Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.
Mengamati semua kegiatan Kristen baik di gereja-gereja maupun organisasi-organisasi parachurch, penulis menemukan berbagai gejala yang sangat mengkuatirkan. Ditengah pertambahanjumlah umat, kegiatan "musiman" dengan topik-topik yang luar biasa dan munculnya puluhan gedung gereja yang "wah," dikota-kota besar seperti Jakarta, penulis merasakan nafas yang tidak segar, yang menguatirkan bahkan menyesakan. Penulis merasakan munculnya perasaan, yang mungkin mirip seperti yang dirasakan oleh Jenderal Romawi, Scipio Africanus setelah "kemenangan yang kosong," atas Carthago pada tahun 146 BC. Untuk kota sekecil Carthago, Romawi harus berjuang 3 tahun penuh dengan mengorbankan ratusan ribu tentaranya. Itulah sebabnya dari atas bukit, sambil memandangi kepulan asap yang membumbung diatas kota Carthago, Scipio Africanus meneteskan air mata dan mengatakan "I smell the sunset". Kejayaan Romawi sudah merosot.
Kekristenandiseluruhduniasungguh mengkuatirkan.Sebagaipengkotbahsekaligus pengamat yang bergerak dari gereja ke gereja, penulis menemukan gejala-gejala kelumpuhan yang hampir-hampir terpaksa harus diresponi dengan mengutip kata-kata F. Nietszche bahwa "God is dead", karena rasanyabenar,bahwaumatKristensudah membunuh-Nya. "Even if God exists. He can do nothing", katanya. Baginya, kekristenan tidak lagi menjadi berkat, bahkan menjadi "noda sejarah yang tak dapat dimaafkan." Mengapa demikian?
I. Karena kekristenan sudah menjadi sekedar "agama", dengan berbagai kegiatan yang hampir semuanya bergerak dalam gerakan sentripetal/kedalam, hanya untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Apa yang kekristenan dan gereja-gereja lakukan, ujung-ujungnya, hanyalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan diri sendiri. Apapun itu bentuknya, Mungkin alasan yang dikemukakan sangat baik oleh karena memakai bahasa rohani yang baik. Tetapi jikalau dengan seksama kita ikuti jalan pikiran mereka, makakitaakan menemukan berbagai "inconsistencies." Satu pihak mengatakan, bahwa gedung gereja yang "wah, mewah dan megah", adalah untuk kemuliaan nama Tuhan, tetapi pihak lain, begitu jelas diri merekalah yang ingin dipermuliakan. Yaitu sebagai "pemenang", yang berhasil membuktikankeunggulannya ditengah -denominasi gereja-gerejalain. Satu pihak mengklaim bahwa kebaktian-kebaktian "akbar" yang diadakan, dengan biaya miliaran rupiah adalah untuk menjangkau jiwa-jiwa yang belum diselamatkan. Padahal kalau kita amati, maka kita temukan bahwa 99% dari individu yang hadir adalah orang-orang Kristen, bahkan mereka yang sudah aktif terlibat dalam berbagai kegiatan gereja masing-masing. Satu pihak kita mendengar bahwa keterlibatan gerejanya dalam pelayanan sosial adalah wujud kasih yang nyata bagi dunia yang menderita, namun kalau kita cermati maka kita akan menemukan betapa 99% pemberian mereka itu hanyalah "sisa-sisa atau recehan" dari kekayaan yang mereka miliki, yang hampir semuanya sudah dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan dan kenikmatan diri mereka sendiri. Tidak ada pemberian yang murni lahir dari iman, atau yang dapat disebut sebagai "sacrificial gift". Mereka bahkan tidak mendoakan orang-orang yang terkena musibah dengan doa yang lahir dari cinta kasih Kristus Yesus. Satu pihak kita mendengar ungkapan dari mulut yanghaus akan kebenaran Firman sehingga membuka berbagai program kegiatan studi untuk melengkapi umat dengan pengetahuan teologia yang benar. Di pihak lain kalau kita cermati dengan pendekatan yang lebih pribadi, maka kita akan segera menangkap kegelisahan dari pengajar-pengajar teologia itu sendiri, bahwa apa yang mereka ajarkan, mereka sendiri belum alami kebenarannya. Kelas-kelas pembinaan hanyalah kegiatan memindahkan bahan dari buku sebagai retorika kegiatan belajar dan mengajar. Pembinaan teologia, pada akhirnya menjadi permainan mengasah otak yang tidak menghasilkan perubahan dan pembaharuan hidup manusia. Pada akhirnya, tanpa disadari, umat Kristen terjerat dalam kelemahan rationalism seperti yang dialami oleh Rene Descartes yang mengakui bahwa, "there was only one thing he could not doubt, and that was the fact that he doubted."
