Oleh : Pdt. Paul Gunadi Ph.D.
Menurut kamus bahasa Inggris Webster's New World Dictionary, kata illusion (yang kita indonesiakan menjadi "ilusi") berarti (a) gagasan atau konsep yang keliru dan (b) penampakan atau gambaran yang tidak nyata atau menyesatkan. Istilah "ilusi pernikahan" menohok telinga saya tatkala saya sedang duduk mengikuti ceramah yang disampaikan oleh Archibald Hart, mantan dekan fakultas psikologi Fuller Theological Seminary. Dr. Hart menjelaskan bahwa pada umumnya kita memasuki mahligai pernikahan dengan satu ilusi, yakni bahwa kita merupakan pasangan yang serasi. Setelah bertahun- tahun menikah berulah kita menjadi tidak cocok karena perbedaan- perbedaan yang kita miliki.
Bagi Dr. Hart, di sinilah letak ilusi pernikahan itu. Sesungguhnya kita memulai pernikahan dari ketidakserasian dan bukan dari keserasian. Tugas kita justru adalah menyerasikan diri dengan pasangan kita dan proses ini berlanjut terus menerus. Keserasian yang kita nikmati pada kurun pranikah sebenarnya sebuah ilusi belaka dan bersifat dangkal. Ibarat seorang anak yang ingin dibahagiakan, demikian pulalah kita pada waktu menikah. Tersembunyi dalam hati kita seuntai dambaan yang pada intinya bersumber dari kebutuhan- kebutuhan pribadi kita. Pasangan kita adalah orang yang paling tepat bagi kita karena menurut kita, ia dapat memenuhi kebutuhan itu. Pernikahan itu sendirilah yang akhirnya akan membangunkan kita dari mimpi ilusi ini. Sewaktu kita menyadari betapa banyaknya perbedaan di antara kita, yang terjadi bukanlah karena kita semakin menjadi tidak serasi, melainkan karena kita semakin diperhadapkan dengan realitas kehidupan itu sendiri. Memang kita tidak serasi dalam arti kita adalah dua manusia yang berlainan. Tugas utama kita dalam pernikahan ialah belajar menyerasikan diri dan ini harus dilakukan berulang kali.
Ilusi pernikahan bisa mengambil bermacam-macam bentuk namun pada umumnya ilusi itu berkenaan dengan kebutuhan pribadi kita. Misalnya kita beranggapan (dan berharap) bahwa pasangan kita mengerti (dan akan terus mengerti) kita. Sewaktu kita sedih, ia langsung dapat memahami kebutuhan kita akan sentuhan yang sensitif dan penghiburan yang hangat. Atau, kita menyadari kelemahan kita yaitu cepat naik darah alias pemarah. Kita pun berasumsi (dan berharap) bahwa pasangan kita mengerti sifat pemarah kita ini dan akan selalu mengalah atau setidak-tidaknya ia akan menahan emosinya tatkala kita sedang marah. Di sini yang kita butuhkan ialah seorang yang dapat mengendalikan emosi marah kita dan sekaligus bisa memberikan kita ruang gerak yang luas untuk mengumbar nafsu marah sewaktu kita membutuhkannya.
Ilusi bukan kenyataan! Ilusi membuai kita dalam kehangatan; kenyataan membuat kita mengigil kedinginan.
Saya kira kita tidak dengan sengaja menciptakan ilusi pernikahan. Saya pikir pada umumnya kita terperangkap masuk ke dalam ilusi. Alasannya sederhana sekali. Kita adalah makhluk yang berhasrat dan semua hasrat kita memiliki satu kesamaan yakni kebahagiaan. Apabila kita mengumpamakan hidup kita bak sebuah buku yang sedang kita tulis, kita berharap bahwa setiap lembaran yang baru akan lebih baik daripada lembaran yang sebelumnya. "Lebih baik" biasanya bermakna lebih bahagia atau lebih memuaskan kebutuhan kita. Oleh sebab itulah bagi kita, pernikahan mudah-mudahan merupakan lembaran hidup yang lebih baik atau lebih membahagiakan kita. (Siapa yang mau menikah kalau tahu bahwa pernikahan itu akan menyusahkan kita?)
