Oleh: Pdt. Yakub Susabda Ph.D.
Saya mempunyai cita-cita menjadi bankir. Cita-cita tersebut sudah ada sejak saya masih di bangku SMU. Kemudian saya kuliah di perguruan tinggi swasta. Walau prestasi saya pas-pasan, tetapi saya dapat menyelesaikan S-1, tetapi sayang masih sarjana lokal. Tiga tahun berikutnya saya mengikuti test masuk untuk program S-2 sampai tiga kali ternyata gagal terus, dengan demikian hancurlah harapan saya. Sekarang usia saya sudah 35 tahun, belum mempunyai pekerjaan tetap dan belum berkeluarga. Sementara ini saya membantu paman di tokonya, sehingga saya punya sedikit uang saku, tetapi hanya cukup untuk keperluan sendiri yang sederhana. Beberapa minggu yang lalu ibu saya sakit dan saya sama sekali tidak dapat membantu untuk pengobatannya. Saya sering kuatir dan rendah diri, bagaimana dengan masa depan saya. Kedua orangtua saya selalu mendesak saya untuk berkeluarga, tetapi sampai sekarang saya belum pernah mempunyai pacar. Apa yang harus saya lakukan?
Menghadapi klien dengan masalah apa pun prinsip konseling sebenarnya sama saja.
PERTAMA, Anda sendiri harus sadar apa sebenarnya masalah yang dihadapi klien. Anda harus dapat membedakan antara apa yang dikeluhkan klien dan apa yang sebenarnya menjadi masalah yang sesungguhnya. Mungkin klien merasa bahwa masalahnya adalah kegagalan hidup perasaannya yang pesimis dan ragu-ragu terhadap dirinya sendiri. Seringkali masalah yang sesungguhnya sebenarnya bukan itu. Keluhan klien sebenarnya hanyalah dampak dari reaksi "yang keliru" dari klien atas realita kehidupan ini. Reaksi "yang keliru" inilah masalah klien yang sesungguhnya.
Masalahnya adalah pada diri klien yang melihat, menafsirkan, dan meresponi secara keliru terhadap realita kehidupan ini. Kalau ia kemudian menjadi ragu-ragu dan pesimistik, maka itu harus dipahami sebagai "dampak" dari caranya yang keliru dalam meresponi realita kehidupan ini. Belum tentu ia pada mulanya adalah individu yang memang sering ragu-ragu dan pesimis.
Hidup mempunyai hukum yang harus dipatuhi. Kegagalan atau keberhasilan dalam hidup, sebagian besar ditentukan oleh bagaimana seseorang menuruti hukum alam dari kehidupan. Setiap individu mempelajari hukum alam kehidupan ini sejak ia lahir. Biasanya, melalui pengalaman dengan kedua orangtuanya, seorang anak belajar mengenali sebab akibat dari sikap dan tingkah lakunya sendiri. Pendidik Dorothy Low Nolte menggariskan dengan tepat bahwa:
Anak yang hidup di tengah kritikan akan belajar untuk mempersalahkan orang lain.
Anak yang hidup di tengah permusuhan akan belajar berkelahi.
Anak yang hidup di tengah penghinaan akan belajar membenci atau malu dan rendah diri.
Anak yang hidup di tengah celaan akan belajar merasa bersalah tanpa alasan.
Anak yang hidup di tengah sikap menerima perbedaan akan belajar mengembangkan kesabaran.
Anak yang hidup di tengah dorongan yang positif akan belajar mempercayai kemampuan sendiri.
Anak yang hidup di tengah pujian yang sehat akan belajar berterima kasih.
Anak yang hidup di tengah keadilan akan belajar menilai secara benar.
Anak yang hidup di tengah lingkungan yang dapat dipercaya akan belajar mengembangkan iman.
Anak yang hidup di tengah lingkungan yang menerima dirinya akan belajar menyukai dirinya sendiri.
Anak yang hidup di tengah persahabatan akan belajar menemukan cinta di dalam kehidupannya.
(John W.Lawrence, "Life`s Choiches")
Jadi, pengalaman belajar pada masa kecil inilah yang mempunyai dampak paling besar dalam kesiapan anak untuk hidup di tengah dunia ini. Meskipun anak lahir bukan seperti "tabula rasa/kertas kosong" yang semata-mata menjadi objek pengalaman hidupnya, melainkan pengaruh dari lingkungan benar-benar sangat menentukan pembentukan dan perkembangan jiwanya. Begitu juga dengan klien di atas. Baginya, "pengalaman kegagalan beberapa kali" telah menjadikannya sebagai individu yang ragu-ragu dan pesimis karena ia tidak mempunyai modal yang cukup untuk berjuang. "Sense of autonomy, inisiatif dan industry" yang menjadi modal utama keuletan hidup kurang berkembang pada masa kecilnya. Seharusnya pada usia 2-5 tahun seorang anak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan otonomi, inisiatif, dan kreativitasnya dengan membiarkan dorongan rasa ingin tahunya diwujudkan dalam tingkah laku ingin mengenali, menyentuh, memainkan, dan menggunakan benda-benda yang ada di sekelilingnya. Sayang sekali kesempatan ini tak selalu ada. Banyak orangtua yang membatasi secara tidak bijaksana bahkan menghambat kebutuhan dan kebebasan yang positif tersebut dengan melarang dan mengambil alih tanggung jawab si anak. Akibatnya pertumbuhan jiwanya menjadi rapuh dan semangat juangnya lemah.
