Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Mungkin setiap masalah dalam kehidupan orang percaya, bagaimanapun keadaannya, selalu berkaitan dengan masalah hukum dan Injil. Orang Kristen bisa merasa dirinya dirugikan, tidak dimengerti, dihina, dilecehkan, dimusuhi, atau pengalaman negatif apa saja, biasanya terjadi oleh karena ia tidak dapat menyelesaikan ketegangan antara hukum dan Injil didalam dirinya. Kedua entitas ini selalu hadir dalam jiwa manusia meskipun seorang telah dilahirkan barn oleh Roh Kudus. la bisa mengamini kehidupan dalam Injil tetapi pada saat yang sama terjebak dalam jebakan hukum dosa.
Alkitab menyaksikan bahwa keselamatan dalam Yesus Kristus temyata tidak dengan sendirinya membebaskan orang percaya dari jerat hukum yang melumpuhkan ini. Alkitab menyaksikan bahwa hampir setiap individu orang beriman pernah terjebak didalamnya. Paulus juga pernah terjebak dalam hukum "daging" yang berulang-kali menyeretnya kedalam perhambaan dosa (Roma 7). Petrus pernah terjebak dalam hukum "budaya dan kewajaran" yang menjadikannya seorang yang munafik (Gal 2:11-14). Jemaat Galatia terjebak dalam hukum Taurat atau "Injil yang lain" yang menisbikan atau merelatifkan karya agung keselamatan Kristus yang sudah dianugerahkan. Jemaat Ephesus terjebak dalam hukum "religiusitas agama" sehingga mereka lupa bahwa segala jerih payah pelayanan mereka bukanlah manifestasi kasih mereka pada Tuhan Yesus Kristus (Wahyu 2). Berbagai jebakan hukum, bisa menjadi penghalang utama mengaplikasikan kehidupan dalam Injil yang sejati.
Meskipun demikian Alkitab juga menyaksikan bahwa manusia membutuhkan hukum. Bahkan individu Kristen tidak pernah bisa hidup tanpa hukum. Sebagai manusia yang sudah ditebus oleh darah Kristus, ia hams menyadari bahwa dirinya tidak pernah dapat hidup tanpa hukum. la yang sudah dimerdekakan dari hukum Taurat adalah ia yang telah masuk kedalam ikatan "hukum yang baru" (Mat 22:34-40) yang memerdekakan dari dosa. Sehingga kewaspadaan atas "jebakan hukum" harus ada, bukan oleh karena manusia tidak membutuhkan hukum, tetapi oleh karena "masih hidupnya dosa dalam spirit hukum yang lama yang belum digantikan dengan spirit hukum yang baru." Disebut spirit, karena isi dan aplikasi praktis antara yang lama dan yang baru sebetulnya sama saja. Setiap nokta dan iota dari Taurat tak boleh diabaikan, tetapi spiritnya harus baru. Spirit pemenuhan hukum haruslah spirit penggenapan hukum yang telah dikerjakan oleh Yesus Kristus (Mat 5:17-18). Spirit pemenuhan hukum yang baru itulah yang disebut Injil. Oleh sebab itu salah satu tanda dari keselamatan dalam Yesus Kristus adalah realita kehidupan dalam spirit pemenuhan hukum yang baru. Suatu anugerah, tetapi anugerah yang harus dikerjakan terus-menerus dengan takut dan gentar (Fil2:12)
Kelengahan menghidupi spirit hukum yang baru adalah sumber dari kegagalan orang Kristen untuk mengatasi dosa-dosanya. Mungkin karena itulah gereja selalu mengalami kesulitan untuk menjadi kehadiran Kristus dimuka bumi, dan orang-orang Kristen selalu jatuh bangun dalam dosa-dosanya. Mereka tidak sadar bahwa Injil yang mereka imani dapat dengan cepat berubah menjadi "sekedar simbol kosong" oleh karena spirit pemenuhan hukum yang lama berkuasa kembali. la masih orang Kristen, tetapi apa yang ia perjuangkan dan upayakan (mungkin dengan perencanaan dan strategi yang tepal sehingga hasilnya pun memuaskan dirinya) sebenarnya bukan kebenaran Allah, sehingga:
