Oleh: Pdt. Yakub Susabda, Ph. D.
Saya sering merasakan bahwa hidup ini tidak fair. Dulu saya pacaran dengan laki-laki yang baik yang saya cintai tetapi berbeda suku sehingga ayah saya memutuskan hubungan kami. Kemudian saya diperkenalkan dengan orang pilihan ayah, yang menjadi suami saya sekarang ini. Tahun-tahun pertama pernikahan kami sebetulnya cukup baik. Sampai kami mempunyai dua orang anak laki-laki yang sekarang sudah remaja semua, lalu suami saya nyeleweng. Memang dia mengatakan tak akan menceraikan saya, tetapi kata-katanya sungguh menyakitkan. Dia pernah mengatakan bahwa kami salah menikah, karena kami tidak saling mencintai. Pada saat marah, seringkali dia mengatakan bahwa perempuan yang dia selingkuhi sekarang ini adalah perempuan dambaannya. Perempuan seperti itulah yang dia impikan untuk menjadi istrinya.
Sudah bertahun-tahun kami tidak tidur sekamar. Hubungan seks kadang-kadang masih ada tetapi jarang sekali. Sebagai laki-laki, dia masih sering berinisiatif untuk intim tetapi saya tolak karena saya pikir “ngapain gitu-gituan kalau tidak saling mencintai.” Juga kedua anak kami benci ayah mereka. Ngomong pun jarang sekali. Mereka tahu kalau ayah mereka berselingkuh dengan perempuan lain.
Mendengar keluhan ini, pikiran saya sebagai konselor menerawang kebeberapa keluarga dengan pengalaman yang mirip. Saya mulai bertanya kepada diri sendiri, “apa yang sudah terjadi dalam keluarga tersebut?” Hasilnya, saya membutuhkan klarifikasi atas beberapa pertanyaan yang muncul tadi, yaitu:
1. Apa benar dia ayah yang tidak baik?
Benar dia sudah berselingkuh dengan perempuan lain, dan itu untuk banyak pasangan merupakan hal yang fatal, siapa dia sebenarnya? Apakah dia ayah yang tidak baik, atau ia menjadi tidak baik dimata kedua anaknya karena istrinya telah menanamkan hal negatif tersebut dalam jiwa anak-anak mereka?
Memang pengalaman dikhianati dan ditolak merupakan pengalaman yang sangat menyakitkan. Tidak heran jikalau individu yang terkena, cenderung mencari bantuan untuk mengurangi rasa sakitnya. Untuk itu, seorang individu bisa memakai defence mechanism projection (mengalihkan kesalahan pada orang lain) yang salah satu wujudnya adalah mencari dukungan bahwa dirinya benar dan kesalahan semata-mata ada pada suaminya.
Proses ini kemudian akan membentuk sistim dimana suami tersebut dikeroyok dimusuhi dan diisolasikan. Nah dalam sistim yang baru ini peran suami untuk berbuat baik sebagai ayah yang baik semakin sulit untuk dilakukan. Akibatnya dalam sistim sudah terbentuk asumsi bahwa suami tersebut adalah juga ayah yang tidak baik, menjadi semakin kuat. Padahal belum tentu demikian. Mungkin ia suami yang pernah jatuh, tetapi belum tentu ia suami yang tidak mencintai istrinya dan belum tentu ia seorang ayah yang tidak baik. Mungkin yang terjadi adalah, ia makin tidak mampu berperan sebagai suami yang baik dan ayah yang baik sekarang.
2. Apakah ia suami yang tidak baik?
Celakanya setiap laki-laki yang jatuh dalam perselingkuhan (bukan hanya perjinahan, karena perjinahan dimata Allah sudah terjadi pada saat seorang berfantasi seksuil dengan orang lain – Mat. 5:27) sudah dicap sebagai suami yang tidak mencintai istrinya dan suami yang tidak baik. Padahal realitanya tidak selalu demikian. Memang ada banyak laki-laki brengsek, tetapi tidak setiap laki-laki yang jatuh dalam perjinahan adalah laki-laki brengsek. Daud hamba Allah yang sangat dicintai Allah juga pernah jatuh (II Sam 11) bahkan Martin Luther King. Jr yang jelas-jelas seorang hamba Tuhan yang sangat berkharisma dan dipakai Tuhan juga berulang kali jatuh dalam perjinahan.
Mungkin benar mereka adalah pribadi-pribadi yang addicted dalam seks, yang sejak remaja telah membiasakan dirinya memenuhi kebutuhan primer yang tak terpenuhi (unfulfilled primary needs, misalnya: kebutuhan untuk dicintai, atau diterima sebagai satu pribadi yang utuh, dsb) dengan seks. Tetapi mungkin juga tidak. Karena hidup penuh dengan dinamika interaksi berbagai komponen kehidupan yang kadang-kadang muncul tak terhindari dan tak dapat dikuasai. Misalnya, perubahan selera.
Nah, dalam konteks kasus diatas, konselor perlu mawas diri. Apa benar suami adalah pribadi yang tidak baik? Apakah benar suami tersebut tidak mencintai istrinya? Mungkin benar, tetapi mungkin juga tidak, meskipun ia “pernah” mengatakan kata-kata diatas. Interaksi dua pribadi selalu membawa muatan-muatan komponen subjektifitas pribadi yang sudah terkondisi. Artinya, kalau suasana hati/mood-nya lagi tidak OK saja, maksud baikpun sering dikomunikasikan dengan cara yang tidak pas sehingga membawa muatan berita lain yang semula tidak direncanakannya. Kemudian berita yang “lain” tersebut ditangkap dan diresponi dengan negatif, sehingga salah mengerti telah mendapat konfirmasinya. Sejak itu pengenalan pribadi sudah berubah. Setiap kali berkomunikasi individu tersebut tidak dapat lagi bersih prasangka. Lalu frekuensi konflik meningkat dan gap antar mereka makin besar. Rasa cinta yang tadinya ada sekarang semakin hilang bahkan lama kelamaan lenyap.
