Jumlah Pengunjung

000220
Today
Yesterday
This Month
220
0
220


Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.

“A adalah ketua majelis gereja yang dikenal sebagai orang yang sangat ramah, berwawasan luas, matang dalam sikap dan pandai sekali berkhotbah. Mengapa dia bisa-bisanya melakukan perbuatan yang begitu amoral dengan melakukan hubungan seksual di konsistori gereja, dengan sekretaris gereja, seorang sederhana yang baru beberapa bulan bekerja digerejanya? Apa dia orang tidak waras atau apakah ini terjadi karena dia belum dilahirkan-baru?”

Hal-hal sejenis ini mungkin pernah anda dengar, dan anda tidak tahu harus bersikap bagaimana. Perut rasanya jadi mual. Perasaan seperti menjadi baal (numb). Biasanya seluruh gereja heboh, dan selama berminggu-minggu masalah ini akan terus dibicarakan dan menjadi buah bibir. Semua orang seperti kehilangan pegangan. Rasanya Injil juga sudah kehilangan kekuatannya. Tak ada lagi yang dapat dibanggakan dengan kekristenan.

Memang sejak mula kehidupan dan kesaksian orang-orang percaya selalu dicemari dengan berbagai dosa dan kelemahan. Daud yang begitu dekat dengan Tuhan, juga adalah seorang pembunuh dan penjinah. Coba Anda bayangkan, setelah dia melakukan perbuatan maksiat yang begitu memalukan, dia kemudian merekayasa pembunuhan bagi Uria, suami Batsyeba yang dijinahinya. Sungguh mengherankan, Daud yang seperti ini adalah juga seorang hamba Allah, penulis sebagian besar kitab Mazmur, dan orang yang namanya secara khusus dipilih Allah sebagai nenek moyang Mesias yang disebut “anak Daud” (Mat 21:9). Mengapa demikian? Apakah Allah menetralisir dosa dengan begitu mudah, hanya karena mereka yang melakukannya adalah orang percaya? Apa sebenarnya di balik semuanya ini? Bagaimana sikap kristiani dalam menghadapi realita seperti ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu memiliki pendekatan yang tepat dan objektif. Untuk itu kita akan kembali ke kasus semula, kasus ketua majelis gereja yang telah diuraikan diatas. Sebagai konselor, seperti Anda perlu mempertimbangkan beberapa hal yang penting dibawah ini.

I. Mengapa kebutuhan seksuilnya menjadi begitu rupa, tak tertahankan dan berani dilampiaskan dengan resiko yang begitu besar?
Kebutuhan seksuil memang merupakan salah satu kebutuhan primer manusia dewasa dan normal. Meskipun demikian, tahap kegentingannya masih berada dibawah kebutuhan primer yang lain, seperti kebutuhan akan makanan dan minuman. Manusia yang normal dan dewasa dapat hidup tanpa pemenuhan kebutuhan seksuilnya selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (misalnya, pada saat menjalankan tugas keluar negeri atau pada saat pasangannya sedang menderita sakit). Kebutuhan seksuil bisa menjadi begitu besar dan drive-nya begitu kuat tak tertahankan hanya pada pribadi-pribadi yang “bermasalah.”

Eugene Kennedy (Sexual Counseling, 1977) menjelaskan betapa seksualitas seringkali menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer “lain” yang tak terpenuhi, seperti kebutuhan akan kasih, perhatian, kepedulian, penghargaan, teman berbicara, dan bahkan pelampiasan kemarahan yang tak terpenuhi yang biasanya menghasilkan kekosongan jiwa dan kegelisahan. Dalam kasus seperti ini, maka seksualitas seringkali menjadi alternatif yang dapat tersedia dengan mudah dan memberikan kepuasan secara instan. Dalam hal ini seksualitas menggantikan pemenuhan kebutuhan primer tersebut. Aneh, tetapi realitanya memang demikian. Kepuasan seksualitas dapat menetralisir ketidak-puasan yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer yang “lain”. Pada saat seorang mendapatkan kepuasan melalui tingkah-laku seksuil, untuk sementara kebutuhan-kebutuhan primer yang “lain” tersebut terlupakan. Jadi, tingkah-laku seksuil tidak selalu lahir dari kebutuhan seksuil itu sendiri secara ansich. Tidak heran jikalau dalam kehidupan pribadi-pribadi “yang bermasalah” seringkali ditemukan kebiasaan yang cenderung kecanduan (addictive) seksualitas, karena kebutuhan yang sesungguhnya tidak disadari. Mungkin individu tersebut hanya menyadari keadaan jiwanya yang gelisah dan kosong, lalu terdorong untuk mencari pemuasan seksuil. Objeknya bisa apa saja atau siapa saja, pokoknya asal tuntutan instink seksuil tersebut terpuaskan. Jadi, pelampiasan kebutuhan seksuil tersebut seringkali tidak ada hubungannya dengan “kekurangan pelayanan istri” dan sebagainya. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang ada dalam alam bawah sadar (unconsciousness). Kebutuhan tersebut “independent” dari alasan-alasan yang masuk akal. Individu tersebut tidak tahu mengapa pada saat-saat tertentu atau dalam situasi tertentu dorongan sesksuilnya muncul dan menuntut pemuasan.

