Oleh: Pdt. Yakub B. Susabda Ph.D.
Ketertutupan merupakan hal yang menghambat komunikasi dan hubungan antar manusia. Sulit dibayangkan seseorang menikah dengan pasangan dengan jiwa yang tertutup. Mungkin segala ideal pernikahan tak dapat dicapai. Keinginan, pemikiran, perasaan, dan segala yang perlu dikomunikasikan berakhir dengan diri sendiri. Tidak heran jikalau ekses-ekses yang tak diharapkan akan muncul. Perasaan kecewa, jengkel, marah, frustasi, dan tidak sabaran, yang kemudian memicu keinginan untuk menjauh dan menghirup kesegaran di luar, tak dapat dihindari lagi.
Anehnya, ketertutupan tidak selalu memanifestasikan diri dalam sikap diam, acuh, pasif, dan sulit berkomunikasi. Banyak pribadi yang tertutup tetapi berpenampilan ramah dan suka ngobrol, hanya...tak pernah mengkomunikasikan dirinya sendiri (the real self). Sehingga perkenalan, pergaulan, bahkan pernikahan selama bertahun-tahun tetap tidak menghasilkan keakraban. Apa yang ada dalam hati, dan apa yang tersimpan di balik sikap, kata-kata, dan tingkah lakunya merupakan misteri yang sulit dipahami. Kalau benar demikian, maka ini adalah gejala ketertutupan yang seringkali disebut sebagai ketertutupan eksistensial. Yaitu ketertutupan dari pribadi yang sebenarnya takut menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya (the real world). Untuk lebih meng-clear-kan pokok pembicaraan ini, coba perhatikan kasus di bawah ini.
L pada suatu hari datang ke seorang konselor dengan keluhan "tak dapat tidur (insomnia)." Katanya sudah berobat ke dokter dan diberi obat tidur. Memang tertolong, karena L kemudian dapat tidur. Tetapi setelah itu pemakaian obat tersebut menjadi masalah. L takut terjebak dalam ketergantungan pada obat. Itulah sebabnya ia konseling. Dari percakapan dengan konselor, akhirnya sampailah juga pada cerita kekecewaan dan perasaan dikhianati yang L alami dengan suaminya. Herannya, perasaan dikhianati tersebut muncul hanya oleh karena sang suami mulai main tenis seminggu dua kali. Dari jawaban dan penjelasan L, barulah nyata bahwa sejak menikah L menciptakan sistim kehidupan yang khusus dan unik. Selama dua tahun sang suami menurut-nurut saja, karena ia seorang yang baik hati dan tak suka ribut. Seolah-olah ia tidak pernah mempermasalahkan ketetapan dari L, yaitu ke mana-mana mesti bersama. Baik ke gereja, ke toko, ke luar kota, bahkan berolah-ragapun selalu harus bersama-sama. Nah, di sinilah persoalannya, karena pada suatu hari sang suami bertemu teman- teman lamanya yang mengajak ikut main tenis seminggu dua kali. Memang ide ini sudah diutarakan kepada L, tetapi L tak mau main tenis dan..., sesuai dengan sistim yang selama ini sudah berlaku, kalau L tidak pergi suami juga tidak boleh pergi. Biasanya sang suami nurut- nurut saja. Kali ini tidak. Dan itu menjadi bencana karena dianggap sebagai pengkhianatan.
Apa betul pengkhianatan? Menurut L jawabnya "ya," (tetapi "tidak" bagi suami L). Karena L adalah tipe pribadi dengan ketertutupan eksistensial, yaitu ketertutupan dalam eksistensinya sebagai satu individu dalam hubungan dengan individu yang lain. L menciptakan dunianya sendiri dan setiap orang yang dekat dengannya harus masuk menjadi bagian dari dunia ciptaannya. Orang tersebut harus berperan dengan peran yang ditetapkan L sesuai dengan dunia ciptaan tersebut. Ia tidak boleh mempunyai kebebasannya sendiri, atau memainkan peran yang lain yang tidak sesuai dengan peran yang sudah ditetapkan oleh L. Tidak heran jikalau hal "berani mengambil keputusan untuk bermain tenis sendiri (tanpa L)" dirasakan sebagai suatu pengkhianatan.
Ketertutupan eksistensial sebenarnya merupakan gejala umum yang sering ditemukan dalam kehidupan suami-istri. Banyak individu yang diam-diam merasa terjebak, tertekan, kehilangan kebebasan dan jiwanya terpenjara setelah menikah dengan pribadi dengan ketertutupan eksistensial. Memang ia dilayani, dan "dicintai" tetapi heran pelayanan dan cinta kasih yang diberikan, lama kelamaan tidak dapat dinikmati. Oleh sebab itu, keinginan untuk membebaskan diri seringkali tak dapat dibendung lagi.
Sekarang, bagaimana kita dapat menolong individu dengan ketertutupan eksistensial? Sulit, karena umumnya individu seperti ini tidak pernah merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia sudah memberikan segala- galanya untuk suami/istri dan keluarganya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya (dengan mengatur detail tingkah-laku seluruh keluarga) adalah demi kebaikan mereka, dan itulah tanda dari cinta kasihnya. Padahal apa yang disebut sebagai "cinta kasih" tersebut adalah sesuatu yang tidak dinikmati oleh suami/istri dan seluruh keluarganya. Untuk dapat menolong pribadi dengan ketertutupan eksistensial:
Perlu adanya pengertian dan pemahaman yang benar tentang asal- muasal pembentukan kepribadian yang unik tersebut. Ketertutupan eksistensial biasanya terbentuk pada masa kecil. Seseorang bisa mempunyai kepribadian dengan ketertutupan eksistensial oleh karena sejak kecil ia tidak pernah :
a. dibimbing untuk berkenalan dengan dunia kehidupan yang real (the real world), dan
b. dibekali untuk berperan di tengah dunia kehidupan tersebut.
