Jumlah Pengunjung

000286
Today
Yesterday
This Month
286
0
286


Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.

A child is the father of a man(anak sebenarnya adalah bapaknya manusia). Maksudnya, bagaimana jadinya manusia nanti tergantung dari kualitas kehidupan anak-anak sekarang. Di tengah proses pembentukan pribadi, apa yang dialami anak tak ubahnya sentuhan pahatan yang membentuk wujud manusia yang akan datang. Seorang psikiater Kristen, Dr. Frank Minirth pernah mengatakan,

“kalau kedua orang tua sibuk dan tak pernah ada waktu, maka kebutuhan ketergantungan pada orang tua tak terpenuhi. Anak-anak akan merasa tidak mempunyai pegangan hidup, cenderung depresi, tidak mampu mengatasi konflik-konflik batin, dan tidak siap memasuki kehidupan sosial dengan sesamanya. Kalau orang tua tak pernah memperlakukan anak sebagai satu pribadi yang utuh, anak cenderung mengembangkan kepribadian dengan jiwa yang sakit (schizophrenia). Kalau orang tua kasar dan kejam anak akan cenderung membawa rasa bersalah tanpa alasan, curiga, sulit mempercayai (paranoid), punya sikap negatif terhadap sesama, tak dapat menahan emosi dan tak dapat mengontrol tingkah-lakunya (compulsive). Kalau orang tua memanjakan, anak akan cenderung mempunyai jiwa histeris. Kalau kedua orang tua sering bertengkar, anak mempunyai jiwa yang terus cemas dan merasa tidak aman.” (“Why Christian Crack-up,” in Moody Monthly, Feb, 1982, p. 15).

Betapa krusialnya peran dan tanggung jawab orang tua. Sayang sekali banyak orang bersedia menikah, membentuk keluarga, dan mempunyai anak tetapi tidak betul-betul menyadari akan beban dan tanggung jawab yang menyertainya. Umumnya mereka berasumsi bahwa pendidikan anak merupakan hal yang natural, sehingga tak perlu dipersiapkan dan dipelajari oleh orang tua. Mereka berpikir bahwa pada masa prasekolah (balita) kebutuhan anak hanyalah makan, tidur dan bermain. Sehingga baby sitter dapat menggantikan peran orang tua.

Mereka tidak sadar bahwa lima tahun pertama kehidupan anak justru masa yang sangat krusial karena 70-80% pembentukan kepribadian anak ada di sana. Bagaimana anak dapat menjadi manusia seutuhnya yang dapat mempercayai sesamanya, bekerja sama dengan sesamanya, bahkan berani menciptakan jiwa saling ketergantungan dengan sesama, terbentuk pada dua tahun pertama dalam kehidupannya. Kemudian setelah itu masa tiga tahun adalah masa di mana anak mengembangkan jiwa yang dapat menghargai kemampuannya sendiri, berkreasi dan berinovasi. Barulah tahun-tahun setelah itu mereka membutuhkan konteks untuk mengaplikasikan bakat-bakat sosial dan kognisi (akali) yang sudah dipelajari sebelumnya. Yaitu untuk membangun intimasi, berkeluarga, mengembangkan peran-peran sosialnya di masyarakat. Apakah mereka akan berhasil, atau sebaliknya gagal, tergantung dari bekal-bekal mereka yang diperoleh sebelumnya.

Inilah krusialitas realita kehidupan manusia. Kelemahan dan ketidak-sempurnaan konteks kehidupan seringkali menjadi kondisi yang sangat tidak kondusif bagi mereka yang tidak mempunyai cukup bekal pada masa kecil mereka. Akibatnya mereka menjadi pribadi-pribadi yang bermasalah. Bahkan tragisnya, ketidaksempurnaan konteks kehidupan tersebut seringkali tercipta tanpa sengaja, bahkan dalam keluarga-keluarga yang sebenarnya cukup sehat dengan kedua orang tua yang cukup baik. Yang … hanya dalam soal “pembekalan jiwa” kedua orang tua tersebut tidak cukup persiapan sehingga tidak dapat berperan aktif membekali anak-anak mereka dengan komponen-komponen primer untuk kebutuhan pertumbuhan jiwanya.

