Oleh: Pdt.Yakub Susabda Ph.D.
Gejala posesif yang hadir dalam jiwa banyak orang seringkali menggejala dalam berbagai bentuk tingkah laku yang sangat merugikan. Sebagai contoh, perhatikan kasus dibawah ini.
Pak Fandi dirawat di rumah sakit karena gejala stroke. Tekanan darahnya memang melambung tinggi. Kepalanya sering pusing dan sudah sebulan ini ia sulit tidur. Ia tahu apa yang menjadi faktor pencetusnya. Dalam percakapan dengan Anda ia mengatakan, "Saya kecewa... sangat kecewa dengan anak saya." Pak Fandi adalah seorang usahawan Kristen yang sukses. Meskipun demikian, dari berbagai macam usahanya, perusahaan komputernyalah yang paling ia banggakan. Dengan bangga ia bercerita ke mana-mana bahwa Boby anaknya yang tunggal itu akan segera menggantikannya. Selama ini studi Boby di Amerika berjalan sangat lancar. Namun, setelah lulus dengan titel MBA, Boby justru ingin menjadi misionari. Sebagai majelis gereja, pak Fandi tahu apa itu panggilan Tuhan. Ia bahkan dapat mengajarkan di kelompok PA di gerejanya bahwa Tuhan harus yang terutama, tetapi ia sadar ia tak mampu mempraktikkannya. Ia tidak rela anaknya menjadi misionari. Boby harus menjadi ahli warisnya dan perusahaan-perusahaannya harus tetap jaya.
Kasus yang ekstrim ini inti masalahnya juga jiwa yang posesif. Memang hampir semua orang akan membela pak Fandi karena "realita yang ada" (perusahaan-perusahaan yang maju dan mempunyai arti yang sangat signifikan baginya dan "cinta kasih" seorang ayah yang ingin memberi "yang terbaik" untuk anaknya. Meskipun demikian, kedua "hal yang baik" ini bisa menjadi "tidak baik" oleh karena hadir dalam jiwa pribadi yang posesif. Mengapa demikian dan bagaimana menyelesaikannya?
A. Cinta kasih yang hadir dalam jiwa yang posesif adalah cinta kasih yang subjektif sifatnya.
Cinta kasih tersebut seringkali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan objeknya, bahkan kehadirannya cenderung dipaksakan. Oleh sebab itu, meskipun "isinya baik", cinta kasih tersebut membelenggu, dan bisa menyengsarakan.
Itulah yang terjadi dengan pak Fandi dan Boby anaknya. Mungkin pak Fandi merasa sangat mencintai anaknya, atau sekurang- kurangnya sangat ingin melihat anaknya berhasil menjadi seperti yang ia kehendaki, yaitu pewaris usahanya. Dorongan untuk mencapai tujuan ini menjadi semakin besar karena pabrik komputer ini adalah hasil usahanya yang paling ia banggakan. Mungkin harga diri bahkan identitasnya sendiri sudah menyatu dengan perusahaan tersebut. Sehingga keinginannya untuk melihat perusahaan ini tetap hidup dan jaya, besar sekali. Bagi pak Fandi perusahaan itulah impian tertinggi yang ia miliki.
Dalam kondisi seperti ini, pak Fandi merasa bahwa apa yang terbaik yang disediakan bagi anaknya adalah tanda cinta kasihnya. Ia tidak berdaya menolak kehadiran dorongan yang sebenarnya sudah menjadi kebutuhan pribadi yang primer dalam hidupnya. Spirit subjektivitas yang hadir dalam dirinya menjadi semakin kuat. Ia mungkin tidak sadar kalau keinginannya semata- mata subjektif, karena ia tidak mempunyai pilihan lain. Keinginan tersebut sudah menjadi wujud dari arti dan tujuan hidup pak Fandi itu sendiri.
