Oleh: Pdt. Paul Gunadi Ph.D.
Sejak anak saya memasuki usia remaja, sikapnya mulai berubah. Ia lebih sering diam di kamarnya dan tidak banyak bicara dengan kami lagi. Tetapi ia dapat menghabiskan waktu berjam-jam bercakap-cakap melalui telepon. Apakah ini gejala yang wajar atau tidak? Bagaimanakah cara menghadapinya?
Jawab:
Menurut Erik Erikson, pada saat anak memasuki usia remaja, ia pun memulai proses pembentukan identitas atau jati dirinya. Sebetulnya, anak sudah mulai mengumpulkan bahan-bahan untuk pembentukan jati dirinya jauh sebelum masa itu. Namun, pada masa remajalah jati anak mencapai bentuk yang relatif matang. (Saya katakan relatif, sebab menurut hemat saya pembentukan jati diri merupakan suatu proses yang berkesinambungan melampaui masa remaja.)
Identitas diri sebenarnya adalah gambar atau pemahaman tentang siapakah kita ini. Pada waktu kita masih kanak-kanak, kita sangat bergantung pada orangtua yang mengasuh kita. Perlahan-lahan kebergantungan pada orangtua semakin berkurang seiring masa remaja praktis dapat dikatakan bahwa kita sudah dapat hidup secara mandiri, kecuali dalam aspek keuangan. Pada saat itu barulah kita mulai bisa melihat diri kita secara lebih jelas, terpisah dari orangtua. Gambar atau pemahaman tentang siapakah kita (jati diri) mulai muncul dan kita pun semakin menyadari keinginan-keinginan dalam diri kita.
Pada masa ini, kehidupan sosial anak juga sudah meluas sehingga peran orangtua mulai menciut. Orangtua, yang tadinya merupakan pusat kehidupan sosial anak, sekarang tersisihkan dan digantikan dengan teman-teman sebayanya. Sebelumnya anak selalu bertanya bila ia hendak melakukan sesuatu. Sekarang anak mulai menunjukkan keengganannya meminta pendapat apalagi izin orangtua. Kalau dulu anak selalu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya, sekarang anak mulai menyimpan rahasia. Nah, di sini letak kesulitannya. Acap kali orangtua menafsirkan perilaku anak ini secara negatif, seolah-olah anak merahasiakan sesuatu yang buruk. Sudah tentu adakalanya anak memang menyimpan hal-hal yang buruk. Namun yang biasanya terjadi adalah anak bukannya merahasiakan sesuatu tetapi hanya tidak lagi merasa perlu menceritakan setiap peristiwa yang dialaminya kepada orangtua.
Kecenderungan anak untuk lebih “seru” jika sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya sebenarnya masuk akal. Bukankah kita juga pada umumnya lebih bisa “masuk” kalau berbicara dengan teman-teman sebaya kita, dibanding dengan orang –orang yang 25 tahun lebih tua dari kita (jarak usia antara anak dan orangtua juga sekitar 25 tahun). Teman sebaya sudah pasti lebih memiliki kesamaan dengannya karena hidup dalam dunia yang sama. Disinilah dituntut kesediaan orangtua untuk mempelajari dunia anak remaja agar anak remaja dapat melihat bahwa orangtuanya sungguh memahami pikirannya.
Ada beberapa cara yang dapat orangtua lakukan. Misalnya, kita mengajak anak pergi berduaan sehingga kita dapat berbincang-bincang dengannya seperti teman. Bercakap-cakaplah dengannya, jangan menginterogasinya. Lakukan hal ini (interogasi) pada saat dan tempat yang lain bilamana memang ada alasan yang kuat untuk mencurigai perilakunya. Jangan memarahinya karena ia memakai telepon terlalu lama. Marahilah karena ia lalai melaksanakan tanggung jawabnya akibat terlalu lama berbicara di telepon. Marahilah karena ia kurang mempedulikan orang lain yang juga ingin memakai telepon namun tidak bisa. Satu hal lagi yang penting, jangan memarahinya karena ia memakai telepon selama 50 menit sedangkan Saudara hanya menyisakan 5 menit untuk pembicaraan per telepon. Meski ia adalah anak kita, namun kepribadiannya dapat bertolak belakang dengan kita. Mungkin ia tipe anak yang senang bergaul, sedangkan kita lebih suka menyendiri. Kita perlu menyadari dan menerima perbedaan ini dengan lapang dada, asalkan anak tidak berbuat hal-hal yang salah.
Nah, saya harap jawaban ini dapat menolong Saudara sekalian yang mempunyai anak remaja di rumah.