Saya sendiri pun pernah terjebak di dalam ilusi pernikahan ini. Ilusi saya ialah, istri saya tidak mempunyai kebutuhan! Setidak- tidaknya saya berharap kalau pun ia mempunyai kebutuhan, ia akan dapat mengisinya sendiri. Saya juga berilusi bahwa ia akan dapat memahami panggilan hidup saya, tidak merepotkan saya, dan memberikan dukungan penuh kepada saya. Dalam kenyataannya, memang pada umumnya ia mengisi kebutuhannya sendiri, memahami panggilan hidup saya, tidak merepotkan saya, dan memberikan dukungan penuh kepada saya. Namun tidak selalu! Yang "tidak selalu" itu sedikit, yang lain jauh lebih banyak, malah sebagian besar. Tetapi yang sedikit itu cukup bertenaga untuk membocorkan balon ilusi saya. Akibatnya adalah disillusion, yang didefinisikan Webster's sebagai (a) lepas dari ilusi dan (b)lenyapnya idealisme serta menimbulkan kepahitan.
Mungkin ada di antara Saudara yang mempunyai pengalaman yang serupa!
Jika ya, jangan khawatir! Di dunia ini ada sejumlah pasangan yang telah melalui proses ilusi dan disillusion, namun tidak berakhir dalam dissolution yang berarti pecah berkeping-keping atau berakhir. Mereka berhasil menemukan solusi, yaitu jalan keluarnya. Di bawah ini saya akan mencoba menawarkan beberapa jalan keluar yang mudah- mudahan bermanfaat.
Pertama, sadarilah bahwa keserasian bersifat temporer (sementara), bukan permanen (terus-menerus). Keserasian bersifat sementara karena ia merupakan hasil dari suatu karya bersama. Selama kerja sama itu berlangsung dengan baik, selama itu pulalah kerja sama itu akan menghasilkan keserasian. Sebaliknya, apabila kerja sama itu terhenti, berhenti pulalah keserasian. Pada usia pernikahan kami yang kesebelas ini, saya semakin menyadari bahwa hubungan saya dengan istri saya merupakan sesuatu yang memerlukan pemeliharaan dan penjagaan terus-menerus. Tatkala saya dan istri saya berhenti menjaganya, timbullah keretakan. Salah satu ilusi pernikahan saya adalah, kami akan selalu serasi sebab hubungan pranikah kami lumayan serasi. Ternyata saya keliru. Keserasian hari ini tidaklah menjanjikan apalagi menjamin keserasian pada hari esok. Hari esok memerlukan pemeliharaannya tersendiri. (Berhati-hatilah dengan kebalikkannya: Ketidakserasian hari ini lebih menjanjikan dan menjamin ketidakserasian hari esok!)