Memang dalam diri setiap anak, betapapun kecil umurnya, ada subjektivitas yang ikut meresponi stimulus dari luar dirinya. Jiwa seorang anak bukanlah semata-mata “tabularasa/sebuah lembaran kosong” yang siap mendapat goresan untuk diisi apa saja. Ada keunikan response yang berbeda-beda dari setiap anak, dan interaksi antara stimulus dan response itulah yang membentuk pribadi seorang anak. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan anak pada masa kecil bukanlah satu-satunya penentu pembentukan pribadinya. Tidak heran jikalau stimulus yang serupa dari orang tua yang sama bisa menghasilkan pribadi yang berbeda-beda dalam kehidupan anak-anak mereka. Response dari setiap anak ternyata mempunyai keunikannya sendiri-sendiri. Untuk dapat menghasilkan response yang “tepat” dan yang menghasilkan pembentukan pribadi yang “baik” diperlukan begitu banyak variabel yang saling terkait secara ntegrative. Pendidik John Dewey pernah mengatakan,

stimulation and response are exceedingly one-sided” (secara ekstrim hubungan antara stimulus dan respon selalu cenderung sepihak. Maksudnya, hasilnya mengarah ke satu arah yang terkuat). Oleh sebab itu meskipun ada variabel-variabel yang baik yang terlibat, belum tentu hasilnya selalu positif. Untuk dapat menghasilkan pribadi-pribadi dengan “kebaikan sejenis” diperlukan banyak komponen yang dikontribusikan secara merata dan sesuai dengan keunikan pribadi masing-masing. “Otherwise, influences which educate some into masters, educate others into slaves” (atau…kondisi pendidikan yang yang bagi beberapa orang bisa menghasilkan pemimpin, bagi yang lain hanya menghasilkan jiwa- jiwa budak) (“Democracy and Education”, Ny: Free Press, 1916, p. 84).

Banyak orang tua yang mengeluh dan mengatakan: “kami tak pernah membeda-bedakan anak-anak kami, tetapi si A selalu merasa sebagai anak yang paling tidak kami kasihi. “Apa yang menjadi keunikan pribadi A di kemudian hari adalah produk dari interaksi antara stimulus dan keunikan subjektivitas response-nya. A lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang “cukup baik” dengan kedua orang tua yang “cukup mengasihi.” Ketiga saudaranya berhasil, dan tumbuh dengan kepribadian yang sehat, tetapi A tumbuh menjadi satu pribadi yang bermasalah. Sebagai contoh, perhatikan kasus A di bawah ini:

A adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua orang tua aktif baik dalam pekerjaan (wiraswasta) maupun dalam kegiatan-kegiatan gerejani. Sebagai orang tua mereka tidak mempunyai kebiasaan buruk atau kelemahan pribadi yang ekstrim. Kelemahan pribadi wajar-wajar saja. Sang ayah agak pendiam dan ibu cenderung dominan, tetapi mereka bukan orang tua yang abusive, sering bertengkar, atau berwatak jahat. Tidak heran jikalau tiga anak yang lain baik-baik dan sangat berhasil dalam hidup mereka. Aneh hanya A yang selalu memberontak. Berani mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas kepada orang tua hanya oleh karena kelalaian yang kecil-kecil (misalnya: warna T-shirt yang dibelikan untuknya tidak sesuai dengan keinginannya). A selalu merasa dianaktirikan. Akibatnya, memang ada pengalaman-pengalaman yang “bagi A” menyakitkan oleh karena disiplin yang diterimanya (misal: tiga hari tidak boleh nonton TV karena A tidak belajar dan nonton TV di kamar sampai jam 24.00 malam).

Sekarang A sudah menjadi seorang pemudi yang cantik. Tetapi heran ia selalu berpenampilan seadanya, dan sampai umur 31 tahun ia masih belum pernah punya pacar. Memang ia cukup berhasil dalam studi dan pekerjaan. Tetapi setiap kali didekati pemuda, A selalu menghindar. Coba pun tidak mau. Apalagi meminta pimpinan Tuhan dan mendoakan pria yang tidak ia sukai, yang sedang mendekatinya. Ia mengatakan bahwa ia hanya mau pacaran dengan tipe idealnya, yaitu seorang pria super, kaya, cakep, menyenangkan dan saleh.

