Oleh: Pdt. Dr. Paul Gunadi, Ph.D.
Mengapa Tuhan Mempertemukan Kami?
Jawab:
Pertanyaan di atas ini benar-benar melumpuhkan saya! Bagaimana tidak? Pertama, jawaban apa pun yang saya berikan akan memberi kesan bahwa saya seolah-olah menempatkan diri pada posisi Tuhan. Kedua, pada umumnya orang yang melontarkan pertanyaan seperti ini adalah seseorang yang sedang mengalami problem yang serius dalam pernikahannya. Oleh karena itu, apabila saya menjawab bahwa Tuhan tidak pernah "mempertemukan" mereka, saya ini seakan-akan melemparkan tangga kepada seseorang yang bare saja jatuh dari tangga itu. Jadi, biasanya respons saya adalah diam termangu, mencoba memahami keperihan hatinya.
Saya percaya sebagian besar dari kita telah berdoa meminta pimpinan Tuhan tatkala kita sedang berpacaran. Kita berusaha menaati kehendak-Nya yang spesifik dalam hal pemilihan pasangan hidup, yakni menikah dengan yang seiman (1Kor. 7:39b). Secara umum, kita pun telah berupaya mencari pasangan hidup yang sepadan atau cocok dengan kepribadian dan gays hidup kita (Kej. 2:18). Alhasil, kita melangkah masuk ke dalam mahligai pernikahan dengan gentar dan dengan bibir yang berdoa, semoga Tuhan memberkati pernikahan ini. Namun adakalanya kenyataan di lapangan berbeda dengan doa di kalbu, sehingga kita pun mulai mempertanyakan pimpinan Tuhan dalam mempertemukan kita dengan pasangan kita.
Tidak jarang, pertanyaan ini membuahkan reaksi yang drastis dan kadang kala, fatal. Ada yang mengeluh bahwa masalah dalam pernikahannya membuktikan bahwa Tuhan tidak memberkati pernikahannya dan bahwa Tuhan telah meninggalkannya. Ada yang menyalahkan diri mengatakan bahwa dialah yang telah gagal melihat pimpinan Tuhan pada masa berpacaran. Ada yang menyimpulkan bahwa ternyata Tuhan tidak mendengar doa-doanya. Malah ada yang akhirnya menuduh bahwa Tuhan tidak "becus" memimpin hidupnya karena kenyataannya ia telah menikah dengan orang yang keliru. Dalam penderitaan, kita cenderung mencari sumber penderitaan yang kita alami dan hal ini tidak selalu berarti buruk. Menemukan sumber penderitaan sering kali menolong kita memahami makna penderitaan itu sendiri dan akhirnya membantu kita melalui masa yang sulit itu.
Pada kesempatan ini saya akan berusaha menjawab pertanyaan ini dengan cara membagikan pengalaman pribadi saya. Ada suatu masa dalam kehidupan Santy dan saya di mana pertanyaan, "Mengapa Tuhan mempertemukan kami?" pernah memasuki benak kami. Saat itu rasanya penyesuaian diri tak pernah berhenti sehingga melelahkan kami berdua. Secara pribadi saya mulai meragukan apakah saya telah keliru menafsirkan kehendak Tuhan pada awalnya. Logika saya adalah, pernikahan yang diberkati Tuhan pasti menjadi suatu pernikahan yang harmonis. Dengan kata lain, apabila tidak harmonis, berarti tidak diperkenan Tuhan.
Pada pihak lain, saya menilai bahwa hubungan kami pada waktu berpacaran merupakan hubungan yang membawa berkat bagi kami. Teman-teman seiman serta keluarga juga menyetujui hubungan kami. Kami pun secara teratur berdoa dan bergumul bersama semasa pacaran dan pada umumnya hubungan kami lumayan harmonis. Lalu kenapa sekarang menjadi tidak harmonis lagi? "Jangan jangan saya telah keliru melihat pimpinan Tuhan.", suara hati saya berbisik. "Namun, rasanya tidak mungkin, sebab bukankah Tuhan tidak pernah menyesatkan anak-Nya yang berdoa meminta pimpinan-Nya?" bantah suara hati yang sama. Rods pergumulan rohani mulai berputar dan saya pun dengan panik mencoba mengerem, ternyata tidak berhasil. pada saat seperti itu barulah saya menyadari betapa pentingnya pemahaman yang benar tentang Allah. Dalam keraguan, pemahaman yang keliru atau yang rapuh dapat menjerumuskan kita ke jurang krisis rohani, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas. Ada beberapa langkah atau hal yang membantu saya melalui masa yang cukup sulit itu. Mudah-mudahan akan bisa membawa berkat bagi Saudara sekalian pula.