II.Karena kekristenan cenderung dibangun diatas berbagai asumsi atau pengandaian "as if". Apa yang gereja-gereja lakukan, termasuk segala kegiatan yang seharusnya "sangat baik", ternyata sudah terjerat dalam berbagai mitos, karena dibangun diatas asumsi-asumsi "as if".
Pertama, mitos bahwa kegiatan-kegiatan gereia yang "baik", dan "effektif". pasti diperkenan dan diberkati Tuhan. Alkitab menyaksikan betapa cara Tuhan menilai baik dan buruknya pelayanan dan kesaksian ternyata berbeda dari manusia. Manusia melihat apa yang didepan mata, tetapi Tuhan melihat hati (I Sam. 16:7). Segala rancangan manusia yang baik sekalipun, belum tentu diperkenan Allah. Untuk itu, Tuhan pernah mengingatkanbahwa"rancanganKu,bukan rancanganmu, dan jalanmu bukan jalanKu (Yes.55:8)”.
Nah, berdasarkan prinsip penilaian yang khusus inilah, kita belajar memahami mengapa jemaat Efesus yang begitu hebat dalam pelayanan, kesaksian dan pengajarannya pun mendapat peringatan yang begitu serius dari Tuhan. Mereka tidak mengenal lelah dalam pemberitaan Injil, dalam discipleship (sehingga menghasilkan Timotius, Aquila Priscilla, dsb), dalam pengajaran doktrin yang solid (sehingga mengenali kesesatan ajaran Nikolaus), bahkan dalam kesetiaan sampai rela menderita untuk nama Tuhan Yesus Kristus pun bisa lahir dari jiwa yang "sudah kehilangan kasih yang semula" (Wahyu 2: 1-7). Asumsi atau pengandaian, bahwa kegiatan-kegiatan gereja yang baik dan efektif pasti diperkenan dan diberkati Tuhan adalah suatu mitos.
Kedua, mitos bahwa individu yang sudah dilahirbarukan oleh Roh Kudus, sudah diselamatkan, sudah mengenal dan merasa mengasihi Tuhan, kemudian sudah mengenal kebenaran firman Tuhan dan teologia yang solid, bahkan mempunyai pelayanan rohani yang efektif berbuahkan buah-buah yang baik, pastilah ia seorang individu yang kehidupannya sudah diperbaharui oleh Tuhan.
Alkitab menyaksikan betapa pembaharuan akal budi adalah bagian dari pertanggungjawaban iman (Roma 12:1-2). Roh Kudus sebagai Parakletos yang hadir dalam tubuh orang percaya (I Kor 3:16) untuk menyertai, mengingatkan, menghibur, menasehati, dan memimpin kedalam seluruh kebenaran (Yoh 16:7-14) adalah Roh Allah yang tidak mengambil-alih tanggung jawab manusia. la dapat diduka-citakan, dan bahkan dipadamkan suaraNya (Ef 4:30, I Tes 5:19). Itulah sebabnya, pembaharuan akal budi manusia tidak terjadi dengan sendirinya, oleh karena orang percaya mengasihi Tuhan, mengenal kebenaran Firman-Nya dan mepunyai pelayanan yang baik.
