Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph.D.
Kehidupan anak hampir selalu dikaitkan dengan pendidikan formal maupun informal, baik di rumah maupun di sekolah. Begitu juga kebahagiaan orang-tua juga hampir selalu dihubungkan dengan sukses dari pendidikan tersebut. Apa sebenarnya pendidikan yang dapat disebut sukses?
Dalam suatu seminar untuk orang-tua murid pernah saya ajukan sebuah pertanyaan kepada mereka yang hadir, "apa sebenarnya tujuan pendidikan yang kalian harapkan?" Dan seorang ibu dengan spontan menjawab, "kami ingin anak kami dapat menjadi manusia berguna untuk gereja, nusa dan bangsa, . . . manusia dengan jiwa mulia dan karakter yang baik."
Untuk jawaban tersebut, saya mengatakan "bagus." Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan kedua, "tolong sebutkan kepada saya satu dua contoh manusia dengan jiwa mulia dan karakter yang baik. Apakah rasul Paulus, apakah mother Teresa ... atau mungkin Mahatma Gandhi? Apakah betul ibu mau jikalau anak ibu dididik untuk menjadi seperti Paulus, mother Teresa atau Mahatma Gandhi?" Heran ibu tersebut terdiam ... betul-betul terdiam, dan selama beberapa puluh detik tak seorangpun yang berbicara. Rupanya pertanyaan saya tadi tak pernah dipikirkan oleh mereka.
Sebagai orang-tua Kristen mereka tahu apa itu tujuan pendidikan yang terbaik. Tetapi pengetahuan tersebut hanyalah pengetahuan kognitif yang tak pernah dipikirkan sungguh-sungguh. Suatu ide bahkan suatu teori yang makin lama makin dirasakan "kosong" oleh karena kehidupan praktis jaman ini makin lama makin menutup pintu bagi aplikasi kebenaran tersebut. Menjadi seorang rasul, atau menjadi orang dengan jiwa mulia yang seluruh hidupnya dikorbankan untuk kepentingan sesamanya, merupakan hal yang sama sekali tidak menarik. Apalagi ditengah era Globalisasi di mana spirit hedonisme makin dipuja, dan pendidikan serta persiapan hidup semata-mata hanya berorientasikan kenikmatan perasaan dan kelimpahan materi.
Jadi, apa sebenarnya tujuan dari pendidikan? Untuk pertanyaan ini jawabannya sebenarnya cuma satu. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa tujuan pendidikan, baik itu di rumah, gereja, maupun sekolah, tak lain daripada mempersiapkan anak menjadi manusia seutuhnya seperti yang dikehendaki Allah. Memang secara rohani setiap orang percaya sedang dididik dan diproses oleh Roh Kudus untuk menjadi serupa dengan gambar Kristus Yesus (Roma 8:29). Tetapi arti dari "menjadi serupa dengan gambar Kristus" adalah menjadi manusia yang seutuhnya. Dan keutuhan setiap manusia itu unik pada dirinya masing-masing, karena kepada setiap pribadi Allah memberikan talenta yang berbeda-beda sesuai dengan rencana Allah, dan sesuai dengan kesanggupan mereka (Matius 25:15). Dalam hal ini, pendidikan dengan segala motivasi, tujuan, dan metodenya, hanyalah sarana untuk merealisasikan rencana Allah dalam hidup setiap pribadi. Guru bahkan orangtua tidak mempunyai hak untuk menetapkan arah dan target pendidikan. Karena panggilan mereka hanyalah untuk menciptakan suasana pertumbuhan dan menyediakan sarana supaya rencana Allah tercapai.
Allah adalah pemanah, sedangkan orang-tua/guru hanyalah busur yang seharusnya melentur fleksibel di tangan-Nya, demikian dikatakan Kahlil Gibran dalam puisinya yang berjudul "Anak" seperti tertulis dibawah ini. Sebuah puisi yang diilhami oleh Mazmur 127.
Seorang ibu dengan bayi dalam dekapan, datang dengan mengajukan sebuah pertanyaan: bicaralah kepada kami tentang anak keturunan. Maka jawab-Nya: anakmu bukan milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tetapi bukan hakmu.
Beri mereka kasih sayangmu, tetapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu. Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tidak dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan buat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pemah berjalan mundur, pun tidak tenggelam di masa lampau. Kaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangkanmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah. Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat, sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Tujuan pendidikan adalah manusia seutuhnya seperti yang dikehendaki Allah, dan peran guru/orang-tua hanyalah menciptakan kondisi dan saran saja. Allah lah (dan bukan guru/orang-tua) yang menentukan apakah anda akan menjadi dokter, atau insinyur, atau ahli hukum atau ekonom, atau apa saja. Untuk itu Allah sudah memberikan talenta khusus kepada setiap anak.
Sayang sekali apa yang Allah kehendaki tak selalu terlaksana. Manusia dengan segala kebebasannya seringkali mengubah garis rencana Allah tersebut sehingga tujuannya tidak tercapai. Dan akibatnya cukup fatal karena aspek-aspek kehidupan ini akhirnya tidak dikerjakan oleh orang-orang yang tepat, yaitu oleh anakanak Tuhan sesuai dengan talentanya. Banyak dokter Kristen yang melakukan pekerjaan dalam bidang kedokterannya semata-mata sebagai "job," dan sama sekali tak pernah melihat apa yang Allah sediakan denganmata visi orang beriman. Begitu juga insinyur, ahli hukum, ekonom, dan profesional-profesional lainnya. Seluruh aspek kehidupan manusia, pada akhirnya, tidak lagi memuliakan Khaliknya.
Betapa krusialnya masalah pendidikan karena masalah tersebut bersangkut-paut langsung dengan masalah keselamatan dan rencana Allah dengan kehidupan manusia. Sejak mula Allah menciptakan manusia untuk menjadi rekan sekerja-Nya dalam menaklukkan dan mengerjakan alam ciptaan dengan segala isinya. Kejatuhan (Fall) telah mengubah kepentingan dari panggilan mandat budaya ini, dari "satusatunya" menjadi "salah satu" panggilan Allah kepada orang percaya. Inilah sebabnya panggilan mandat budaya sering dipisahkan sama-sekali dari panggilan untuk memberitakan Injil, dan bahkan kemudian diabaikan. Akibatnya kehidupan pribadi orang percaya seringkali terpecah (split), tidak integratif (utuh) dan akhirnya tidak menjadi kesaksian yang baik. Itulah sebabnya Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma mencoba menyatukan kembali kedua panggilan utama tersebut. Ia mengatakan, "Seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan ... Sebab kita tahu sampai sekarang makhluk (ciptaan) sama-sama mengeluh dan sama-sama sakit bersalin ... menantikan pembebasan ... (Roma 8:20-24). Bagi Paulus, seluruh makhluk adalah segenap ciptaan dengan segala aspek-aspeknya. Mereka sudah terjerat dalam dosa dan kesia-siaan. Oleh sebab itu mereka juga menantikan pembebasan yang akan dikerjakan oleh anakanak Tuhan, supaya segenap ciptaan dapat memuliakan Sang Pencipta.
Prinsip kebenaran ini adalah salah satu dasar filsafat pendidikan Kristen yang terpenting. Karena berangkat dari prinsip inilah pendidik Kristen dapat mengembangkan kurikulum, metode, strategi, planning, bahkan menetapkan prinsip-prinsip dalam disiplin dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler. Tuhan kiranya memberkati dan menambahkan bijaksana kepada mereka yang dengan tulus menghargai keunikar anugerah-Nya.