Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Era Post Modern yang dimulai pada tahun 1990-an ditandai dengan kebangkitan semu agama-agama di seluruh dunia. Kejujuran eksistensialistik (kejujuran tanpa etika dan standar kebenaran mutlak dari agama) yang telah memberikan pukulan yang begitu berat pada inti iman (yang selama ini menghidupi dan menjadi identitas agama) telah memaksa agama-agama besar untuk mengubah misi mereka di tengah dunia ini. Tiba-tiba terjadi suatu konsensus bahwa agama tidak lagi berbicara tentang kemutlakan doktrin, tradisi dan ajaran jalan keselamatan. Agama sekarang mempunyai peran baru di masyarakat yaitu "transformasi", yang sebenarnya merupakan manifestasi baru dari peran sosial di tengah dunia yang makin membutuhkan perdamaian, keadilan dan cinta kasih. Dalam peran inilah, agama dipaksa mengadopsi jiwa toleransi dari spirit relativisme. Suatu kondisi yang membuat kehadiran umat Kristen di zaman ini menjadi dilema.
Pada setiap periode sejarah, umat Kristen menghadapi tantangan kesaksian yang berbeda. Pada era Modem (mulai dengan revolusi Perancis tahun 1789 s.d. runtuhnya tembok Berlin di tahun 1989), dengan munculnya Romanticism, Rationalism, Empiricism dan Existentialism, umat Kristen ditantang untuk membenahi imannya. Di tengah tekanan Biblical Criticism (Kritik Alkitab) yang mempertanyakan kembali setiap bagian inti iman, umat Kristen mengalami kegagalan dan mencoba menyembunyikan diri dengan melarikan diri dari realitas serta masuk masuk ke dalam permainan religious art and culture. Biblical Criticism dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin terjawab secara memuaskan telah memecah belah kesatuan tubuh Kristus. Sebagian terpaksa menyerah dan mengintegrasikan imannya dengan filsafat-filsafat zamannya. Dan sebagian lagi mencoba menipu diri sendiri dengan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan zamannya dan mengembangkan jenis baru dari tingkah laku rohani yang "pada dirinya sendiri" memberikan kepuasan batiniah. Itulah yang disebut art and culture. Maka lahirlah Neo-Pentecostalism atau Charismatic Movements dengan 1001 macam manifestasi "tingkah laku rohani yang baru", yang seolah-olah dapat memenuhi kebutuhan rohani di tengah era Modern yang telah menggoncangkan setiap sendi iman.
Di tengah kebingungan peran ini, umat Kristen tidak lagi berpikir secara Kristen. Apa yang menjadi inti iman tidak lagi menentukan sikap dan tingkah laku dalam kehidupannya. Meskipun mengakui kepentingan mutlak dari inkarnasi Anak Allah misalnya, dalam hati muncul kejujuran eksistensialistik yang mengatakan, "Kalaupun aku tidak percaya akan inkarnasi Anak Alah, itu pun tidak mengubah apa-apa." Skandal ini berlaku dalam hubungan dengan hampir setiap unsur iman Kristen. Akibatnya, kepercayaan akan Allah Tritunggal, penebusan dosa melalui darah Kristus, dsb hanya menjadi simbol-simbol agama yang mati, yang sebenarnya tidak menentukan apa-apa. Kelompok Neo-Pentecostalism mengatakan bahwa yang terpenting adalah pengalaman rohani yang memuaskan, dan kelompok yang lain menegaskan bahwa yang terpenting adalah mengerti makna dari unsur-unsur iman tersebut untuk zaman ini. Bagi kelompok yang kedua ini, hakekat Allah (Tritunggal), inkarnasi Anak Allah, penebusan dosa, dsb hanyalah simbol-simbol iman. Apakah itu betul-betul nil dan historical itu tidak penting, karena yang terpenting adalah "apakah makna dari hal-hal tersebut bagi kita sekarang ini".
Pada era Modern, hampir setiap teolog besar (seperti Karl Barth dan Paul Tillich) berpikir dengan orientasi filsafat zamannya. Mereka mencoba memakai bahasa dan pikiran zamannya untuk mengkomunikasikan iman Kristen, tetapi mereka gagal untuk dapat memelihara inti iman tersebut. Di tangan mereka, inti iman Kristen berubah menjadi simbol-simbol yang kosong, yang makna dan beritanya sama saja dengan makna dan berita yang ada dalam setiap agama besar di dunia ini. Benarlah yang dikatakan oleh Harry Blamires bahwa "There is no longer a Christian mind... The Christian mind has succumbed to the secular drift with a degree of weakness unmatched in Christian History" (The Christian Mind, London: SPCK, 1963, pp. vii, 3).