Sekarang realita ini bertemu dengan Boby seorang pemuda dengan identitas yang jelas. Kalau Boby adalah pribadi dengan identitas yang tidak jelas (role confession) justru semuanya akan lebih mudah dan lancar. Mungkin tawaran dan keinginan pak Fandi akan diterima begitu saja, dan kemungkinan Boby akan berhasil menjadi pewaris yang baik dan membahagiakan kedua orang tuanya, tetapi aneh sekali, kebenaran justru seringkali menuntut dan membuat masalah menjadi kompleks. Benar seperti yang dikatakan firman Tuhan bahwa "jalanmu bukan jalan-Ku" (Yesaya 55:8). Namun realita menjadi semakin kompleks karena pak Fandi adalah pribadi yang posesif. Akibatnya "spirit memaksakan kehendak" menjadi lebih besar daripada "kasih sayang yang sesungguhnya." Kasih sayang yang sejati adalah kebenaran Allah yang membebaskan (Yohanes 8:32).
Dalam kasus ini, konselor membutuhkan kemampuan empati yang cukup tinggi. Ia harus dapat merasakan yang dirasakan pak Fandi, sehingga dapat mengkomunikasikan spirit "non-judgemental/sikap tidak menghakimi atau mempersalahkan". Melalui suasana empati itulah pak Fandi akan terbuka untuk belajar berpikir dengan komponen-komponen yang baru. Di samping itu konselor perlu waspada, mungkin pak Fandi memerlukan bahan-bahan tambahan untuk memikirkan tentang, misalnya, kasih yang sejati, iman yang hidup, talenta, dan kehendak Tuhan, hubungan orangtua anak, dan sebagainya. Idealnya, semua komponen pikiran secara lengkap hadir dan dapat dipakai untuk menggumuli dan mengambil keputusan. Pada akhirnya, pak Fandi sendirilah yang harus mengambil keputusan tersebut. Keputusan yang diambil setelah konselor menolong dia menemukan, menyadari apa yang sedang terjadi dalam hidupnya.
B. Cinta kasih yang hadir dalam jiwa yang posesif menafikan/menyangkali hubungan pribadi yang sesungguhnya.
Hubungan seperti ini ada antara pak Fandi dan Boby anaknya. Memang tidak jelas bagaimana hubungan antara keduanya selama ini. Jikalau hubungan antara mereka berdua selama ini buruk, dengan mudah dapat dikatakan bahwa penolakan Boby terjadi oleh karena memang Boby ingin melukai ayahnya. Atau, setidak-tidaknya Boby tidak ingin dekat apalagi bekerja dengan ayahnya. Bahkan, dalam konteks hubungan yang buruk, panggilan Tuhan untuk menjadi misionari hanya menjadi alasan tanpa bobot kebenaran yang esensinya perlu digumuli.
Sebaliknya jikalau hubungan mereka "baik" atau bahkan "sangat baik", konselor akan menghadapi berbagai kemungkinan yang masih perlu ditemukan.
PERTAMA, penolakan Boby sebenarnya sudah diantisipasi oleh pak Fandi tanpa ia sendiri berhasil mengatasi jiwa posesifnya. Jadi, masalah ini adalah masalah antara dia dengan dirinya sendiri. Pak Fandi sadar bahwa ia bermasalah. Meskipun ia tahu bahwa kemauannya salah, ia tidak dapat mengubahnya, karena ia berjiwa posesif. Mungkin, ia sudah mencoba selama bertahun-tahun dan tidak pernah berhasil "memiliki" Boby secara penuh tetapi ia tidak pernah putus asa dan akan terus mencoba untuk memiliki dan menjadikan Boby seperti yang dikehendakinya. Keputusan Boby telah meruntuhkan harapan tersebut. Tuntutan jiwa posesifnya menghasilkan gelombang besar yang menghantam dirinya sendiri. Pak Fandi terpaksa dirawat di rumah sakit. Gangguan kesehatan dan sikapnya yang depresif merupakan bentuk dari "cry for help" dari jiwa kanak-kanak yang menginginkan "mainan" yang tidak "appropriate". Bagaikan seorang anak yang ia tahu kedua orangtuanya mengasihi tetapi ia tetap menginginkan mainan yang buruk itu. Ia tidak bisa mematikan dorongan yang muncul dari dalam dirinya.
KEDUA, penolakan Boby merupakan suatu kejutan. Pak Fandi percaya bahwa hubungan yang "sangat baik" itu telah meyakinkan dirinya bahwa dalam segala hal Boby akan selalu menurut dan menyenangkan orangtuanya. Berarti, baik pak Fandi maupun Boby keduanya mempunyai tafsiran dan pengertian yang berbeda tentang makna hubungan yang "sangat baik" yang terjalin antara mereka berdua. Bagi pak Fandi, Boby tak akan menolak permintaannya. Bagi Bobby, hubungan yang "sangat baik" itu menjadi bukti betapa ayahnya sangat mengasihi dan menghargai dirinya sebagaimana ia ada. Itulah sebabnya ia berani untuk menjadi dirinya sendiri.
