Oleh: Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
“Ah, kalau saja perasaan manusia tidak berubah-ubah…” Keluhan dengan berbagai kemungkinan ini seringkali muncul dalam percakapan-percakapan pribadi. Rupanya, dibalik keluhan ini ada jeritan penyesalan dan ketidak-berdayaan dari individu-individu yang mendambakan kebahagiaan. Sekarang mereka melihat hidup dengan perasaan tidak berdaya. Apa yang indah dan membahagiakan dimasa lampau, sekarang hanya tersisa dalam bentuk serpihan kenangan. Masa lampau sudah lewat, sejarah tak dapat diulang lagi, dan kesempatan sudah semakin pudar.
Kasus: Rini pernah mengecap apa yang ia dambakan sebagai kebahagiaan keluarga. Tahun-tahun pertama pernikahannya dengan Arif diisi dengan banyak kebersamaan yang sangat dinikmati. Kemana-mana mereka selalu berdua, dan dalam segala hal Arif selalu terbuka, berceritera dan berdiskusi dengannya.
Sekarang semua itu sudah tidak ada lagi. Hubungan dengan Arif sudah menjadi sangat hambar. Rini menyibukkandiri dengan anak-anak dan urusan dirumah, dan Arif sibuk meniti karir. Keduanya hidup dalam dunianya sendiri-sendiri. Terus terang Rini merasa bosan dan lelah dengan jerat kehidupan keluarga yang seperti ini. Ia kecewa dengan Arif yang dirasanya sangat egois dan gampang marah. Ia merasa terhina jikalau Arif mengatakan dirinya goblok dan tidak tahu apa-apa.
Memang Arif pernah mengeluh tentang Rini. Bagi Arif, Rini seperti katak dibawah tempurung, tahunya hanya urusan dapur. Ia malu kalau mengajak Rini dalam pertemuan dengan rekan-rekan bisnisnya. Perasaannya terhadap Rini sudah berubah.
Kasus diatas sebenarnya merupakan kasus yang polanya hampir selalu hadir dalam setiap keluarga, yaitu “perubahan perasaan yang tidak pernah diantisipasi.” Sebagai konselor, seharusnya kita waspada bahwa 90% pernikahan membawa benih masalah yang siap untuk berkembang dan benar-benar akan menjadi masalah yang serius dikemudian hari.Memang setiap pernikahan harus dikerjakan, atau pasangan akan menghadapi konsekuensi logisnya yaitu perubahan perasaan yang menjadi penyebab segala macam masalah keluarga.
Perubahan perasaan? Apa itu dan bagaimana menghadapinya? Menurut ilmu faal, perasaan terjadi karena ada stimulus yang dialami. Stimulus (bisa bentuknya kebutuhan yang ingin dipenuhi) tersebut merangsang Hypothalamus di otak, yang kemudian menstimulir susunan syaraf sympatis, dan susunan syaraf sympatis tersebut menstimulir kelenjar adrenal untuk melepaskan cairan kimiawi epinephrine yang menghasilkan perasaan takut atau sedih, atau norepinephrine yang menghasilkan perasaan marah atau gairah (McKeachi and Doyle, “Psychology,” NY.: Addison-Wesley, 1966, p.233). Begitulah terjadinya perasaan dan setiap individu mempunyai keunikannya masing-masing. Kadang-kadang ada individu yang entah mengapa, pada saat menghadapi pengalaman yang tidak menyenangkan, kelenjar adrenalnya melepaskan epinephrine secara berlebih-lebihan sehingga ia menjadi pemurung, berpikiran negatif, bahkan depresif. Atau sebaliknya ada individu yang mendapat perlakuan ramah sedikit saja sudah menjadi sangat bahagia karena adrenal melepaskan norepinephrine secara berlimpah-limpah.
Keunikan kerja bagian-bagian tubuh manusia merupakan bagian integral dari keunikan kepribadiannya. Untunglah 60-70% manusia berada dalam kategori normal. Artinya, meskipun masing-masing mempunyai keunikan kepribadian dengan traitsnya, mereka semua dapat belajar dan beradaptasi. Mereka menyadari dan dapat mengontrol perasaan, pikiran dan tingkah-lakunya bahkan mereka mampu (kalau mau) mengarahkannya kepada hal-hal yang positif dan membangun.
Sekarang, apa yang terjadi dengan Rini dan Arif, dan bagaimana menolong mereka?
Pertama, kalau mereka berdua adalah pribadi-pribadi yang normal (artinya tak mempunyai kelainan-kelainan) dan tidak ada persoalan yang serius (mis: hadirnya “PIL” atau “WIL”), maka perubahan perasaan terjadi oleh karena mereka terjebak dalam “sistim mandeg” yang memaksa mereka memainkan peran yang keliru dan yang itu-itu saja, tanpa kekuatan untuk merubah dan memperbaharuinya.
Hidup manusia memang naturnya mesti terus berubah. Mungkin Rini dan Arif memasuki pernikahan tanpa persiapan yang matang untuk mengantisipasi perubahan. Sama seperti mungkin lebih dari 90% pasangan yang lain, mereka memasuki dan kemudian menghidupi pernikahan secara alami, persis seperti daun kering yang ikut arus sungai saja. Apa yang mereka lakukan hanyalah menjalankan hidup selayaknya (kerja atau menyelesaikan tugas-tugas rutin rumah tangga) dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul secara alami subyektif juga. Akibatnya, mereka terjebak dalam “sistim mandeg.”