I. Pemberitaan Injil menjadi proselitisme
Spirit pemenuhan hukum yang lama selalu menghidupkan dosa-dosa manusia, sehingga seorang penginjil bisa menggebu-gebu bergiat memberitakan Injil tetapi spiritnya adalah “striving for superiority” dimana kepuasannya bukan pertobatan orang berdosa melainkan jumlah dan kebesaran namanya sendiri. la bahkan iri dan dengki melihat penginjil yang lain juga dipakai oleh Tuhan, apalagi kalau jumlah yang hadir lebih banyak, ia akan terus menciptakan "persaingan yang tidak sehat" dengan hamba-hamba Tuhan yang lain. la akan terdorong membuka cabang gerejanya ditempat dimana terjadi ramainya persaingan. la tidak bersemangat untuk memberitakan Injil ditempat yang justru belum terjangkau oleh Injil. Beban sebenarnya bukan pemberitaan Injil pada mereka yang masih ada didalam kegelapan, tetapi "superioritas" usahanya. Untuk itulah ia membuka cabang-cabang gerejanya di kota-kota besar dimana sudah banyak gereja "yang baik." Sekali lagi bebannya bukan pemberitaan Injil pada yang terhilang dan tersesat, bahkan kerinduan untuk memperkuat yang sudah ada dan menciptakan kerja-sama saudara-saudara seiman tidak ada. la bahkan dengan terencana melakukan pencurian domba-domba. Inilah yang disebut proselitisme.
Dalam Perjanjian Lama, proselit itu sendiri mempunyai konotasi yang cukup positif, yaitu keterbukaan anugerah Allah bagi "orang-orang asing atau non-Israel" untuk ikut ambil bagian mendemonstrasikan tingkah-laku iman yang benar (Kel 12:48, Bil. 15:30 dsb). Memang alasan mereka tidak selalu positif (mis: II Raja-raja 17:24-41) tetapi Tuhan mengijinkan mereka mengambil bagian dalam kehidupan ibadah orang-orang pilihan Allah. Mereka disebut sebagai "ger toshab " yaitu petobat-petobat dari luar pintu gerbang umat Allah. Alkitab mencatat bahwa dari mereka benar-benar ada yang berbalik setia kepada Allah Yahweh meninggalkan ilah-ilah sembahan mereka yang lama, seperti yang dilakukan oleh Rahab, Rut, dan Uria suami Batsyeba. Bahkan Perianjian Baru mencatat adanya begitu banyak proselit yang hadir dalam ibadah raya Paskah di Yerusalem (Kis Ras. 2:10, 6:5, 13:43).
Meskipun demikian pengertian dari kata proselit kemudian berubah menjadi negatif, oleh karena "semangat keagamaan yang dikuasai spirit pemenuhan hukum yang lama." Untuk itu Tuhan Yesus tidak segan-segan menghardik pemimpin-pemimpin agama dan mengatakan, "Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang yang munafik, sebab kamu mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk mentobatkan satu orang saja menjadi penganut agamamu dan sesudah ia bertobat, kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat daripada kamu sendiri" (Mat 23:15). Komitmen dan semangat yang menggebu-gebu memberitakan keyakinan agama bisa dengan mudah dikuasai oleh spirit pemenuhan hukum yang lama yang sebenarnya cuma memuaskan keinginan dirinya sendiri.
