Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Kejujuran seringkali hadir secara dilematik ditengah kehidupan yang berdosa ini. Pertanyaan "apakah saya harus jujur dalam segala hal terhadap pasangan saya?" merupakan pertanyaan yang secara teoritis jelas dan mudah untuk dijawab, tetapi secara praktis selalu menyisakan berbagai kemungkinan dan ekses. Kita tahu bahwa Iblis adalah bapak semua pendusta (Yoh 8:44). Tetapi apakah sebenarnya "dusta?" Apakah dusta dan kejujuran merupakan dua hal yang selalu bertolak belakang, atau sebenarnya bisa mempunyai titik temu integrasinya dalam konteks-konteks hidup tertentu? Untuk itu perhatikanlah kasus dibawah ini.
Pak Benny (bukan nama sebenarnya) sudah pernah jatuh dalam perzinahan yang mendalam dengan rekan kerjanya, seorang wanita yang juga sudah menikah. Hubungan pribadi tersebut secara rutin dilakukan disebuah hotel selama beberapa bulan, sampai keduanya jenuh dan menyadari kekeliruannya. Pak Benny bertobat. Secara bertahap ia mulai mengalami pertumbuhan rohani. Ia sadar dan belajar membenci dosa-dosanya. Hubungan dengan wanita tersebut sudah putus sama sekali.
Dalam suatu sharing di persekutuan pasangan muda Kristen di gerejanya, Pak Benny menceritakan rasa syukurnya kepada Tuhan yang sudah membebaskan diri dari jerat dosa perjinahan. Ia tidak menceritakan detail peristiwanya. Tetapi ia tidak waspada bahwa sharing tersebut mempunyai dampak yang ternyata sangat serius dalam jiwa bu Benny. Ibu Benny shock berat, dan sejak malam itu terus menerus dihantui kegelisahan, takut dan bahkan kepercayaan maupun cintanya pada Pak Benny mulai hilang. Ia menuntut detail, apa yang terjadi, mengapa bisa demikian, dengan siapa itu dilakukan, bahkan bagaimana itu dilakukan merupakan pertanyaan yang terus-menerus diajukan pada suaminya, yang lebih banyak bungkam.
Pak Benny sangat kuatir akan masa depan pernikahan dan keluarganya. Ia mengakui hubungan dengan istrinya kurang harmonis. Ia tahu ia sendiri punya banyak kelemahan, dan ia juga tahu istrinya adalah satu pribadi yang sulit bergaul dan pendendam. Hubungan dengan mertuanyapun (dengan ibu dari Pak Benny) tidak pernah membaik. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia jujur dan menceritakan segala-segalanya pada istrinya?
Coba bayangkan kalau Pak Benny datang kepada anda untuk konseling. Mungkin beberapa tips dibawah ini dapat anda pakai.
I. Listening
Sebagai konselor anda perlu menajamkan "telinga hati" anda dan menangkap (listen) apa realita hidup yang ia hadapi, bagaimana ia melihat dan menafsirkan realita tersebut (pola pikirnya), bagaimana pola kerja emosinya saat itu, dan apa yang sebenarnya ia butuhkan dan apa yang ia kehendaki. Jadi "listening" bukan hanya mendengar isi cerita atau keluhannya saja, tetapi keunikan Pak Benny dibelakang apa yang ia keluhkan. Dari sana anda akan mulai mengerti "how serious" persoalan tersebut baginya dan bagaimana ia memahami persoalan tersebut. Kalau ia kuatir, kekuatirannya terletak dimana? Mengapa demikian? Apa kekuatirannya beralasan?
Pertobatan Pak Benny memang mempunyai bukti, tetapi pertobatan tidak dengan sendirinya mematikan selera perjinahan seorang dan bisa mengubah konsepnya tentang hubungan suami-istri. Bahkan tekad seorang untuk meninggalkan perzinahannya tak selalu disertai tumbuhnya selera dan keinginan untuk mencintai dan mengasihi istrinya. Apalagi kalau hubungan suami-istri ini, selama ini tidak harmonis.
Rupanya dalam sistim yang sudah terbentuk, Pak Benny cenderung menilai istrinya secara negatif. Barangkali baginya bu Benny bukan wanita yang "lovable/pantas dicintai" karena mempunyai berbagai kelemahan pribadi yang cenderung memperkuat gap hubungan antara mereka berdua. Jadi kekuatirannya untuk mengatakan apa adanya sangat beralasan, bu Benny belum atau tidak siap mendengar lebih dari yang sudah didengar. Kejujuran yang ditunda tidak selalu berarti dusta.
