Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Reaksi alami bagi individu-individu dengan sakit tak tersembuhkan adalah depresi. Para ahli psikologi umumnya percaya bahwa depresi juga merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh yang dipilih individu ditengah posisi dan kondisi kritis yang tak terhindarkan. Dengan mekanisme ini individu tersebut masih dapat memiliki "sense of life/perasaan hidup," sehingga ia dapat mengeluh, menangis, marah, meratap dan mempunyai setitik pengharapan. Ia memilih posisi "cry for help/ketidakberdayaan," yang mengundang belas kasihan dari dirinya sendiri, sesama manusia dan dari Allah. Tanpa mekanisme pertahanan tubuh ini, individu hanya mempunyai satu kemungkinan yaitu bunuh diri. Tidak heran jikalau peran konselor dalam kasus-kasus depresi jenis ini adalah listening dan empathy/mendengar dan ikut merasakan penderitaannya. Ia tidak membutuhkan nasehat dan ia tahu bahwa konselor tidak dapat menyembuhkan penyakitnya oleh sebab itu yang ia butuhkan adalah perasaan dimengerti dan ditemani oleh seorang yang ia harapkan, rela mendengar seluruh isi hati dan perasaannya.
Kasus:
Ibu Melati (bukan nama sebenarnya) pernah sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan. Dua tahun yang lalu ia menjalani operasi kanker payudara dengan sukses. Setelah itu kemana-mana ia memberikan kesaksian dan hidupnya banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan rohani bahkan ia mempersembahkan dirinya untuk menjadi hamba Tuhan. Sayang sekali kebahagiaannya berakhir tiga bulan yang lalu. Ia harus menjalani operasi lagi dan dokter menemukan penyebaran kanker keseluruh tubuhnya. Kondisinya dari hari ke hari makin memburuk. Setiap beberapa jam ia harus mendapatkan suntikan untuk mengurangi rasa sakitnya. Dokter sudah mengatakan bahwa pengobatannya sudah maksimal.
Ditengah kondisi yang sangat menyedihkan ini, ibu Melati seringkali minta didoakan supaya Tuhan mengambil dirinya lebih cepat. Meskipun demikian ia juga meminta teman-teman dari persekutuan lain untuk mencarikan hamba-hamba Tuhan yang dapat memanjatkan doa kesembuhan. Menurut suaminya, ibu Melati sangat mengkuatirkan anak tunggalnya yang sedang menginjak remaja. Disamping itu, ia seringkali menangis dan tidak mau diajak bicara. Ia merasa tugas hidupnya belum selesai, niengapa Tithan tnetnbiarkan dia menderita sakit separah ini.
Nah, dalam menghadapi ibu Melati dengan kondisi seperti ini, beberapa prinsip dibawah ini mungkin perlu mendapat perhatian yang khusus:
I. Kenali tipe dan kondisi depresinva.
Ada beberapa macam jenis depresi. Secara garis besar, konselor dapat menilai, yaitu jikalau sebelum ia sakit memang sudah ada gejala-gejala depresi (mis: sulit tidur, lelah, merasa tidak berguna, sulit konsentrasi, dan putus asa) maka ada kemungkinan dia memang menderita Major Depression Disorder. Tetapi kalau gejala depresinya baru muncul setelah ia menderita sakit maka kemungkinan ia hanyalah penderita Adjustment Disorder with Mixed Anxiety and Depressive Mood. Jenis depresi yang seperti ini biasanya dialami individu oleh karena adanya stressor/pemicu seperti misalnya kematian orang yang dicintai, kegagalan cinta, kehancuran usaha, sakit terminal, dsb. Konselor dapat mengenali bagaimana dan berapa lama gejala-gejala depresinya dialami oleh individu tersebut. Kalau durasinya kurang dari 6 bulan, maka kondisinya dapat digolongkan akut, tetapi kalau lebih dari 6 bulan maka kondisinya termasuk kronis.
Meskipun demikian konselor harus sadar, apapun jenis depresinya, konselor jangan coba-coba menanganinya sendiri. Konselor harus memakai referral seorang psikiater supaya dapat mengatasi gejala depresinya. Baru, setelah individu tersebut "membaik (gejala-gejala depresinya mulai hilang)" konselor boleh melayani dia dengan pelayanan konselingnya. Selama gejala depresinya masih ada, tugas konselor hanyalah available hadir disisinya pada saat dibutuhkan. Konselor tidak seharusnya memberikan nasehat apa-apa kecuali hanya empathic listening (menjadi pendengar segala keluhannya dengan jiwa yang empathy yaitu menempatkan diri ditempatnya dan belajar ikut merasakan apa yang dirasakannya).