II. Kesetiaan kepada Allah didemonstrasikan dengan spirit militan pembelaan doktrin
Kehadiran spirit pemenuhan hukum yang lama juga nyata dalam sikap militan dan judgmental terhadap orang-orang yang doktrinnya berbeda. Bagi mereka, seolah-olah Tuhan Allah membutuhkan pembelaan manusia supaya nama-Nya dapat dipermuliakan. Tepatlah yang dikatakan oleh Gerald Mann bahwa mereka akan menjadi "God's gestapo" oleh karena mereka adalah "peoples who consider themselves guardian of faith, the sniffers-out of heresy/ . . . mereka menganggap dirinya pembela iman Kristen dari kesesatan” (The Seven Deadly Virtues” Waco, TX.: Word Books, 1979). Mereka tidak segan-segan mengutuk dan membenci bahkan kalau perlu "menyingkirkan" orang-orang Kristen yang berbeda dengan mereka dari muka bumi. Mereka menjadi "laskar-laskar berani mati" oleh karena kehadiran dan peran Roh Kudus yang menghidupkan hati nurani dan membebaskan dari perhambaan dosa telah ditolak. Mereka adalah hamba-hamba organisasi gerejanya sendiri karena kesetiaannya pada organisasi gereja lebih dari pada Tuhan Yesus kepala gereja yang sejati, yang justru datang untuk membebaskan dari ikatan pemenuhan hukum yang lama. Untuk itu Harry Emerson Fosdick mengatakan bahwa, "There is not a more destructive force on earth than the religious person who condemns others out of a sense of service to God/. . . tak ada penghancur yang lebih besar daripada sikap menghakimi sesama dengan alasan pengabdian pada Allah" ('Dear Mr. Brown." New York: Harper & Row, 1961, P, 170). Memang "Virtue which is unchecked is more dangerous than a blantant evil/. . . kebajikan yang tak pernah diuji lebih berbahaya daripada kejahatan yang dilakukan terang-terangan" (C.S.Lewis "Four Loves" London: Fontana, 1950).
Perhambaan spirit pemenuhan hukum yang lama senngkali manifestasnya tersembunyi. Seolah-olah orang Kristen bisa begitu setia kepada Tuhan padahal spiritnya bukan kebenaran Injil yang sejati yang membebaskan (Yoh 8:32). Mereka bisa secara terus terang menghina iman kelompok Kristen "yang lain" bukan oleh karena kasih Kristus yang merindukan kehadiran kebenaran iman yang sejati. Bahkan mereka bisa memberikan pengajaran tentang etika dan moral yang sangat meyakinkan tetapi kebenarannya lahir dari "hukum yang lama." Seorang psikolog pernah mengatakan bahwa "orang yang paling keras memberikan hukuman kepada penjinah adalah orang yang sesungguhnyajiwanya sendiri penjinah." Juga Gerald Mann dalam bukunya yang sama menceriterakan pengakuan seorang hamba Tuhan yang mengatakan bahwa, "whenever I see others enjoying what I would secretly like to enjoy but I am either too old or too cowardly to try, I may want to deprive them of their enjoyment - all in the name of moral reform. In reality, I am only blinding myself to my secret sin of envy/. . . Pada saat saya melihat orang lain begitu bebas menikmati dosa yang sebetulnya saya inginjuga nikmati,. . . tapi takut, saya ingin menghukum mereka. Padahal satu-satunya dorongan yang ada dalam diri saya hanyalah iri hati" (p.23). Realita kehadiran spirit pemenuhan hukum yang lama ini selalu menjebak orang percaya dalam perhambaan dosa. Suatu kemunafikan hidup. la bisa begitu keras menghakimi kelemahan sesama, padahal dirinya sendiri terjebak dalam kelemahan yang sama.
Spirit Injil yang dimanifestasikan dalam pernahaman dan empathy pada kelemahan sesama manusia hanya dimiliki oleh mereka yang terbebas dari jerat hukum yang lama. Hal ini terus-menerus didemonstrasikan oleh Tuhan Yesus yang penuh empati dan understanding, seperti pada saat ia berkata kepada perempuan penjinah "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi" (Yoh 8:10). Memahami realita ini, menolong orang Kristen dapat membaca puisi yang ditulis A.T. Lanta yang berjudul "Saints who have never been caught" dimana dikatakan, " I'm a sinner O Lord, and I know it. . . .I'm weak, I blunder, I fail . . . I'm tossed on life's stormy ocean, like ships embroiled in a gale ... I'm willing to trust in Thy mercy; to keep the commandments Thou's thaught. But deliver me. Lord, from the judgment. . of saints who have never been caught /. . . Tuhan aku orang her dosa... bebaskanlah aku dari dosa orang-orang saleh yang tak pernah ketahuan." (Lofman Hudson," Grace is not a Blue-eyes Blond” Waco: Word 1968, p.31).