Itulah yang terjadi dengan majelis gereja dalam kasus di atas. Tidak masuk akal? Memang!Tetapi, itulah realita yang sudah terjadi.

II. Konseling seperti apa yang dapat dilakukan untuk individu tersebut?
Kebutuhan alam bawah sadar (unconsciousness), merupakan kebutuhan yang terbentuk karena adanya kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak terpenuhi pada masa lalu yang kemudian ditekan (repressed). “Repression” inilah yang menyebabkan kebutuhan tersebut tersimpan dalam alam bawah sadar (unconsciousness), yang dapat muncul sewaktu-waktu untuk mencari pemuasannya diluar kontrol individu yang bersangkutan. Kadang-kadang wujudnya berupa mimpi dengan berbagai simbol yang menyertainya, fantasi, atau bahkan hanya muncul dalam bentuk kegelisahan (anxiety) dan dorongan (drive) untuk melakukan hal-hal tertentu yang tak tertahankan. Setiap tingkah-laku yang tak terkendali selalu ada dibawah pengaruh alam bawah sadar (unconsciousness) yang ada dibelakangnya, berarti ada kebutuhan-kebutuhan yang tak terpenuhi yang sedang menuntut pemenuhan. Kebutuhan tersebut tak dikenal lagi (unknown), karena sudah terkubur dalam alam bawah sadar (unconsciousness). Manifestasi dalam tingkah-laku yang tak terkendali tersebut hanyalah simbol dari kebutuhan itu. Konselor tak boleh berorientasi pada gejala luar saja (fenomenological oriented) dan menafsirkan tingkah-laku tak terkendali tersebut sebagai realita inti persoalannya. Oleh sebab itu, tugas konselor adalah:

a. Menciptakan suasana percakapan yang kondusif (condusive atmosphere) yang memberikan rasa aman dan kebebasan bagi klien untuk berbicara,” tetapi dengan kepekaan untuk menangkap “apa yang sesungguhnya ia rasakan dan pikirkan.”
Jangan ada semangat menghakimi (judgemental)dan mempersalahkan. Coba refleksikan perasaannya saat itu, yaitu pada saat ia berceritera tentang apa yang ia sudah perbuat. Sebagai contoh, klien dalam kasus diatas. Coba dengarkan keluhannya dan tangkap perasaannya dibelakang keluhan tersebut. Mungkin dia mengatakan “sangat menyesal dan malu” tetapi bagaimana perasaan yang sesungguhnya dibalik kata-kata tersebut? Bagaimana ia melihat dan menafsirkan perbuatannya sendiri? Itulah yang terpenting, karena siapa dia yang sesungguhnya adalah bagaimana ia melihat, merasakan, dan menafsirkan perbuatannya dan bukan apa yang ia katakan.

Untuk menangkap keunikan perspektif, perasaan dan cara berfikirnya, konselor harus merefleksikan dan mengklarifikasikan kata-kata yang ia ucapkan. Misalnya ia mengatakan, “saya menyesal dan sangat malu atas apa yang saya perbuat.” Konselor dapat merefleksikan kata-kata tersebut dan berkata, “maksud Anda, Anda sedih, kecewa dengan diri sendiri, kehilangan gairah, atau malu, atau apa yang sebetulnya Anda rasakan saat ini?” Ia mungkin menjawab, “Saya tak tahu bagaimana saya dapat melanjutkan pelayanan ini, . . . seluruh hidup saya rasanya sudah hancur . . . saya tak punya masa depan lagi.”

Nah melalui percakapan ini mulai tersingkap beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin baginya yang ia kuatirkan adalah “akibat” dari perbuatannya dan bukan penyesalan atas perbuatan tersebut. Kedua, dengan yang pertama ini kemungkinan besar ia tidak merasa bersalah. Ia hanya menyesal mengapa ia ketangkap basah. Ia mungkin membenci kebodohan dirinya sendiri tetapi ia tidak sedih dan takut karena telah “dengan sengaja” berani berdosa di hadapan Allah.

Realita yang tersingkap ini tidak dengan sendirinya memberikan kepada konselor hak untuk menegur dan menghakiminya. Didalam hati, konselor harus mulai bertanya “mengapa dia terjebak dalam kelemahan ini? Siapa sebenarnya dia, dan apa yang dialaminya pada masa-masa kecilnya?

b. Rela mengikuti klien masuk kedalam kehidupanklien yang sesungguhnya.
Pada fase ini, konselor sangat membutuhkan kemampuan dan kepekaan untuk mendengar (listening) dengan batin, merasakan apa yang dirasakan klien (empathy), mengerti yang terjadi dalam kehidupan jiwanya (understanding), dan menerima klien sebagaimana ia ada (acceptance). Konselor tidak memotong, menilai ataupun memberikan penghakiman sama-sekali atas ceritera klien, meskipun mungkin ada kesalahan yang telah ia lakukan. Dengan sikap yang tidak menghakimi (non-judgemental) itu, klien akan merasa aman dan benar-benar dimengerti, sehingga ia akan berceritera sebanyak-banyaknya.