Dengan kegagalan-kegagalan di era Modern, umat Kristen memasuki era Post Modem dengan kekaburan akan jati din atau identitas. Dan itu ditandai a.I. dengan:
Pertama, kecenderungan untuk menjadi anti intelektualisme. Anti intelektualisme tidak sama dengan anti kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak orang Kristen yang berpendidikan tinggi dan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan tapi tetap berjiwa anti intelektualisme. Dalam hidup mereka, "inteiek" dalam arti yang sesungguhnya tidak dipakai sebagaimana mestinya. Mungkin mereka dapat berpikir tentang berbagai ilmu, tapi pikiran tersebut tidak pernah diperbaharui dan dipakai untuk menjadi wadah dari "mind of God/pikiran "Allah".
Bekas duta besar Amerika Serikat, Charles Malik telah mensinyalir kecenderungan ini. Dalam pidatonya pada saat peresmian gedung Billy Graham Center di Wheaton College, tahun 1980, beliau mengatakan: "I must be frank with you; the greatest danger besetting Christianity is the danger of anti-intellectualism. The mind as to its greatest and deepest reaches is not care for enough." (The Two Tasks. Downers Grove, III: Inter Varsity, 1980, pp.33). Pikiran orang-orang percaya dengan segala potensinya tak pernah benar-benar dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhannya. Pembaharuan mind/akal budi sebagai bagian integral dari persembahan yang diperkenan Allah (Roma 12:1-2) tak pernah dikerjakan benar-benar.
Akibatnya, segala kekayaan dan rahasia surgawi yang disediakan Allah (Yoh 15:15) tak pernah dipahami dan dihayati untuk direalisasikan dalam dan melalui kehidupan orang-orang percaya. Tidak heran jikalau di tengah era Post Modern ini, umat Kristen kehilangan jati diri dan mengalami kebingungan role (role confusion) tak tahu persis apa yang menjadi panggilan Allah bagi dirinya.
Kedua, kecenderungan untuk menjadi apatis dan masa bodoh terhadap inti iman. Benih-benih yang sudah ditabur di era Modern sekarang bertumbuh dan berbuah di era Post Modern. Banyak orang Kristen tidak menyadah bahwa di dalam batin mereka inti iman mereka sudah hampir lenyap. Pengenalan dan pergaulan pribadi dengan Allah yang seharusnya menjadi inti iman sudah diganti dengan "cara (manifestasi iman yang baru) untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dan keinginan pribadi". Mengherankan sekali betapa keinginan dan kebutuhan untuk mengenal dan bergaul dengan Allah secara pribadi makin lama makin lenyap. Kebutuhan dan keinginan pribadi menjadi begitu penting sampai umat Kristen tidak lagi mempedulikan apakah hubungan dan pergaulan mereka dengan Allah masih hidup dan terus menerus berkembang.
Dalam bukunya, Finding God, psikolog Kristen Larry Crabb mensinyalir gejala ini dan mengatakan dengan tepat sekali bahwa, "In today's world we have shifted away from finding God toward finding ourselves. Fondness for ourselves has become the highest virtue... Feeling better has become more important to us than finding God "(Grand Rapids, Zondervan, 1993, pp. 15-17).
Gejala seperti ini makin lama akan menjadi makin parah, karena Post Modern spirit telah mengubah Allah menjadi "simbol iman agama". Akibatnya manusia menjadi makin tidak peduli terhadap pribadi Allah dan pergaulan dengan-Nya. Yang terpenting adalah bagaimana memakai simbol-simbol tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadinya. Di tengah pergumulan dan persoalan-persoalan hidup ini, Allah hanyalah sarana untuk menyelesaikannya. Orang tidak lagi bersedia bergumul untuk mendapatkan pengenalan yang dalam akan kehendak dan pribadi Allah.
Kekristenan menghadapi krisis. Doakan STTRII, Institut Reformed, dan Sekolah-sekolah Theologi Reformed yang secara khusus memang didirikan untuk menjawab tantangan ini. Tuhan kiranya memberkati pelayanan kita semua.