Oleh: Esther Susabda, Ph.D.
Sebagai seorang suami dan ayah, saya merasa gagal dalam membina rumah tangga, Bu. Istri saya seorang pekerja keras, gigih dan mempunyai prestasi yang sangat baik di kantor, gereja maupun masyarakat. Dia terkenal ramah, suka menolong dan tidak bosan-bosan untuk mengunjungi panti jompo, rumah yatim piatu dan mengikuti segala macam kegiatan di tengah-tengah kesibukannya bekerja, mendidik anak-anak kami (3 orang) dan mengurus rumah tangga.
Sedangkan saya sendiri tidak pernah naik pangkat selama bekerja, dan tidak mampu memberikan andil dalam kebutuhan rumah tangga. Istri saya baik sekali, walaupun kesal ia tidak pernah menyinggung mengenai hal ini, dan semua biaya rumah tangga termasuk uang sekolah anak-anak ditanggungnya sendiri, tanpa banyak bicara.
Saya juga seorang yang seringkali uring-uringan dan gampang marah tanpa sebab, baik kepada istri maupun anak-anak. Saya bahkan menghabiskan banyak waktu untuk main tennis dan menghamburkan gaji saya untuk berfoya-foya dengan teman-teman. Saya sering tertegur dengan kotbah-kotbah yang saya dengar, tapi entah mengapa saya masih menghidupi kehidupan "lama" dan tidak ada kekuatan untuk "membuat" hidup ini lebih berarti. Saya mau Bu, tapi tidak bisa.
Jawaban:
Menyadari dan mengakui kelemahan pribadi, memang merupakan suatu permulaan yang baik, namun masih perlu disertai dengan pengenalan diri yang akurat. Walaupun satu pihak Anda sadar bahwa banyak tugas dan tanggung jawab yang tidak anda lakukan, tapi di pihak lain, Anda juga menikmati kehidupan "lama" Anda yang lebih banyak memuaskan keinginan diri. Akibatnya meskipun Anda tidak merasakan adanya ikatan dengan istri dan anak-anak tapi Anda tidak merasa terganggu.
Anda beruntung mempunyai istri yang tidak rewel dan tidak menuntut apa-apa dari Anda, kemungkinan besar ia banyak menekan perasaan. Menurut penelitian Willard F. Harley, Jr., memberikan apa yang masing-masing pasangan butuhkan adalah kunci utama kebahagiaan dalam keluarga. Anda mungkin belum pernah memikirkan apa yang istri atau anak-anak butuhkan sehingga Anda dapat membelanjakan gaji Anda untuk diri sendiri tanpa merasa bersalah, bahkan sebagai kepala keluarga Anda juga tidak mempunyai andil apa-apa baik dalam mengasihi ataupun memberi contoh kepada seluruh keluarga.
Hasil riset dari Robert H. Coombs menunjukkan bahwa bagi mereka yang menikah dan "unhappy" biasanya mempunyai level stres yang tinggi, kelelahan emosi dan konflik yang berkepanjangan. Namun istri Anda mempunyai penyaluran yang sehat atas ketidak-puasannya terhadap Anda. Ia bisa aktif di gereja, masyarakat, bahkan masih mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak dengan baik. Jadi ada banyak hal yang bisa Anda syukuri dan Anda harus mempunyai tekad untuk memperbaiki dan merencanakan masa depan dengan lebih baik. Pertobatan yang sejati tidak hanya berhenti pada pengakuan dan penyesalan, tapi harus disertai dengan kebencian akan dosa dan tekad untuk memulai kehidupan yang baru.
Tuhan memberkati.