Sebut saja namanya Lina. Wajahnya tegang dan suaranya menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan. Usianya 40 tahun dan ia hidup bersama dengan dua putranya, usia 12 dan 14 tahun. Sudah 4 tahun terakhir ini, Lina berpisah dengan suaminya yang memutuskan untuk hidup dengan seorang wanitaa lain dan jarang sekali menjenguk Lina serta anak-anaknya. Lina sekarang harus bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Ia mengeluh betapa sepi hidupnya sekarang dan betapa ia membutuhkan seorang rekan yang dapat mambantu dia mengasuh anak-anaknya yang sudah remaja ini. Makin hari ia merasa makin lemah, seakan-akan semua energinya sudah terkuras habis. Ia pernah berpikir – hanya berpikir – untuk mengakhiri hidupnya, tetapi ia merasa kasihan kepada putra-putranya yang masih membutuhkannya. Entah nanti, pada waktu mereka sudah akil balig. Mungkin ia akan berpikir lain… Mungkin ia akan melakukannya jika pertolongan tidak kunjung datang. Mungkin !
Meskipun Lina hanyalah suatu kasus imajiner dalam benak saya, tetapi cerita hidup seperti yang ia alami bukanlah jarang terjadi. Ada suami yang meninggalkan istrinya karena alasan ‘sudah jenuh’. Ada yang pergi untuk ‘mencari kebebasan’. Ada juga yang beralasan ‘sudah tidak cocok, buat apa berpura-pura lagi’. Malah ada yang lebih berani lagi. Dalam suatu ceramah keluarga, seseorang pernah menanyakan, apa yang ia harus perbuat menghadapi suami yang sering berhubungan dengan wanita lain dan berkata kepadanya, “Hidup hanya sekali, dan saya ingin bersenang-senang !”
Acapkali wanita menajdi korban pernikahan karena lebih banyak pria yang meninggalkan pernikahan daripada sebaliknya. Apakah ada yang dapat wanita lakukan untuk melindungi pernikahannya dari perpisahan seperti ini ? Jawabannya tidak sesederhana pertanyaannya, bahkan kompleks. Namun demikian, ada beberapa tindakan yang wanita dapat lakukan meskipun tidak menjamin keutuhan rumah-tangganya.
Bagi yang belum menikah, pilihlah suami yang mencintai Tuhan Yesus dan memberi tempat terutama bagi Kristus dalam hidupnya. Saya menyadari ada anak-anak Tuhan yang tetap menyeleweng setelah menikah, namun pada umumnya seorang pria yang mencintai dan tunduk kepada Kristus sebagai pusat hidupnya, akan berusaha hidup dalam takut akan Tuhan.
Bagi yang sudah menikah, doronglah dan kuatkanlah suami Anda di dalam Tuhan. Seyogyanya suami menjadi pemimpin rohani dalam keluarga dan mengambil inisiatif membina kerohanian keluarganya. Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua anak Tuhan yang menjadi suami menjalankan apa yang Tuhan kehendaki. Dalam keadaan seperti ini, wanita jangan tetap menantikan kepemimpinan rohani suami; ia sekarang harus mengambil inisiatif untuk membina kehidupan rohani keluarganya.
Misalnya, seminggu sekali ia dapat mengajak keluarganya untuk beribadah bersama di gereja dan juga di rumah. Setiap malam ia dapat berdoa bersama dengan anak-anaknya serta suaminya. Sebelum berdoa dengan suami, ia dapat membacakan beberapa ayat Alkitab sebagai bahan renungan. Dalam doanya ia menyebut semua nama anggota keluarganya termasuk suaminya, memohon kepada Tuhan untuk selalu melindungi dan memimpin mereka.
Saya percaya suasana rohani seperti ini akan memberikan nafas rohani ke dalam keluarga dan lebih dari itu, Tuhan pun akan terus bekerja dalam hati suami melalui Firman dan doa yang ia dengar setiap hari melalui mulut istrinya. Firman Allah yang hidup dan doa yang ia dengar akan terus menggaung dalam hati suami sepanjang hari, sebagai petunjuk jalan dan penguasa hidupnya. Seorang istri harus dapat mengambil inisiatif membina kerohanian keluarga tatkala ia melihat suaminya sudah mulai jauh dari Tuhan atau memang tidak pernah dekat dengan Tuhan.
Suami membutuhkan dorongan dan doa istrinya karena pria memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Seringkali pria harus menghadapi berbagai tekanan dalam pekerjaannya dan ia membutuhkan kelegaan atau pelepasan setelah hidup dalam ketegangan. Ini sesungguhnya suatu siklus yang wajar, sebab kita tidak dapat berada dalam keadaan penuh tekanan yang tak henti-hentinya. Setelah kita mencurahkan tenaga dan pikiran kita secara penuh, kita memerlukan celah-celah waktu santai untuk menyegarkan jiwa dan raga. Dimana dan bagaimana kita mencari penyegaran ini sangatlah penting karena tanpa pimpinan dan Firman Tuhan, kita dapat terperosok ke tempat dan cara yang penuh jebakan dosa.
Dibandingkan dengan wanita, pria pada umumnya lebih lemah dalam hal-hal seperti ini. Pria yang secara natur alami lebih bersifat fisik, biasanya membutuhkan penyegaran yang bersifat fisik pula. Wanita cenderung merindukan kelegaan yang melibatkan sentuhan kasih dan pengertian. Akibatnya, suami lebih rawan merangkul godaan fisik yang dapat memberi ‘penyegaran sementara’ kepadanya, misalnya hubungan seksual.
Saya minta maaf jika saya memberi beban tambahan kepada istri yang sebenarnya sudah banyak menanggung beban keluarga. Bukan maksud saya memanjakan suami dan melemparkan semua tanggung-jawab kepada istri. Saya hanya ingin menawarkan satu cara pencegahan yang dapat istri lakukan.
Apakah suami tidak berperan serta membina keutuhan keluarga ? Sudah tentu suami seharusnya berperan-serta dan saya menyadari banyak suami yang telah menunaikan tanggung-jawab dan menjaga kesetiaan mereka. Namun saya tidak membicarkan tentang keluarga yang sehat dan tidak terganggu oleh masalah rumah-tangga. Saya sedang memfokuskan pada rumah-tangga yang goyah dan istri yang merasa frustrasi sera putus-asa karena suami yang seharusnya terlibat dalam pembinaan rumah-tangga, sekarang bersikap masa-bodoh terhadap kebutuhan istri dan keluarganya. Saya ingin mengatakan kepada para istri, bahwa membawa keluarga kepada Kristus melalui doa dan perenungan Firman Tuhan adalah langkah pencegahan yang efektif. Kita semua dapat mulai dari sini, Karena Tuhan kita Yesus Kristus telah membuka pintu leber-lebar bagi kita untuk masuk ke dalam hadiratNya.