Oleh. Pdt. Paul Gunadi Ph.D.
Beberapa waktu yang lalu kita dikejutkan oleh berita kematian yang menimpa sebuah keluarga di mana seorang ibu menghilangkan nyawa keempat anaknya sebelum akhirnya membunuh dirinya sendiri. Sewaktu tragedi seperti kematian terjadi pada anak, sesuatu yang sukar dilukiskan tebersit dalam sukma. Rasa duka bercampur dengan kasih dan marah mengemuka dalam kalbu secara bersamaan. Kita ingin menangis, menghibur sekaligus memeluk, tidak rela melepaskan si kecil nan elok. Sewaktu tragedi menimpa anak, sesuatu yang polos dan murni tercedera dan tercemar; sesuatu yang indah pun terserabut keluar.
Apakah yang harus kita lakukan atau katakan kepada anak kita jika ia bertanya mengapakah seorang ibu sanggup melakukan hal seperti itu kepada anaknya sendiri? Lebih jauh lagi, apakah yang dapat kita perbuat untuk anak kita jika ia harus mengalami kehilangan teman akibat tragedi, misalnya bencana alam, kecelakaan, atau sakit penyakit? Sudah tentu, sedapatnya kita berusaha melindungi anak dari berita atau peristiwa tragis namun kadang tragedi menyergap seseorang yang dikenalnya dengan dekat. Pada saat seperti itulah peran kita sebagai orang tua menjadi penting untuk mendampingi anak melewati masa kehilangan dan tanda tanya ini.
Sebagai orang tua kita perlu memahami bahwa anak memiliki perasaan dan pemikiran dua komponen yang membuatnya mampu berinteraksi dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Perbedaan utama antaranya dan kita yang dewasa adalah, pemahamannya masih terbatas dan tidak utuh. Itu sebabnya reaksi anak dalam bentuk perasaan biasanya hanya tertuju pada wilayah yang dapat dilihatnya saja. Untuk memastikan anak dapat melewati masa kehilangan tanpa harus memikul beban psikologis yang tidak seharusnya, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan. Berikut ini akan saya paparkan beberapa di antaranya.
Pertama, jangan berjalan di depan atau di belakang anak; berjalanlah di sampingnya. Berjalan di depan anak berarti terlalu membesar-besarkan tragedi ini atau terus menerus mengajaknya berbicara tentang hal ini. Berjalan di belakang anak berarti tidak mempedulikan reaksi anak atau tidak memberinya kesempatan untuk membicarakannya. Kedua ekstrem ini mesti dihindari dengan cara peka melihat tanda-tanda reaksi pada dirinya misalnya kesedihan, kebingungan, ketakutan dan memberi respons yang sepadan dengan dampak yang dialaminya. Inilah yang saya maksudkan dengan berjalan di samping anak.
Jadi, jika anak menunjukkan reaksi takut dan meminta untuk ditemani tidur, janganlah memarahinya; sebaliknya, temanilah. Setelah reaksi ini reda, dengan sendirinya ia akan bersedia tidur sendiri lagi. Bila ia mengajukan banyak pertanyaan, jawablah sedapatnya; jangan padamkan keingintahuannya atau menegurnya karena telah menanyakan pertanyaan yang tidak kita sukai. Ingatlah, anak belum dapat melihat secara utuh dan menyeluruh; itu sebabnya pertanyaannya pun kadang tidak utuh dan menyeluruh.
Kedua, jangan menyamaratakan reaksi anak. Ingatlah bahwa sama seperti kita, anak pun bereaksi secara individual. Anak yang ekstrovert cenderung ekspresif sedangkan anak yang introvert biasanya mencerna perasaannya secara pribadi. Juga ingatlah bahwa kadar relasi anak dengan temannya itu tidaklah sama; jadi reaksi yang diberikan sudah tentu tidak akan sama pula.
Dan, berhati-hatilah untuk tidak mengharuskan anak bereaksi seperti kita. Mungkin ada di antara kita yang tidak nyaman dengan pencetusan rasa sedih; jika itulah kondisinya, mohon jangan tuntut anak untuk menjadi seperti kita. Biarkanlah ia menyatakan reaksi apa adanya.
Ketiga, jangan cepat-cepat melabelkan bahwa orang tua yang sanggup melakukan hal seperti itu pastilah orang tua yang jahat. Membunuh adalah perbuatan yang salah dan berdosa di hadapan Tuhan namun memvonis bahwa orang tua yang menghilangkan nyawa anaknya pastilah orang tua yang jahat, adalah kesimpulan yang tidak bijak. Ada dua alasan mengapa saya berpendapat seperti ini. Pertama, kita tidak tahu secara menyeluruh apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan yang salah dan fatal itu. Jadi, menyimpulkan bahwa pastilah orang tua tersebut adalah orang yang jahat, sedikit prematur. Secara pribadi saya perlu melihat kehidupan seseorang secara utuh dan menyeluruh sebelum saya dapat memvonisnya jahat.
Alasan kedua, kenyataan hidup memperlihatkan bahwa adakalanya orang yang baik melakukan perbuatan yang jahat dan orang yang jahat kadang melakukan perbuatan yang baik. Dengan kata lain, satu perbuatan jahat bukanlah bukti bahwa seseorang itu jahat dan sebaliknya, satu perbuatan baik bukanlah bukti bahwa seseorang itu baik. Jadi, hindarilah pelabelan bahwa orang tersebut baik atau jahat; sebagai gantinya, ajaklah anak untuk melihat kenyatan hidup bahwa kita adalah manusia yang lemah dan berdosa dan bahwa dalam kelemahan kadang kita melakukan perbuatan salah yang kemudian kita sesali.