Ibu Melati membutuhkan orang-orang yang mengasihinya yang bisa menangis bersamanya, yang sabar tanpa memotong, mendengar segala sesuatu yang dikeluhkannya. Meskipun demikian, konselor harus waspada, apakah kehadirannya dikehendaki oleh ibu Melati. Disinilah seni dan skill hadir bersama-sama. Bagaimana konselor mulai membangun rapport sehingga komunikasi dapat terjalin dengan baik, merupakan seni pendekatan yang seringkali membutuhkan perpaduan yang pas antara kemampuan berkomunikasi, keramah-tamahan, ketulusan dan kewibawaan. Kemudian setelah itu dibutuhkan skill pelayanan konseling itu sendiri, yang ... dalam konteks seperti ini, sangat tinggi. Dari kesaksian dan pengakuan banyak konselor professional, pelayanan konseling pada klien penderita terminal illness (apalagi ditambah dengan gejala depresi) adalah salah satu pelayanan konseling yang paling sulit. Seringkali untuk menemukan kata yang tepat dalam konteks ini begitu sulitnya sampai banyak konselor bengong, bingung, kikuk tidak tahu mesti mengatakan apa. Kadang-kadang empathy begitu cepat berubah menjadi sympathy sehingga konselor hanyut dan emotional. Itulah sebabnya konselor harus terus-menerus berdoa minta ketenangan, pikiran yang jernih, pertolongan dan bijaksana surgawi.
II. Jangan "Playing God".
Salah satu godaan terbesar dari konselor untuk klien terminal illness adalah "playing God." Seringkali konselor merasakan seolah-olah kehadirannya sebagai konselor tidak mempunyai faedah apa-apa jikalau ia tidak dapat melakukan sesuatu yang dapat merubah kondisi dari klien.
Memang klien depresi oleh karena faktor pencetusnya terminal illness, tetapi tugas konselor bukanlah tugas seorang dokter yang berupaya mengatasi sumber masalah tersebut yaitu sakit yang dideritanya. Tetapi kita harus waspada bahwa fokus pada menyembuhkan sakit-penyakit klien justru melemahkan perannya sebagai konselor yang Tuhan sudah anugerahkan. Suatu peran yang kemungkinan besar justru jauh lebih penting daripada kesembuhan ajaib dari klien. Mengapa demikian?
Pertama, karena melalui konseling inilah klien menemukan kesadaran dirinya, yang membuat klien dapat berdiri sebagai manusia yang dewasa sadar dan utuh dihadapan Tuhan sehingga dapat meresponi realita yang dihadapinya dengan iman yang benar. 99% penderita terminal illness akan segera menghadapi kematian. Jangan sampai mereka menghadapi kematian dalam kondisi pikiran dan emosi yang terjerat dengan hal-hal yang sekunder yaitu keinginan semata-mata untuk mengalami kesembuhan ajaib. Meskipun pengharapan sembuh itu penting sekali, tetapi jangan sampai klien menghadapi realita kematian dengan iman rapuh dan tidak siap.
Kedua, karena melalui konseling, klien dapat bergumul dengan Tuhan secara sadar dan dengan bekal yang semakin baik. Didalam Tuhan tidak pernah ada realita yang kebetulan. Kalau Tuhan mengijinkan, pasti ada maksudNya. Oleh sebab itu, coba bayangkan jikalau teologia klien begitu kacau dan kekanak-kanakan. Seluruh rencana Allah (yang sudah mengijinkan dirinya masuk dalam penderitaan itu) akan terhambat oleh karena klien buta rohani dan tidak pernah mengerti maksud dan rencana Allah untuk dirinya. Itulah sebabnya, banyak orang beriman penderita terminal illness meninggal dengan kesaksian yang minimal. Itupun terjadi karena belas kasihan dan intervensi dari Tuhan sehingga mereka masih bisa menyaksikan sesuatu yang baik yaitu menghadapi maut dengan menyerah dan pasrah sehingga rneninggal dengan tenang. Tetapi, jikalau kita memahami betul-betul cara kerja Allah, kita akan mengerti bahwa itu sebenarnya bukan kemenangan iman yang dewasa. Dan sebabnya, sekali lagi, antara lain oleh karena kegagalan pelayanan konseling, dimana individu-individu dengan terminal illness ini sebenarnya dapat memasuki masa-masa yang begitu kaya dengan "anugerah rohani" (Fil 3:10) namun tidak dapat menangkap kekayaan rohani tersebut.
Konseling merupakan tangan Allah yang terulur untuk mereka yang ada dalam kegelapan dan ketidak-berdayaan. Marilah kita wujudkan pelayanan konseling sebagai kehadiran Roh Penghibur dan Roh Pendamping yang menyertai perjalanan pergumulan orang-orang percaya mencapai kemenangan imannya.