Mungkin klien akan menceriterakan tentang pengalamannya dengan kedua orang tuanya yang keras, tidak memperlakukannya sebagai satu pribadi, tidak adil (fair), dan hanya memberi tuntutan yang tak dapat dipenuhi. Akibatnya, sejak kecil rasa percaya (trust) pada orang lain sudah hilang, sehingga ia terbiasa menekan perasaan (dan keinginannya), dan hidup dengan memakai hukumnya sendiri. Baginya, hukum dan aturan yang diberikan orang tua dan masyarakat hanya mempersulit dan menekan hidupnya. Oleh sebab itu jikalau iaingin mendapat apa yang ia kehendaki, ia harus memakai caranya sendiri. Apa yang ia takuti hanyalah hukuman jikalau ia ketahuan. Jikalau ia menyesal, ia menyesal karena ia tertangkap dan “mungkin akan mendapat hukuman.” Ia tidak merasa menyesal atas apa yang ia lakukan.

Mungkin klien menceriterakan bahwa di luar pengetahuan orang tuanya, sejak kecil ia sudah biasa mencuri, berbohong bahkan kemudian pada masa remaja melakukan perzinahan dalam berbagai bentuknya. Jiwanya gelisah terus, dan ia tidak tahu bagaimana melupakannya kecuali melalui kepuasan seksuil.

c. Menemukan “encoding strategi” dari klien.
Setelah konselor menemukan pola kejiwaan dari klien, konselor harus menemukan “encoding strategi” yang memang secara khusus milik klien. Artinya, konselor harus menemukan (melalui kelanjutan percakapan dengan klien) apa sebenarnya yang penting dan peka bagi klien, yang bisa membuat ia menurut dan mengubah konsep dan cara berfikirnya yang merugikan itu.

Setiap individu mempunyai “encoding strategi”nya sendiri-sendiri. Mungkin bagi si A “alasan yang rasionil” (sehingga kalau dia betul-betul memahami apa yang terjadi dalam jiwanya, ia akan sadar dan berupaya untuk mengubah); bagi si B mungkin “pribadi tertentu misalnya ibunya” (kalau ibunya yang berbicara ia akan menurut); sedangkan bagi si C mungkin “kondisi kritis” (kalau istri dan anak-anaknya tak mau lagi serumah dengan dia kecuali dia bertobat, maka ia akan bertobat), atau mungkin juga berbagai alasan yang lain.

d. Psikoterapi
Kasus alam bawah sadar (unconsciousness) merupakan kasus yang sangat sulit untuk ditolong. Jikalau Anda adalah kaum awam, sebenarnya tidak bertanggung-jawab untuk menangani kasus-kasus seperti ini. Jadi, setelah Anda melakukan semaksimal mungkin, Anda harus mengalihkan tanggung-jawab Anda atas klien tersebut kepada seorang psikoterapis untuk ditangani secara profesional. Biasanya seorang psikoanalist cocok untuk menangani kasus-kasus seperti ini.

Daftar Konselor

Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D.
Esther Susabda, Ph.D.
Dr. Ir. Asriningrum Utami
Lanny Pranata, M.Th.
Siska Tampenawas, M.Th.
Lucia Indrakusuma, M.A.
Esther Gunawan, M.Th.
Vivi Handoyo, M.Th.
Debby M. Soeseno, M.Th.
Suherni Santoso, M.A.
Yohanna P. Siahaan, M.Th.
Yonathan A. Goei, Ph.D.
Sandra Mayawati, M.Th.
Suzanna Sibuea, M.Th.
Dan lain-lain.

Konseling Online

Jadwal Konseling Online
Senin-Jumat
(Kecuali Hari Libur)
10.30-12.00 WIB dan 20.00-22.00 WIB

Tentang Kami

Kontak Info

STT Reformed Indonesia (STTRI, dulu STTRII)
Jl. Kemang Utara IX/10, Warung Buncit
Jakarta Selatan, 12760
(Peta lokasi bisa dilihat/diunduh di sini.)

Telp            : (021) 7982819, 7990357
Fax            : (021) 7987437
Email          : reformed@idola.net.id
Website      : www.reformedindonesia.ac.id
    www.konselingkristen.org
Bank          : CIMB Niaga (Cabang Kemang)
No. Acc.     : 800073329000 (Rp.)
                      253.02.00081.001 (USD)
A/n              : Yayasan Lembaga Reformed Indonesia