Musa yang pemberang adalah Musa yang sudah dididik Allah, dan pernah mengecap karunia rohani "kelemah-lembutan"(Bil 12:3) adalah Musa yang ternyata masih dikuasai oleh jiwa pemberang sehingga ia tidak boleh masuk kedalam tanah perjanjian (Bil 20:7-13). Daud yang begitu dekat dengan Tuhan dan mendapat kasih karunia yang luar biasa dari Tuhan (I Taw 17) adalah juga Daud yang pezinah, pembunuh, pendendam, dan tinggi hati (II Sam 11, I Raja-Raja 2, I Taw 21). Begitu juga Petrus yang pernyataan-pernyataan imannya adalah urapan Roh Kudus (Mat 16:17-19) adalah Petrus yang jatuh bangun dalam dosa dan kelemahan pribadi. Tidak heran jikalau ia membuat strategi untuk menambah iman dengan kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih akan saudara dan kasih akan semua orang. Karena ia tahu bahwa ia yang sudah dipilih Tuhan, yang mengasihi Tuhan, yang bertekad untuk memberikan segala-galanya untuk kemuliaan nama Tuhan adalah individu yang rapuh yang sewaktu-waktu bisa jatuh lagi di dalam dosa dan kelemahannya yang lama (II Pet 1:9).
Gereja, dalam segala kegiatannya, selalu mempunyai objektif yang baik, tetapi kurang. Karena individu-individu Kristen yang sudah diselamatkan, sudah belajar mengasihi Tuhan, sudah mengenal kebenaran firman Tuhan, dan sudah membuktikan dirinya setia dalam pelayanan rohani yang efektif adalah individu-individu yang belum tentu kepribadiannya sudah diperbaharui.
Ketiga, mitos bahwa individu yang mendengar firman Tuhan, tersentuh hatinya, sadar akan apa yang Tuhan kehendaki, bahkan berjanji (melalui pengakuan secara publik) untuk melakukan kehendak Tuhan, adalah individu yang akan menepati janjinya. Ini adalah mitos yang terus-menerus tidak disadari oleh pengkhotbah-pengkhotbah sehingga dari dari waktu ke waktu mengulangi jenis pelayanan yang sama tanpa strategi untuk memperbaikinya. Itulah sebabnya, hampir semua kebaktian dan kebangunan rohani (apalagi yang disertai celebration penuh dengan bunga-bunga ibadah) adalah kegiatan rohani yang dampaknya sangat kecil dalam kehidupan orang percaya. Rutinitas adalah "a subtle enemy" yang melumpuhkan efektivitas kegiatan rohani, dan sampai sekarang belum ada gereja-gereja yang serius menggumuli untuk mengatasinya. Gereja dan pemimpin-pemimpin rohani lebih suka meneruskan hidup dalam mitos yang sudah terbukti "tidak efektif." Individu-individu yang hadir dalam kebaktian, bahkan yang pada saat mendengar firman Tuhan, tersentuh hatinya, dan yang berjanji untuk melakukannya adalah individu-individu yang segera masuk kembali ke dalam kehidupan rutin yang sistimnya tidak kondusif untuk aplikasi praktis dari apa yang diimaninya. Itulah sebabnya, kehadiran gereja dengan jutaan umat Kristen di seluruh dunia ini, tidak memberikan dampak apa-apa untuk pembangunan, perubahan dan pembaharuan dalam hidup manusia.
Quo Vadis: kekristenan mau kemana ?
Kesadaran ini membuka lembaran yang baru bagi STTRII memasuki tahun yang ke-20. Doakan, supaya STTRII menjadi salah satu sekolah yang diperkenan Tuhan untuk memberikan jawab atas berbagai kelumpuhan gereja dan kekristenan di jaman ini.