Mengapa A menjadi seorang idealis ekstrim? Dan apa yang diperlukan untuk menolong A, yang kemungkinan besar tidak merasa membutuhkan pertolongan?

1. Perlu menciptakan atau membangun hubungan yang baik (building a good rapport) dengan A
Kenal dan dapat bercakap-cakap tidak cukup. A harus menemukan bahwa anda adalah seorang yang menyenangkan untuk diajak berbicara, matang dalam berpikir, dan dapat dipercaya. Jadi, untuk menjadi konselor bagi A, kita perlu jujur terhadap diri sendiri, apakah kita orangnya.

Melihat gejalanya, rupanya A sudah terbiasa hidup dengan hukumnya sendiri. Memang ia bukan seorang anti sosial tetapi kepribadiannya cenderung eksistensialistik. Artinya, ia lebih percaya pada perasaan dan pikirannya sendiri. Mungkin ini terjadi oleh karena ia mempunyai kebutuhan “untuk merasa lebih dari saudara-saudaranya” di tengah situasi “kompetisi terselubung yang lebih menguntungkan saudara- saudaranya (yang memilih menjadi good children bagi kedua orang- tuanya).” Akibatnya A merasa “terabaikan” sehingga porsi cinta kasih orang tua yang diberikan padanya dirasakan “tidak cukup.” Lalu ia mulai merasa gelisah, dan untuk menutupi kegelisahan A melakukan “kesalahan-kesalahan” yaitu sikap atau tingkah laku “yang tidak appropriate” yang tidak biasanya ada dalam sistem interaksi dalam keluarga tersebut. Sehingga terjadi konflik, dan konflik-konflik kecil tersebut tak pernah terselesaikan dengan baik. Mulailah A terbiasa menekan perasaannya, dan lebih mempercayai pikiran dan perasaannya sendiri.

Membangun “good rapport” dengan A adalah untuk dapat mendengar berita yang sesungguhnya di balik “cry for help/jeritan minta tolong” yang mungkin selama ini tak pernah dapat dikomunikasikan. Mungkin berita tersebut begitu simple dan mungkin juga, bagi anda sebagai konselor, kebutuhannya tak masuk akal. Tetapi ingat, A tidak membutuhkan penilaian anda tentang penting tidaknya kebutuhan tersebut. A tidak membutuhkan kuliah dan nasehat karena justru itulah yang selama ini diberikan kedua orang tuanya atas keunikan kebutuhan pribadinya. Hal itu pulalah yang menjadi sumber masalahnya. Oleh sebab itu, listen/dengarkan saja. Jadilah teman bicara yang baik yang “non-judgemental/tidak menghakimi.” Hargai kebutuhannya, walaupun mungkin kebutuhan tersebut terlalu bodoh dan tidak penting bagi anda. Misalnya, kebutuhannya untuk dibenarkan jikalau ia hanya mau berpacaran dan menikah dengan pria tipe idealnya atau lebih baik tidak menikah sama-sekali.

2. Menolong A meninjau ulang pola pikirnya sendiri

Ini merupakan salah satu peran konselor yang terpenting dalam menolong A, yaitu menyadarkan dia akan keunikan pola pikirnya (pattern of thought) yang ternyata lebih banyak menghasilkan pengalaman hidup yang merugikan, bahkan sebagian fungsi kehidupan sosialnya terhambat.

Memang tidak setiap pribadi dengan pola pikir seperti A kehidupannya bermasalah. Sehingga, konselor perlu menyadari bahwa keunikan pola pikir itu pada dirinya sendiri belum tentu menjadi sumber masalahnya. Oleh sebab itu mengubah pola pikir dengan memperkenalkan pola pikir yang “lebih baik” belum tentu menyelesaikan persoalan. Bahkan dalam pengalaman-pengalaman konseling, ternyata prinsip-prinsip kebenaran yang diakui kebaikannya pun tidak dengan sendirinya akan diterapkan oleh klien.