Keempat, jangan mengatakan bahwa orang yang melakukan hal seperti ini pasti masuk neraka. Firman Tuhan menegaskan, "Tuhan mengenal siapa kepunyaan-Nya" (2Timotius 2:19). Tuhanlah yang empunya surga dan Ia memegang hak tunggal untuk menentukan siapa yang diterimanya di pintu surga. Tuhan Yesus berkata, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yohanes 3:16) Inilah kriteria yang Tuhan tetapkan dan atas dasar inilah kita memastikan apakah kita memiliki hidup yang kekal.
Perbuatan baik atau tidak baik bukanlah dasar pemberian hidup yang kekal; iman pada Kristuslah yang menjadi dasar pengampunan dosa dan pemberian hidup yang kekal bersama Tuhan di surga. Sekali lagi Firman Tuhan mengingatkan, "Dialah yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita melainkan berdasarkan maksud dan kasih karunia-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman." (2Timotius 1:9)
Kelima, jangan menjawab, "Tidak tahu!" tatkala anak menanyakan apakah temannya itu masuk ke surga atau tidak. Ada dua hal yang dapat kita katakan kepada anak menyangkut pertanyaan ini. Pertama, jelaskan kepada anak bahwa Tuhan mengasihi temannya itu dan akan bertindak adil. Dengan kata lain, Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang keliru kepada siapa pun, apalagi kepada anak-anak yang belum memiliki konsep tentang dosa seperti kita orang dewasa atau pemahaman tentang Kristus sebagai Juruselamatnya. Jadi, ajaklah anak untuk mempercayai kasih dan keadilan Tuhan sebagai dasar pertimbangannya.
Kedua, Tuhan Yesus sangat mengasihi anak-anak dan malah menjadikan anak-anak sebagai contoh orang yang memiliki kerajaan surga. "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku dan jangan kamu menghalang-halangi mereka sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah." (Lukas 18:17) Jadi, atas dasar ini saya cenderung berkata bahwa anak-anak, di dalam keterbatasan pemahamannya tentang Tuhan, akan mendapat anugerah khusus dari Tuhan. Mungkin ada orang yang akan berkata, "Tetapi kamu tidak tahu dengan pasti bahwa anak-anak pasti masuk ke dalam kerajaan Allah dan jawaban ini bisa saja keliru!" Saya akan menjawab, "Betul, saya tidak tahu namun saya lebih rela keliru dalam upaya saya merepresentasikan Tuhan sebagai Allah pengasih kepada anak-anak ini daripada saya keliru merepresentasikan Tuhan sebagai Allah yang kejam."
Keenam, jangan mengatakan bahwa orang yang baik pasti tidak akan pernah menjadi korban tragedi. Anak mungkin akan menanyakan mengapa tragedi seperti ini terjadi pada temannya yang begitu baik. Ajaklah anak untuk melebarkan wawasan sekaligus mengiyakan bahwa tragedi dapat menimpa siapa pun dengan cara mengajukan beberapa contoh peristiwa tragis seperti tsunami, gempa, dan jatuhnya pesawat.
Jelaskan kepada anak bahwa alam semesta beserta isinya telah tercemar oleh dosa; itu sebabnya kita menjumpai ketidakberesan dalam kehidupan. Jelaskan pula bahwa adakalanya kita menjadi korban perbuatan dosa yang dilakukan orang lain. Tuhan tidak menghentikan semua ketidakberesan ini karena inilah konsekuensi kehadiran dosa di dunia. Memang dunia bukanlah surga dan hanya di dalam surgalah semua ketidakberesan ini akan berakhir.
Ketujuh, jangan membiarkan anak mengembangkan sikap ketidakpastian yang berlebihan. Peristiwa tragis berpotensi mewarnai sudut pandang anak secara negatif dan membuatnya meragukan segala sesuatu termasuk kasih sayang dan niat baik orang tua. Kita dapat menolongnya lepas dari sikap ini dengan cara menanamkan kepedulian dan rasa tanggungjawab. Sesungguhnya salah satu akar penyebab mengapa peristiwa tragis ini terjadi adalah karena di dalam permasalahan yang begitu berat, orang tua tidak mencari pertolongan. Izinkan dan ajaklah anak untuk mencari pertolongan pihak luar bila ia melihat permasalahan di dalam keluarganya. Jangan sebaliknya menanamkan sikap menyembunyikan masalah.
Juga, ajaklah anak untuk peka dan peduli dengan perubahan sikap teman yang menjurus ke arah murung dan putus asa. Ajarkan anak untuk meminta bantuan guru atau rohaniwan atau sanak saudara lain dan tekankanlah bahwa jika saja orang mencari pertolongan, pastilah peristiwa seperti ini tidak harus terjadi. Tatkala anak menyadari bahwa ada tindakan konkret yang dapat dilakukannya, ia pun bertambah tenang dan tidak lagi tenggelam dalam ketidakpastian.
Kesimpulan: Tragedi kematian pada anak memaksa anak (lainnya) untuk melihat hidup dengan cara yang lebih dewasa dan kelabu. Tragedi mematikan sebagian nafas kekanak-kanakan yang cerah dan menghidupkan dimensi suram dari kehidupan. Kita tidak dapat memutar jarum jam dan meniadakan yang telah terjadi-termasuk dampaknya pada anak kita. Tragedi - tidak bisa tidak - akan mematangkan anak lebih dini; tugas kita adalah memastikan bahwa ia matang di dahan yang tepat dan kuat.