Oleh: Esther Susabda, Ph.D.
Kedua anak kami (dua-duanya wanita) sudah di SMU. Tanpa terasa hidup begitu cepat, dan mereka segera akan meninggalkan kami. Mereka sedang dalam proses mempersiapkan diri untuk sekolah di Amerika. Suami saya sibuk dengan usahanya sehingga sulit untuk diajak bicara; saya sendiri akhir-akhir ini rasanya tegang sekali, dan kadang-kadang muncul pertanyaan-pertanyaan dan keraguan, apakah saya sudah memilih jalan yang tepat untuk mereka?
Mengamati tingkah laku anak-anak saya, rasanya mereka tidak atau belum siap untuk mandiri. Dalam banyak hal mereka kelihatannya masih sangat kekanak-kanakan. Mengatur kamarnya sendiri saja tidak bisa, Bu. Makan, tidur, pemakaian uang, mengisi waktu libur, d.l.l. . . masih harus disupervisi. Juga yang sangat mencemaskan adalah pergaulan dengan teman-temannya. Sulit dinasehati, bahkan seringkali tidak suka kalau saya bertanya darimana atau mau kemana dengan siapa. Saya juga baru sadar, pengenalanmereka tentang Tuhan minim sekali.
Saya bingung, apa yang saya harus lakukan karena saya sangat mencintai mereka, menunda keberangkatan? . . . saya tidak tega, sedangkan melepaskannya saya juga tidak berani??
Jawab:
Kasih Anda kepada mereka yang begitu besar, sangat nampak dari keluhan Anda sendiri, bahwa sampai hal yang kecil-kecil Anda masih menjadi “otak” bahkan mungkin Anda yang mengambil alih semua tanggung jawab. Satu pihak mungkin Anda senang dengan apa yang Anda lakukan selama ini yaitu tanpa sadar Anda sudah memanjakan mereka secara berlebihan. Di pihak lain pada saat sekarang mereka ingin menunjukkan kemandirian mereka, Anda merasa tertolak dan usaha Anda tidak lagi mendapatkan respon yang menyenangkan.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan:
a. Kesadaran Anda akan tanggung jawab utama yang Anda belum lakukan selama ini adalah menanamkan prinsip-prinsip kebenaran dalam hati sanubari mereka, walaupun yang nampak di permukaan adalah kekuatiran Anda kehilangan anak-anak (empty nest syndrome). Tidak ada kata terlambat . . . belajarlah bertanya “bagaimana menggunakan waktu yang ada untuk memberikan kepada mereka yang terbaik.” Memang prinsip kebenaran tidak bisa diberikan semuanya dalam waktu yang sempit ini, tapi paling tidak Anda bisa mulai dengan mendoakan secara terperinci apa yang Anda rasakan sangat dibutuhkan mereka. Jangan sampai seperti keluarga imam Eli (I Sam 3:13-14) yang akhirnya dibinasakan Tuhan karena “anak-anaknya telah menghujat Allah, dan ia tidak memarahi mereka . . .” Mintalah pimpinan Tuhan bagaimana mengkomunikasikan kekuatiran Anda kepada suami, supaya Anda bisa berbagi tentang masalah ini, tanpa ada kesan menimpakan kesalahan pada suami.
b. Mencintai anak merupakan seni yang membutuhkan tanggung jawab dan disiplin yang tinggi. Perbaharuilah sistem interaksi dalam keluarga supaya Anda bersama suami dapat menciptakan sistem yang kondusif dimana peran dan tanggung jawab mereka sebagai orang dewasa dapat dimanifestasikan. Kekompakan, keseriusan dan konsistensi Anda berdua akan menghasilkan sistem kehidupan baru. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap tentunya, yaitu bagaimana mereka dapat mengatur diri mereka sendiri, mulailah dari hal-hal yang sederhana dan tidak perlu nasehat yang terlalu banyak.
c. Biasakan juga untuk bicara secara pribadi dengan anak-anak, ungkapkan kekuatiran Anda, bagikan pergumulan Anda dan jangan takut konflik oleh karena perbedaan pendapat, jadilah teman untuk mereka.
d. Kekuatiran Anda tidak dapat mengubah dan menyelesaikan masalah mereka, namun Anda juga dapat berdoa seperti yang ditulis Dr. James Dobson
"Be there Father, in the moment of decision when two paths present themselves to our children. Especially during that time when they are beyond our direct influence, send others who will help them do what is righteous and just”
Hadirlah ya Tuhan, pada saat-saat anak-anak kami harus memilih. Terutama saat kami jauh; kirimkan orang yang mampu menolong mereka untuk melakukan apa yang benar dan adil di mataMu”