Pertama, saya bersandar pada pengertian yang benar tentang Allah, bukan pada perasaan pribadi. Keharmonisan bukanlah satu-satunya tanda bahwa Tuhan memberkati pernikahan kami; sebaliknya, ketidakharmonisan bukanlah pertanda bahwa Tuhan tidak berkenan pada pernikahan kami. Walaupun Ayub mengalami musibah besar dan akhirnya hubungan dengan istrinya terganggu (Ayb. 2:9-10), namun musibah itu bukanlah pertanda bahwa Tuhan tidak berkenan padanya. Bahkan Tuhan menegaskan kepada rekan-rekan Ayub bahwa merekalah yang telah keliru menafsirkan musibah itu dengan mengidentikkannya sebagai murka Tuhan pada Ayub, yang mereka anggap telah berbuat dosa (Ayb 42:7-10). Saya kira kita perlu berhati-hati agar tidak menyamakan kesusahan dengan kutukan Allah dan kenyamanan dengan berkat Allah. Kebanyakan masalah dalam pernikahan bersumber dari kepribadian dan gaya hidup, yang semuanya itu menuntut penyesuaian diri.
Kedua, saya mendasarkan iman saya pada Firman Allah, bukan pada perasaan saya. Firman-Nya penuh dengan jaminan bahwa Ia tidak akan menyesatkan anak-anak-Nya yang berteriak minta tolong kepada-Nya. (Maz. 37:39-40). Sepanjang saya mengikut Tuhan dengan kepatuhan, saya dapat bersandar pada janji-Nya bahwa Ia akan menolong saya, dan tidak akan memimpin saya ke jalan yang keliru. Sebaliknya, apabila saya menyimpan dosa, saya tidak layak menerima pimpinan Tuhan, karena bukankah dosa merupakan benih pemberontakan. Pada masa berpacaran, Santy dan saya berdoa dengan sungguh-sungguh meminta pimpinan Tuhan dalam hubungan kami. Oleh karena itu, saya harus berdiri di atas janji Tuhan dan percaya bahwa Tuhan telah memimpin karni berdua.
Kenyataan bahwa kami (pada saat itu) mengalami masalah pernikahan, tidaklah dapat dijadikan bukti seakan-akan Tuhan tidak memimpin kami dahulu. Bukankah Tuhan berfrman, "Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya" (Yak. 5:16b). Di sini saya bukan membanggakan diri sebagai seseorang yang super benar; saya sekadar melihat diri sebagai seorang anak Tuhan yang berdosa namun berusaha hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Keyakinan saya bahwa Tuhan mendengar doa kami bukanlah berdasar pada perasaan pribadi melainkan pada janji Tuhan sendiri. Tuhan memang telah memimpin kami berdua masuk ke dalam bahtera pernikahan, namun Ia tidak pernah menjanjikan bahwa tidak akan ada gelombang yang akan menghempas bahtera kami. Tuhan berjanji bahwa Ia akan bersama dengan kami berlayar melalui segala badai dan ombak kehidupan (Mat. 28:20b).
Ketiga, saya mengkaji ulang seluruh riwayat dari hubungan saya dengan istri saya, dan bukan hanya memfokuskan perhatian pada satu peristiwa. Ternyata riwayat hubungan pernikahan kami relatif sehat dan harmonis; kesulitan yang kami hadapi (pada waktu itu) lebih berkaitan dengan perubahan lingkungan dalam kehidupan kami. Kepulangan kami ke Indonesia tanpa kami sadari telah menuntut banyak perubahan dalam pernikahan kami jauh lebih banyak dan lebih serius daripada yang saya bayangkan sebelumnya. Seharusnya kami, terutama saya, menyadari bahwa perubahan-perubahan dalam hidup membawa dampak tertentu pada keluarga. Berkat bantuan seorang hamba Tuhan, kami berhasil menyesuaikan diri kembali dan menikmati kehidupan yang harmonis lagi. Adakalanya kita tenggelam dalam problem yang kita hadapi dan tidak dapat melihat dengan jelas. Penting sekali bagi kita untuk menilai hubungan pernikahan kita secara keseluruhan. Perspektif yang utuh acapkali turut menjernihkan perasaan kita yang telah dikeruhkan oleh ketidakpuasan.
Saya menyadari bahwa pengalaman pribadi kami tidak dapat disamakan dengan pengalaman Saudara sekalian. Saya mohon maaf apabila uraian di atas seolah-olah menyederhanakan pergumulan Saudara yang kompleks dan sudah berakar. Saya tidak memiliki jawaban untuk semua problem yang Saudara hadapi sekarang. Semoga perjalanan yang telah kami lalui dapat memberi sedikit harapan kepada Saudara sekalian. Tuhan memberkati kita semua!