Sistim memang merupakan subtle enemy/”musuh dalam selimut”, yang selalu menjadi penyebab utama kegagalan hidup pernikahan. Mula-mula “sistim mandeg” tersebut terjadi karena masing-masing pribadi tidak kreatif dan rela menghidupi pernikahan sebagai rutinitas saja. Kemudian mereka menghadapi realita hidup yang rutin dan itu-itu saja, dan central nervous system di otak manusia bereaksi dalam bentuk menghadirkan perasaan flat, tanpa gairah, serta bosan. Setelah itu mulailah muncul perubahan sikap dari individu-individu tersebut. Mungkin Rini cenderung menyerah dengan cara meneruskan rutinitas mengasuh anak dan menyelesaikan tugas rumah tangga yang tak ada habisnya. Bahkan mungkin ia belajar menimba kenikmatan dalam rutinitas tersebut sehingga tidak memperjuangkan perubahan sistim. Tanpa sengaja dan tanpa sadar ia sudah menghadirkan dirinya sebagai pribadi yang kurang membutuhkan Arif dan makin lama makin tidak mempedulikan kebutuhan suami (karena a.l. kebutuhan emosinya sudah terpuaskan dengan anak-anak). Pihak lain, Arif juga begitu. Ia tidak melawan dan berupaya mengatasi perubahan perasaan terhadap Rini. Kebosanan dan kegelisahannya pada saat dirumah diatasi dengan menguatkan fokus perhatian diluar dan pada kariernya. Akibatnya, setiap kali mereka bertemu dirumah, mereka terjebak dalam “sistim mandeg” yang memaksa mereka memainkan peran yang itu-itu saja.
Menghadapi kasus “sistim mandeg” ini konselor harus menolong menyadarkan dan mengenali apa yang sudah dan sedang terjadi dalam kehidupan mereka. Kemudian, menolong masing-masing menemukan keunikan diri sendiri, mengapa mereka bereaksi begitu untuk kondisi dan realita yang ada. Setelah itu barulah konselor menolong mereka menemukan strategi yang dapat memecah dan mengubah sistim hidup pernikahan mereka, dari yang “mandeg” menjadi sistim yang menstimulir kreatifitas dan produktifitas masing-masing. Konselor harus terus-menerus bertanya, step-step (langkah-langkah) perubahan apa yang akan mereka lakukan dan mengapa begitu? Apa yang akan mereka lakukan jikalau proses perubahan sistim tidak lancar dan menghadapi halangan-halangan?
Kedua, konselor perlu waspada bahwa perubahan perasaan dalam kasus Rini dan Arif juga terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus. Di tengah sistim yang “mandeg”, timbul perasaan gelisah dan kemudian ketidak-puasan yang memicu kepekaan terhadap pasangan. Itulah yang terjadi, sehingga ada peristiwa-peristiwa dimana masing-masing individu saling melukai. Arif menyebut Rini seperti katak dibawah tempurung, goblok dan bisanya cuma urusan dapur, dan Rini menilai Arif sebagai satu pribadi egois yang tidak dapat diajak bicara, sehingga komunikasi dengannya tidak lagi dirindukan.
Nah menghadapi kondisi seperti ini, konselor harus dapat menolong mereka menyadari apa yang sudah terjadi dalam diri mereka masing-masing, dan bagaimana mereka sudah terjebak dan “cenderung selalu memakai kaca-mata tertentu” dalam mendengar menilai dan menyikapi pasangannya. Konselor harus waspada bahwa “tanpa Rini dan Arif” mempunyai pengalaman-pengalaman baru yang positif, mereka tidak akan mampu melepas dan mengganti kaca-mata “buruk” yang mereka pakai. Oleh sebab itu, setelah mereka sadar diri/memiliki self-aware, mereka harus ditolong untuk menemukan konteks-konteks perjumpaan yang baru yang dapat mereka pakai untuk masing-masing memainkan peran-peran yang baru pula. Misalnya, adanya waktu berduaan untuk fun/bersenang-senang (keluar makan malam, nonton film, atau apa saja kegiatan tanpa beban rutin masing-masing). Atau meminta mereka sendiri menentukan apa yang akan mereka lakukan untuk break the system/memecah kebekuan sistim dirumah misalnya dengan mencipta kebiasaan-kebiasaan baru seperti misalnya, makan malam selalu bersama sambil membicarakan firman Tuhan kemudian saling mendoakan dengan jujur dihadapan Tuhan.
Perubahan perasaan, dari cinta menjadi hambar adalah gejala umum yang terjadi pada hampir semua pernikahan. Meskipun demikian, sebagai anak-anak Tuhan, kita semua terpanggil untuk mewaspadai dan mengatasinya. Mulailah dengan langkah kesadaran diri, barulah setelah itu menyusun strategi untuk membangun kehidupan pernikahan dengan sistim baru yang lebih produktif. Dengan pertolongan Tuhan dan kerelaan memulai cara hidup yang baru pernikahan dapat diselamatkan dan nama Tuhan dipermuliakan.