KETIGA, penolakan Boby adalah manifestasi dari "tug of war/tarik menarik untuk menentukan siapa yang lebih kuat" yang bisa merupakan fase "dysequilibrium" dari hubungan antardua pribadi yang sedang bertumbuh menjadi makin matang. Jadi, ini merupakan fenomena sosial yang sehat dan wajar tetapi dengan dampak yang berbeda dalam dua pribadi tersebut. Pak Fandi cenderung depresif dan kecewa karena justru dengan jiwa posesifnya ia menjadi tidak siap. Sebaliknya Boby sudah menantikan perubahan tersebut. Jadi, soal pekerjaan yang ditawarkan pak Fandi dan keputusannya menjadi misionari hanyalah "precipitating factors/faktor-faktor pencetus" yang menyingkapkan apa yang sebenarnya ada.
Untuk berbagai kemungkinan tersebut konselor membutuhkan kemampuan berpikir analitik untuk dapat melihat berbagai "aspek" di tengah kompleksnya realita. Dalam ketiga kemungkinan tersebut, "empati" saja tidak cukup. Yang diperlukan setelah empati adalah kemampuan analitik sehingga konselor dapat membukakan beberapa pintu kemungkinan yang baru yang dibutuhkan oleh kliennya.
Untuk kemungkinan yang pertama, misalnya, konselor boleh mulai dengan berempati dan mengatakan, "Kadang-kadang kita heran menemukan kompleksnya realita dalam kehidupan ini... apa yang kita rasa terbaik ternyata bisa hadir dalam bentuk yang sama sekali berbeda.... Meskipun bertahun-tahun kita mencoba mengkomunikasikannya... tetap orang yang kita kasihi tidak bisa menerimanya ... Menyadari realita seperti ini bisa membuat kita kecewa... apatis... dan bahkan mungkin putus asa." Inilah bentuk empati, tetapi empati saja tidak cukup. Meskipun dengan mendapatkan empati, klien bisa merasakan dirinya sangat dimengerti, tetapi klien hanya didorong untuk mengulang keluhan-keluhannya. Empati pada tahap pertama ini hanya menjadi sarana katarsis yang terbatas. Klien tidak melihat pintu-pintu yang terbuka untuk mulai berpikir dengan aspek- aspek pikiran yang baru. Itulah sebabnya, konselor perlu memakai ketajaman berpikir analitik supaya dapat menolong klien menemukan berbagai pintu untuk ekplorasi yang selanjutnya. Sebagai contoh, setelah empati, konselor dapat meneruskan dengan mengatakan, "Yah... di tengah kondisi yang dilematik itu seringkali kita tidak mempunyai kekuatan untuk mengubahnya... sehingga kita memilih untuk bertahan dengan cara berpikir yang lama dan tertutup untuk kemungkinan- kemungkinan yang baru. Meskipun kita sendiri menderita dan orang- orang yang kita kasihi juga menderita, kita bisa tetap bertahan bahkan terjebak dalam pola-pola pikir yang merugikan. Hal yang salah yang kita sadari bisa tetap menjadi kebutuhan yang kita inginkan. Kita membuat hubungan dengan orang yang kita kasihi menjadi berubah... seolah-olah menjadi dua musuh yang sedang berusaha untuk saling menaklukkan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidup kita ini? Apa yang seharusnya kita lakukan di tengah dilema kehidupan ini?
Dengan kemampuan analitik, konselor dapat melihat peta arah-arah gerak jiwa manusia. Dengan demikian ia dapat menempatkan klien yang posesif itu dalam kondisi "mau tak mau harus berada dalam posisi tertentu dan mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang baru". Meskipun demikian, menghadapi individu dengan jiwa posesif, konselor harus sabar karena klien akan kembali-kembali lagi ke titik awal. Jiwanya terjebak pada keinginan untuk memiliki dan mengontrol sehingga ide dan kebenaran yang diakuinya tidak selalu mempunyai kekuatan yang cukup untuk memperbaharui sikapnya.