1. Setiap anak membutuhkan pengalaman "berkenalan" dengan dunia nyata. Pengalaman tersebut seharusnya dialami secara alami di tengah keluarga. Sejak kecil, setiap anak boleh tahu siapa orang-orang yang hadir dan muncul di rumahnya. Siapa orang yang mencuci pakaiannya, masak, mengepel dan tinggal di kamar belakang. Siapa orang yang sedang membetulkan telpon di rumahnya, siapa orang yang datang berjualan sayur setiap pagi si depan rumahnya. Ia boleh tahu mengapa ibu menangis. Apa artinya kalau ayah membawa mobilnya ke bengkel. Jadi, anak yang belajar berkenalan dengan dunia nyata, adalah anak yang diijinkan untuk tahu apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Kadang-kadang ia dibawa ke luar rumah, ke gereja, ke toko, bahkan ke kebun binatang dan sebagainya. Perkenalan tersebut akan menghasilkan kesiapan anak untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia yang nyata. Semakin banyak perkenalan tersebut semakin kenal dan siap anak untuk menghidupi kehidupan ini.
Meskipun demikian, perkenalan pada dirinya sendiri sebenarnya belum cukup. Setiap anak harus pula dibekali dengan kesiapan mental atau ia tidak dapat berperan dengan baik di tengah dunianya. Oleh sebab itu, setiap anak harus dibekali dengan berbagai komponen kepribadian yang diperlukan. Ia harus dibekali dengan rasa percaya, sehingga ia dapat bekerja sama dengan orang lain. Ia juga harus dibekali dengan rasa mampu, percaya diri, keinginan tahu, keberanian mencoba dan kemampuan beradaptasi dengan kegagalan, kasalahan dan sebagainya.
Sayang sekali banyak anak yang oleh karena satu dan lain sebab (misal: kedua orang-tua tidak merasakan perlunya memperlakukan setiap anak sebagai pribadi yang utuh) tidak siap untuk masuk ke dalam kehidupan yang nyata ini. Seringkali dengan bekal yang sangat kurang dalam jiwa mereka, muncul perasaan takut, gelisah dan tidak aman. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi rewel, nakal, tak mau sekolah, pemalu, penakut, keras kepala dan sebagainya. Secara khusus banyak di antara mereka yang membangun dunianya sendiri, membiasakan diri untuk melihat dan menafsirkan realita yang dialami dengan perspektif dan tafsiran mereka sendiri, dan kemudian belajar memberikan reaksi emosi yang juga unik. Inilah yang menjadi proses pembentukan jiwa dengan ketertutupan eksistensial.
2. Perlu adanya kemampuan untuk menjelaskan dan mengkonfrontir pola pikir yang salah tersebut.
Kembali ke kasus L di atas, konselor mendengar dari mulut L keluhan- keluhan seolah-olah segala kebaikan dan pelayanannya tidak dihargai. L mengeluh,
"Semua kan untuk kebaikannya? Tubuhnya juga tidak sehat, main tenis kan olahraga yang berat, jadi, kalau saya diamkan saja...apa-apa saya ijinkan...bisa dibayangkan ia akan jadi apa?...mati muda barangkali...atau kena stroke...lalu siapa yang susah nanti...Terus terang aja...makan pun mesti saya batasin...kalau tidak dia maunya makan sembarangan...Juga kalau dibiarkan nih, dia maunya nonton TV sampai pagi...Jadi, terus terang, saya mesti keras sama dia...Tapi itu kan karena saya cinta dia. Herannya dia tidak mengerti maksud baik saya..."
Mendengar ini mungkin anda sebagai konselor mulai ambivalen. Ada juga poin-poin kebenaran dari L yang anda rasakan. Meskipun demikian anda harus waspada. Betul-betul waspada dengan kesan dan perasaan anda sendiri. Jangan sampai anda mentransfer kesan dan perasaan tersebut padanya. L adalah klien anda, dan untuk dapat menolong L, anda harus dapat menangkap pola pikir L yang tidak sehat.
L berpikir bahwa ia hanya dapat berbahagia jikalau suaminya menjadi seperti apa yang ia kehendaki. L merasa bahwa ia hanya dapat mengasihi suaminya, jikalau suaminya menuruti segala kemauannya. L merasa bahwa suaminya menolak dan mengkhianati cintanya jikalau ia berani melakukan hal-hal yang tidak disetujui. Nah, ini adalah pola berpikir L, dan jelas sekali dengan pola pikir ini L akan menjadi pribadi yang dirasakan menekan, membelenggu, dan memaksakan kehendak. Akibatnya, meskipun benar L merasa mengasihi suaminya, dan mungkin benar L melayani dan memberi kebutuhan-kebutuhan phisiknya, tetapi "kasih dan pelayanannya" tidak dinikmati bahkan dirasakan menjerat.
Sebagai konselor, anda harus berani mengkonfrontir pola pikir tersebut supaya L sadar akan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan bagaimana hubungan yang sesungguhnya dengan suaminya.
Nah, dengan kedua prinsip di atas, anda dapat mulai menerapkan peran anda sebagai konselor. Tuhan memberkati.