KEDUA, sebagai konselor, Anda harus dapat membedakan antara "precipitating factor/faktor penyebab atau pencetus" yang primer dan sekunder. Coba kenali kebutuhan dan masalah yang dihadapi klien. Masalah klien yang sebenarnya merupakan "precipitating factor" sekunder sudah menjadi primer dan menjadi masalah yang serius yang menjadikan dirinya seperti itu. Kebutuhan normal untuk menikah dan bekerja telah menjadi kebutuhan yang menakutkan, dan sebabnya bisa kenaifan sikap hidup klien yang kemungkinan besar terjadi oleh karena ia tidak mempunyai pengenalan akan hukum alam di kehidupan ini. Untuk pemenuhan kebutuhan primer, setiap orang harus berusaha, mencoba dan terus mencoba sampai mendapatkannya. Kemudian ia harus dapat juga memeliharanya dan mengembangkannya. Itulah hukum alam kehidupan. Keberhasilan atau kegagalan hidup sangat tergantung pada sikapnya terhadap hukum alam kehidupan ini.
Klien harus ditolong untuk menyadari dan berani untuk mencoba dan terus mencoba sampai berhasil. Ia juga perlu menyadari bahwa pekerjaan yang Allah sediakan baginya tidak selalu sesuai dengan kemauannya. Mengapa ia harus jadi bankir dan tidak terbuka untuk jenis pekerjaan yang lain? Hidup harus bekerja. Alkitab mengatakan bahwa mereka yang tidak bekerja tidak pula berhak untuk makan (2Tesalonika 3:10) dan ketertutupan yang satu harus diganti dengan keterbukaan untuk jenis pekerjaan "baik" yang lain. Di tengah kompetisi yang sangat besar dengan para pencari pekerjaan dan di tengah kondisi yang tidak sehat dimana manusia bisa hidup tanpa kerja sesuai dengan kemampuannya, anak-anak Tuhan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan kehidupannya. Tuhan mengatakan "mintalah" adalah juga Tuhan yang mengatakan "carilah". Siapa yang menabur dengan berlinang air mata akan menuai dengan sorak sorai (Mazmur 126:5-6).
Aplikasi praktis dari hukum kehidupan memang makin lama makin kompleks. Jikalau dua puluh tahun yang lalu hampir setiap individu dengan S-1 dibutuhkan dimana-mana, sekarang individu dengan S-2 pun masih harus membuktikan kepribadiannya yang sehat, pengalamannya yang cukup dan kemampuannya berbahasa asing. Jikalau di negara- negara maju penjual jasa asuransi menunggu dan seringkali menolak pelanggan maka di negara-negara berkembang seperti Indonesia setiap penjual jasa asuransi harus berani bermotokan "lima dari seratus tawarannya" yang akan berhasil. Itulah hukum alam kehidupan. Kompleks tetapi masih selalu menyediakan peluang dan keberhasilan bagi setiap individu yang berusaha.
KETIGA, sebagai konselor, Anda juga perlu waspada untuk tidak mengambil alih tanggung jawab klien. Anda harus selalu ingat bahwa konseling bukanlah pelayanan untuk membebaskan klien dari masalah. Target dan objektif utama dari konseling adalah diri klien dan bukan masalahnya. Perubahan klien dari pribadi tanpa tekad dan konfiden menjadi pribadi baru yang berani bertekad dan percaya diri adalah tujuan utama konseling untuk diatas. Oleh sebab itu, mengambil alih tanggung jawabnya klien dengan mencarikan pekerjaan atau membantu mempermudah penyelesaian masalahnya adalah ekses dari konseling yang seharusnya tidak ada. Pikiran untuk mencarikan pekerjaan hanya boleh menjadi "bagian akhir" dari proses konseling, setelah Anda betul- betul yakin bahwa klien sudah menyadari dirinya dan merasakan adanya dorongan dan tekad yang besar untuk berusaha sendiri.
Memang salah satu kelemahan yang terbesar dari konselor-konselor awam adalah "tak adanya pembekalan profesionalisme". Akibatnya, sebagai konsekuensi logis, antara lain adalah "tak adanya batasan yang tegas untuk membedakan antara simpati dan empati", apalagi kalau klien adalah individu yang sangat dikenal. Meskipun demikian, Anda harus mulai berani membiasakan diri untuk tidak mengubah "empati/kemampuan merasakan yang dirasakan dan dialami klien", menjadi simpati dimana Anda melibatkan emosi Anda secara pribadi dengan klien" sehingga Anda terdorong untuk mengambil alih tanggung jawabnya. Cobalah dengan empati Anda mengkomunikasikan pikiran dan perasaan yang menjadi refleksi pikiran dan perasaan klien. Misalnya dengan kata-kata sebagai berikut: "Memang kegagalan berkali-kali bisa menjadi pemicu perasaan ragu-ragu terhadap kemampuan diri sendiri dan... kemudian seolah-olah pemilihan kita hanya dua yaitu menyerah atau takut mencoba lagi. Ini seringkali dialami seorang meskipun dia tahu sebenarnya kesempatan belum tertutup dan dia masih harus terus berupaya...."
Memang konseling awam "berbeda" dari yang profesional, tetapi tidak ada salahnya Anda belajar mengadopsi ketrampilan profesionalisme dalam pelayanan konseling Anda. Tuhan memberkati.