Coba dengar motivasi dibelakang kekuatirannya. Mengapa dia kuatir dan apa sebenarnya yang sedang dikuatirkannya? Apakah kekuatirannya timbul oleh karena selama ini ia sudah mencoba dan sedang merasakan pertumbuhan hubungan dengan istrinya, atau kekuatirannya semata-mata lahir dari hubungan yang selama ini semakin memburuk. Coba "listed' akan konteks kehidupan pernikahan mereka yang sesungguhnya yaitu apa dan bagaimana realita hubungan suami-istri ini sekarang. Kemampuan untuk "listening" itulah yang akan memberikan "understanding/pengertian" atas sikap, pikiran, dan perasaan Pak Benny yang menunda atau tidak menceriterakan detail perbuatannya. Akhirnya konselor akan tahu apakah alasan dibelakang penundaan tersebut dapat dibenarkan.
II. Empathy
Dengan bekal "listening," anda sebagai konselor mempunyai modal untuk "empathy/dapat merasakan yang dirasakan klien." Anda mulai dapat merasakan posisinya yang sulit yang menempatkan dirinya dalam sikap ambivalensi. Berhadapan dengan istrinya, Pak Benny harus dapat memilih untuk memainkan peran yang "terbaik yang ia mampu perankan" demi untuk kebaikan bagi seluruh keluarganya. Bahkan jikalau bu Benny seorang individu yang matang pribadinya sehingga siap untuk menerima apa adanyapun, kejujuran belum tentu harus diartikan "menceritakan detail peristiwanya." Alasannya, oleh karena hidup yang berdosa ini selalu masih menyisakan hal-hal jahat yang diri kita sendiri kadang-kadang tidak siap untuk menghadapinya. Seperti yang dikatakan oleh Feodor Dostoevski, novelis Rusia abad XIX, bahwa dalam lubuk hati manusia selalu ada "something that one can not reveal except to his or her friend, even though in secret ... but, there is something else that he or she can not reveal even to his or her friend ... he or she can only reveal to him or herself ... but, there is something more that one can not reveal even him or herself."
Jadi, berempatilah dengan pergumulan Pak Benny. Ia sendiri masih ada didalam proses pertobatan dan kesembuhan. Ia sendiri masih membutuhkan pertolongan orang lain. Bijaksana yang ia butuhkan mungkin tidak lebih dari sikap yang baik ditengah "silent" dan rela menerima segala akibatnya. Kejujuran melalui sharing di persekutuan barangkali merupakan kejujuran yang sudah cukup.
Konselor perlu merasakan kegelisahan dan pergumulan Pak Benny juga dalam menghadapi kelemahan dirinya sendiri. Memang Pak Benny sudah bertobat, tetapi sekali lagi pertobatan tanpa pertumbuhan tak pernah benar-benar memperbaharui kehidupan seorang. Alkitab menyaksikan, bahwa untuk sakit-penyakit badani dan untuk kerasukan setan, pertolongan Tuhan biasanya instant, tetapi tidak untuk kelemahan watak dan kepribadian. Daud dan semua anak-anak Tuhan melewati proses pergumulan iman yang sulit dan panjang untuk mengatasi dosa-dosa yang berakar dalam jiwa mereka. Paulus yang menyadari kehadiran dosa yang seringkali tak terhindarkan (Roma 7:15-18) telah mengambil sikap melatih tubuhnya sedemikian rupa supaya dapat menguasainya (I Kor 9:27). Begitu juga Petrus yang menemukan perlunya kelengkapan komponen-komponen keselamatan yang sejati jikalau ia tidak ingin melihat dan mengalami kehadiran dosa-dosa yang lama (II Pet 1:3-9). Jadi, benarlah yang dikatakan orang bahwa "It is easier for God to create the whole universe than to help a Christian grows." Memang sulit bagi setiap orang termasuk Pak Benny untuk benar-benar hidup bebas dari selera dosa perzinahannya. Empati akan menolong konselor ikut merasakan pergumulan dan kesulitannya sehingga spirit empati tersebut menjadi kekuatan tambahan bagi Pak Benny untuk melihat proses pertobatannya dengan optimis.
Mungkin suatu hari kelak, setelah ia benar-benar mengalami pertumbuhan rohani, ia akan menemukan cara mengkomunikasikan kejujurannya dengan lebih bijaksana. Masalah mereka bukan hanya masalah kejujuran atau dusta. Masalah mereka adalah masalah masing-masing pribadi yang belum tumbuh, dan masalah hubungan antar mereka yang masih perlu ditolong melalui psikoterapi. Masih banyak yang harus dikerjakan oleh konselor. Bersyukurlah untuk hak istimewa yang Tuhan berikan kepada anda untuk menjadi penolong bagi sesama. Tuhan memberkati.