Disamping itu banyak wanita yang tidak menyadari akan keunikan naturnya. Sebagai wanita, rasa cinta seringkali menyatu dengan kebutuhan dan pemenuhan emosi. Jadi, kalau kebutuhan dan pemenuhan emosi sudah dapat diperoleh melalui sarana lain misal: disalurkan pada anak-anak seringkali kebutuhan untuk mencintai suami berkurang. Banyak diantara mereka mengatakan “mencintai suaminya,” padahal mereka tidak mempunyai keinginan dan kebutuhan untuk mendekat, meraba, memeluk, mencium, bercanda, dan menikmati kebersamaan dengan suaminya. Mereka terjebak dalam sistim kehidupan buruk yang “tanpa sengaja” telah diciptakannya sendiri. Bahkan banyak diantara mereka telah membuktikan cinta dengan cara yang keliru misal: memberi sesuai dengan kemauannya sendiri yaitu masak, menjaga anak, menyediakan makanan, vitamin, juice buah-buahan, membersihkan dan mengatur rumah tangga seolah-olah itu adalah cinta, padahal apa yang suaminya inginkan, misalnya seks, jarang sekali mereka berikan. Sampai setiap kali ada kebutuhan seks si suami sampai mengemis-ngemis dengan resiko ditolak. Wanita-wanita ini mengaku mencintai suaminya, padahal tidak. Mereka adalah wanita-wanita egoistik yang tidak berbakti kepada Allah (I Kor 7:4-5) dan tidak mencintai suaminya. Mereka adalah wanita-wanita yang berkanjang dalam dosa “yang tidak disadari” (Mzm 19:13).
Kapan si suami berubah? Tahun-tahun pertama pernikahan mereka cukup baik, mengapa berubah? Sebagai konselor kita perlu melatih kepekaan terhadap realita kehidupan ini. Sehingga keluhan-keluhan subjektif klien tidak menjebak konselor dalam empati yang menyesatkan. Konselor perlu selalu mawas diri bahwa keluhan klien apapun juga, hanyalah fenomena dari realita persoalan yang sesungguhnya yang ada dibelakangnya. Seringkali persoalan klien bukan persoalan yang diceriterakan (suami berselingkuh) tetapi bagaimana ia melihat, menafsir, dan bereaksi terhadap perselingkuhan itu. Dari sana akan nampak siapa sebenarnya diri si klien. Kalau marah, mengapa ia marah? Kalau panik mengapa ia panik? Apa yang sebenarnya yang ia inginkan ? Apa benar yang ia inginkan adalah kembalinya suaminya kepadanya? Kembali dalam bentuk apa ? Apakah akan mengulang sistim hidup “buruk” seperti yang sudah-sudah? Pernikahan seperti apa yang ia inginkan, dan apakah ia siap berperan sebagai istri yang benar-benar mencintai suami dan membahagiakan dia?
3. Apakah ia benar-benar ingin hidup bahagia dengan suaminya?
Banyak wanita, dengan kasus seperti diatas, yang sebenarnya tidak mempunyai definisi dan pengertian tentang kebahagiaan rumah tangga. Seringkali keinginannya (supaya suaminya kembali) hanya lahir dari motivasi yang keliru yaitu semata-mata cuma ingin “dibebaskan dari persoalan yang mengganggu” saja. Mereka bahkan tidak mengerti, apa “hal terbaik” yang akan mereka lakukan setelah suaminya kembali. Kemungkinan besar, ketakutannya kehilangan suami bukan oleh karena cintanya pada suami, tetapi karena alasan-alasan lain seperti misalnya, jaminan finansial, status sosial, rasa berdosa, hubungannya dengan orang tua, kerabat, dan teman-teman di gereja, dan sebagainya. Bagi mereka yang tidak mencintai suami, sebenarnya tidak mempunyai kerinduan untuk hidup bahagia dengan suaminya.
Pengalaman hidup bersama suami, yang membekas dalam “berbagai luka batin” biasanya telah menghapus kenangan-kenangan manis yang “pernah” dialami pada tahun-tahun pertama pernikahannya. Melalui pengalaman bersama yang saling melukai, laki-laki yang dikenalnya selama ini sebagai suami sudah menjadi pribadi asing yang kehadiran dan kedekatannya tidak dinikmati lagi. Konselor harus waspada, mungkin posisi seperti itulah yang sedang dialami oleh wanita dalam kasus diatas. Sehingga konseling yang efektif adalah: (a) menolong klien menemukan dan menyadari dirinya, yaitu apa yang telah dan sedang terjadi dalam dirinya. Kemudian, (b) berdasarkan imannya menolong dia belajar mematuhi apa yang menjadi kebenaran firman Tuhan. Misalnya, belajar membuktikan diri dapat mencintai dengan cinta yang sehat yang dapat membangun dan dinikmati suaminya. Disamping belajar menolong kedua anaknya untuk menghormati dan mengasihi ayah mereka.