allah yang sedang diperlengkapi.

Daftar Konselor

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Esther Susabda, Ph.D.
Dr. Ir. Asriningrum Utami
Lanny Pranata, M.Th.
Siska Tampenawas, M.Th.
Lucia Indrakusuma, M.A.
Esther Gunawan, M.Th.
Vivi Handoyo, M.Th.
Debby M. Soeseno, M.Th.
Suherni Santoso, M.A.
Yohanna P. Siahaan, M.Th.
Yonathan A. Goei, Ph.D.
Sandra Mayawati, M.Th.
Suzanna Sibuea, M.Th.
Dan lain-lain.

Konseling Online

Jadwal Konseling Online
Senin-Jumat
(Kecuali Hari Libur)
10.30-12.00 WIB dan 20.00-22.00 WIB

Tentang Kami

Kontak Info

STT Reformed Indonesia (STTRI, dulu STTRII)
Jl. Kemang Utara IX/10, Warung Buncit
Jakarta Selatan, 12760
(Peta lokasi bisa dilihat/diunduh di sini.)

Telp            : (021) 7982819, 7990357
Fax            : (021) 7987437
Email          : reformed@idola.net.id
Website      : www.reformedindonesia.ac.id
    www.konselingkristen.org
Bank          : CIMB Niaga (Cabang Kemang)
No. Acc.     : 800073329000 (Rp.)
                      253.02.00081.001 (USD)
A/n              : Yayasan Lembaga Reformed Indonesia