Apakah anak-anak boleh mengikuti perayaan Natal yang menggunakan Sinterklas?
Jawab:
Di dalam hati saya selalu ada kecemasan kalau-kalau pada suatu saat nanti, kita akan menanggalkan segala unsur rohani dari dalam kehidupan kita. Kecemasan ini didasarkan pada perubahan-perubahan nilai yang sekarang berlangsung, di mana misalnya, yang dahulu tabu sekarang menjadi biasa saja. Memang tidak selalu "yang dahulu" itu mencerminkan yang rohani, namun saya duga, pada umumnya kita semua dapat menyetujui bahwa kita sedang menyaksikan pergeseran nilai, dari rohani ke sekuler. Sebagai contoh, dahulu perceraian dilihat dari sudut pandang moral, yakni sebagai suatu tindakan dosa. Sekarang, perceraian seringkali dinilai sebagai salah satu penyelesaian atas masalah penyesuaian belaka.
Demikian pula dengan perayaan Natal. Kekudusan dan kekhusyukan Natal dapat tertukar dengan hingar-bingar tembang-tembang Natal yang diasosiasikan dengan hari Natal meskipun lagu-lagu itu mungkin sekali tidak mengumandangkan kelahiran Kristus Juruselamat. Aktivitas-aktivitas tertentu acap akli dikaitkan pula dengan perayaan Natal, tukar-menukar bingkisan Natal, dan figur Sinterklas. Masalahnya ialah kegiatan-kegiatan ini sendiri sebetulnya tidaklah sama dengan memperingati Natal, bahkan pada intinya tidak berhubungan sama sekali. Jadi tantangan yang timbul adalah bagaimana kita, bagaimana kita, sebagai pengikut Kristus dapat terus menekankan unsur rohani dari perayaan Natal itu sendiri, di tengah- tengah zaman yang semakin gemar menggantikan unsur rohani itu dengan unsur sekuler, misalnya Sinterklas.
Meskipun demikian, secara prinsip saya tidak berkeberatan mengizinkan anak-anak mengikuti perayaan Natal yang menggunakan figur Sinterklas, selama anak-anak menyadari bahwa Natal adalah saat di mana kita memperingati hari kelahiran Tuhan Yesus di dunia. Kekaguman dan kepercayaan anak pada Sinterklas biasanya bersifat sementara. Lagipula Sinterklas tidak memiliki dampak apa-apa terhadap anak (I Kor 8:4-6). Sesudah mencapai usia 6 hingga 8 tahun, anak-anak mulai menyadari bahwa Sinterklas hanyalah tokoh fiktif. Adalah suatu kelaziman apabila anak-anak terpaku pada tokoh-tokoh fiktif tertentu, misalnya pada Ksatria Baja Hitam, dan bagi mereka, Ksatria itu seolah-olah sungguh hidup. Jadi, sinterklas pun dapat menjadi seorang tokoh yang seolah-olah benar-benar ada dalam benak mereka. Yang paling penting adalah, kita mengajarkan kepada anak- anak bahwa pada hari Natal, kita memperingati suatu saat yang agung di mana Allah berkenan turun di dunia dan lahir sebagai bayi Yesus.