Kedua istilah yang menjadi judul di atas diambil dari ilmu terapi keluarga, yang dalam bahasa asalnya berbunyi ‘The Enabler’ (yang memungkinkan) dan ‘Codependency’ (kesaling-tergantungan). Kedua istilah ini mewakili dua konsep yang berujung-pangkal dari hubungan suami-istri yang tidak sehat. Pada dasarnya hubungan suami-istri merupakan suatu hubungan kesaling-tergantungan. Pada hakekatnya, semua hubungan yang mencakup pemberian kepercayaan melibatkan unsur ketergantungan. Misalnya, dalam hal pemberian kepercayaan bahwa pasangan kita akan setia kepada kita. Tidak bisa tidak, kita harus menggantungkan sebagian dari hidup kita (dalam hal ini, ketentraman) pada pasangan kita. Sebelum menikah, aspek ketentraman ini tidaklah bergantung pada orang lain, sebab kita sendirilah yang menyediakannya. Namun begitu kita menikah, kita pun membuka diri dan menyerahkan sebagian dari kebutuhan akan ketentraman ini kepada pasangan hidup kita. Oleh sebab itulah, ada di antara kita yang berkelahi habis-habisan melawan ketergantungan ini. Pada umumnya, saya rasa alasannya jelas, yaitu kita tidak ingin dilukai. Bergantung berarti bersandar yang membuat keseimbangan kita pun pada akhirnya bertumpu pada sandaran itu. Jika sandaran bergerak, kita mudah terjatuh.
Konsep kesaling-tergantungan juga bisa mengacu kepada hal bergantung pada pasangan untuk melengkapi kekurangan kita. Tidak ada manusia yang sempurna; oleh sebab itu, tidak ada hubungan nikah yang sempurna pula. Kekurangan masing-masing menjadi tugas masing-masing untuk melengkapinya. Kekurang-mampuan saya untuk merasakan emosi mengalami cukup banyak kemajuan setelah saya hidup dengan Santy (istri saya); sebaliknya, ia pun makin hari makin terbiasa menggunakan pertimbangan rasional.
Kedua pemahaman di atas adalah contoh dari kesalingan-tergantungan yang sehat, dalam arti, memang seharusnyalah demikian, dan masing-masing mendorong satu sama lain untuk bertumbuh ke arah yang sehat.
Kesaling-tergantungan bisa berubah menjadi tidak sehat yakni apabila kita melestarikan kekurangan pasangan demi pemenuhan keinginan pribadi kita yang tidak sehat. Ini yang dimaksud dengan konsep ‘codependency’. Misalkan, ada suami yang mengekang kebebasan istri yang pasif dan penuh keragu-raguan. Makin dikekang, makin bertambah pasif dan ragu-ragu, dan makin bergantung ia kepada suaminya. Si suami tahu bahwa kepasifan dan keragu-raguan istrinya merupakan suatu kekurangan karena pada akhirnya membebani dirinya. Namun disadari atau tanpa disadari, si suami terus mengekang kebebasan si istri, karena peranan dan fungsinya sebagai suami dan kepala keluarga baru dirasakannya apabila si istri bergantung padanya. Dengan kata lain, dalam kasus ini, si suami melestarikan kelemahan istrinya agar kebutuhannya untuk menjadi suami yang berfungsi dapat tercapai. Keduanya saling bergantung tetapi ketergantungan mereka malah menjerumuskan mereka ke masalah-masalah yang lebih dalam.
Istilah ‘yang memungkinkan’ (‘enabler’) merujuk kepada orang yang melestarikan hubungan kesaling-tergantungan yang tidak sehat ini. Sedangkan konsep ‘memungkinkan’ mengacu kepada perbuatannya sendiri. Dalam kasus tadi, si suami menjadi orang ‘yang memungkinkan’ kelemahan istri untuk terus berakar dan berbuah. Si suami membuat si istri makin tidak percaya diri, dan semua itu dilakukan si suami agar keinginan pribadinya terpenuhi. Keinginannya tidak sehat karena dialaskan atas keinginan si suami menjadi sosok otoritas yang tak terganggu gugat.
Ada satu contoh lagi. Rasa malu adalah suatu reaksi terhadap sesuatu yang memalukan dan rasa malu ini akan bertumbuh lebih besar apabila lebih banyak orang yang mengetahui perihal yang memalukan kita itu. Misalkan ada seorang anak remaja yang sering mencuri, berbohong, dan terlibat dalam penggunaan zat-zat terlarang, seperti ekstasi dan marijuana. Si ayah berpendapat bahwa anak ini memerlukan pertolongan dan harus dilakukan secara professional. Si ibu bersikeras bahwa anak ini hanya sedang mengalami ‘gejolak pubertas’ dan akan insyaf dengan sendirinya. Si ibu menolak gagasan si ayah untuk mencari pertolongan pihak ketiga, dan meminta agar si ayah bersabar.
Sesungguhnya hal yang melatar-belakangi kesabaran si ibu adalah rasa malunya. Baginya ini adalah masalah keluarga dan tidak seharusnya diketahui oelh pihak luar. Rasa malunya bersumber dari ketakutannya bahwa orang lain akan menuduhnya sebagai orangtua yang gagal, tidak beres, dan tidak mampu membesarkan anak. Tak terbayangkan betapa hitam arang aib yang akan dicorengkan di wajahnya.
Lebih-lanjut lagi, secara tidak langsung si anak juga memberikan ‘sesuatu’ kepada ibunya. Si anak adalah satu-satunya anak yang paling dekat dengan ibunya. Ia paling memperhatikan perasaan ibunya dan juga paling membelanya. Si anak selalu berjanji untuk bertobat dan janjinya ini disertai permohonan agar ibunya tidak menghubungai pihak ketiga. Ia sendiri bisa berubah. Si ibu tidak ingin melihat hubungannya yang dekat dengan si anak terganggu; jadi, akhirnya iapun senantiasa menuruti permintaan anaknya. Masalahnya adalah, ketakutannya menanggung aib dan keinginannya mempertahankan keakraban dengan si anak melebihi kesadarannya bahwa anak ini perlu ditolong. Demi pemenuhan keinginannya inilah, ia membiarkan si anak makin hari makin menjadi rusak, walaupun harga yang harus dibayarnya juga mahal: keluarganya makin berantakan !
Di sini si ibu menjadi sosok ‘yang memungkinkan’ (enabler) dan ia terlibat dalam hubungan ‘kesalingan-tergantungan’ (codependency) yang tidak sehat dengan si anak.
Tidak mudah menyelesaikan masalah-masalah di atas. Namun langkah pertamanya jelas, kita harus berani mengakui suatu masalah sebagai masalah. Kedua, kita perlu berani menilik peran sumbangsih kita dalam masalah yang timbul. Janganlah kita mengulangi kesalahan Adam yang dengan mudah menyalahkan Hawa. Bukankah pada akhirnya semua, termasuk Adam, menerima ganjarannya ?