Rupanya setiap pribadi mempunyai “encoding strategy (prinsip pribadi yang mengatur strategi)” dalam menyeleksi data-data yang diterimanya. Sehingga kebenaran yang diakui secara akali (cognitive) belum tentu menghasilkan dorongan (drive) untuk diterapkannya. Karena mungkin dalam encoding strategy tersebut ia selalu menganggap perlu adanya satu dua komponen pilihannya yang harus ada. Jadi kalau komponen-komponen tersebut tak ada dalam prinsip kebenaran yang ditawarkan kepadanya, ia tak akan mempraktekannya, meskipun ia mengakui kebenaran dari prinsip kebenaran tersebut.

Sebagai contoh, kasus A di atas. Mungkin A akan mengakui bahwa pola pikirnya tidak efektif, dan (setelah dijelaskan) mungkin A juga mengakui bahwa hal mencari pimpinan Tuhan harus ditandai dengan keberanian untuk menggumulkan dalam doa pribadi-pribadi yang “kurang ideal” yang diijinkan Allah mendekati dirinya. Tetapi dalam prakteknya, A tidak akan sungguh-sungguh membawa pribadi-pribadi tersebut dalam doa jikalau komponen-komponen pilihannya (sesuai dengan encoding strategy-nya) tak ada dalam persoalan ini. Misalnya, “perasaan dipercaya dan diberi kebebasan secara penuh dari kedua orang tuanya.”

Mungkin, setelah melihat umur A yang sudah tidak muda lagi, dan setelah menunggu dengan capai selama bertahun-tahun, kedua orang tua A akhirnya mengatakan kata-kata bijaksana, seperti misalnya: “kami percaya penuh bahwa kamu cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu sendiri.” Apakah ini cukup, dan sudah memenuhi persyaratan dalam strategy encoding-nya? Belum tentu, karena bagi A statement yang bijaksana tersebut belum tentu merupakan bukti yang dapat dipercaya bahwa mereka sudah menganggap A dewasa dan sudah mempercayai bahkan memberi kebebasan sepenuhnya pada dirinya. Belum tentu, jikalau…selama ini apa yang dialami A lain dari pada itu. Sehingga dalam strategy encodingnya, A juga membutuhkan komponen khusus (apa itu, perlu ditemukan) untuk bisa mempercayai kata-kata orang tuanya. Nah, untuk masalah pribadi yang rumit ini tidak tertutup kemungkinan diperlukan suatu “family therapy” di mana secara berkesinambungan seluruh keluarga bertemu dengan konselor yang professional. Dan itu bukan tugas anda lagi.

Memang kehidupan menusia begitu kompleks. Tetapi patut kita bersyukur kepada Tuhan jikalau dalam hati kita ada beban yang Tuhan sudah taruh untuk ikut memikirkan dan “mencoba” berperan menjadi alat Tuhan dalam pelayanan konseling ini. Tuhan kiranya memberkati dan memperlengkapi anda.

Daftar Konselor

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Esther Susabda, Ph.D.
Dr. Ir. Asriningrum Utami
Lanny Pranata, M.Th.
Siska Tampenawas, M.Th.
Lucia Indrakusuma, M.A.
Esther Gunawan, M.Th.
Vivi Handoyo, M.Th.
Debby M. Soeseno, M.Th.
Suherni Santoso, M.A.
Yohanna P. Siahaan, M.Th.
Yonathan A. Goei, Ph.D.
Sandra Mayawati, M.Th.
Suzanna Sibuea, M.Th.
Dan lain-lain.

Konseling Online

Jadwal Konseling Online
Senin-Jumat
(Kecuali Hari Libur)
10.30-12.00 WIB dan 20.00-22.00 WIB

Tentang Kami

Kontak Info

STT Reformed Indonesia (STTRI, dulu STTRII)
Jl. Kemang Utara IX/10, Warung Buncit
Jakarta Selatan, 12760
(Peta lokasi bisa dilihat/diunduh di sini.)

Telp            : (021) 7982819, 7990357
Fax            : (021) 7987437
Email          : reformed@idola.net.id
Website      : www.reformedindonesia.ac.id
    www.konselingkristen.org
Bank          : CIMB Niaga (Cabang Kemang)
No. Acc.     : 800073329000 (Rp.)
                      253.02.00081.001 (USD)
A/n              : Yayasan Lembaga Reformed Indonesia