Kedua sadarilah bahwa keserasian bersifat bertahap (dari dangkal ke dalam), bukan datar. Sudah tentu ada keserasian pada masa pranikah, namun biasanya masih bersifat dangkal. Kedalaman dari suatu keserasian berkembang seiring dengan kedalaman hubungan itu sendiri. Betapa seringnya kita mengeluh bahwa kita sekarang tidak serasi dan di dalam keluhan ini tersirat suatu anggapan bahwa dahulu kita serasi. Bahkan ada di antara kita yang mengalami kekecewaan karenanya. Hubungan suami-istri yang sehat mengakar ke dalam dan akan melalui beberapa tahapan. Misalnya saja dalam hal rasa saling percaya. Pada tahap awal kita percaya bahwa pasangan kita tidak akan mengkhianati kita dan berselingkuh dengan orang lain. Semakin dalam hubungan kita bertumbuh, semakin mengakar rasa saling percaya kita dan semakin luas jangkauannya. Rasa saling percaya itu tidak lagi terbatas pada hal pengkhianatan atau perselingkuhan. Sekarang rasa percaya itu semakin meresap masuk ke dalam komunikasi kita sehingga semakin mengokohkan hubungan kita. Tatkala pasangan kita meminta maaf atas ucapannya yang menyinggung kita, kita sungguh-sungguh percaya bahwa ia memang menyesali perbuatannya. Sewaktu ia berujar bahwa ia tidak berniat melukai hati kita, kita pun siap mempercayai motivasinya. Nah, bayangkan apabila rasa saling percaya sudah hilang dari hubungan kita. Tidak pelak lagi, kita akan menyangsikan permintaan maafnya dan penyesalannya. Saya kira akibatnya jelas sekali: Hubungan kita akan memburuk! Hubungan yang sehat terus bertumbuh ke dalam dan rasa saling percaya adalah bagian dari hubungan yang sehat, jadi, ia pun perlu bertumbuh ke dalam. Kita pun harus menyerasikan diri lagi tatkala kita memasuki tahap selanjutnya dari hubungan kita itu.
Ketiga, acap kali keserasian muncul dalam keadaan terpaksa, bukan hasil perencanaan kita. Biasanya konflik atau perbedaan pandangan menjadi titik berangkat munculnya keserasian dan saya yakin, tidak seorang pun di antara kita yang merencanakan konflik. Dua individu yang berlainan sudah tentu memiliki banyak perbedaan dan perbedaan -perbedaan ini tidak mungkin ditayangkan semuanya sekaligus. Ibarat perahu yang sedang berlayar dan harus mendarat di beberapa pulau yang berbeda kondisinya, kita pun hanya dapat menyesuaikan diri tatkala sudah memasuki suatu pulau tertentu, bukan sebelumnya. Biasanya konflik timbul tatkala kita berada di dalam situasi yang baru dan sesiap-siapnya kita mengantisipasi keadaan tersebut, konflik tetap muncul. Inilah yang saya maksud dengan perkataan "terpaksa", yakni oleh karena konflik sudah di depan mata, maka tak bisa tidak, kita harus menghadapinya secara "terpaksa". Namun ini adalah bagian dari pertumbuhan kita. Kembali kita menyerasikan diri karena kita telah mendarat di sebuah "pulau" yang baru dan keserasian kita pun diuji lagi. Begitulah seterusnya.
Dr. James Dobson pernah berkata bahwa membesarkan anak ialah tugas bagi orang yang pemberani. Saya ingin menambahkan kalimatnya, yaitu membina pernikahan yang sehat adalah tugas bagi orang yang pemberani pula. Berani merendahkan diri; berani menerima dan mengakui kesalahan ; berani meminta maaf; berani belajar dari pasangan kita; berani dilukai; berani mengambil risiko; berani mengikat ego atau ke- AKU-an kita tatkala ia ingin berlari dengan bebas dan adakalanya, liar. Mencocokkan diri agar serasi bukanlah untuk mereka yang pengecut karena mencocokkan diri menuntut kita mengesampingkan si "AKU". Ho Hsiao Tung melukiskan pergumulan kita melawan si AKU dalam lagunya yang berjudul, Tiga Musuh. * Saya persembahkan lagu ini untuk Saudara sekalian-sesama rekan dalam proses mencocokkan diri.
- Tiga Musuh -
Ku ada tiga musuh, ialah kusendiri
S'lalu tak taat Tuhan, ingat'kan jasmani
Aku ingin serta Hu, tapi ku tak sanggup
Si aku yang ku benci, halangi kehendak-Nya.
(*) Puji-pujian Kristen, penerbit Seminari Alkitab Asia Tenggara, dicetak dengan seizin penerbit.