Oleh: Pdt. Paul Gunadi Ph.D
Ada satu fenomena baru yang sedang menggejala di kalangan orang Kristen, yakni, “beristrikan” lebih dari satu. Sudah tentu fenomena beristrikan lebih dari satu bukanlah sesuatu yang baru; yang baru adalah argumentasi para pria ini yang mengatakan bahwa Alkitab sendiri tidak pernah melarang kita untuk beristrikan lebih dari satu. Di bawah ini saya akan memaparkan argumentasi saya untuk menjawab masalah ini.
Memang benar Alkitab tidak secara eksplisit melarang suami menikah lagi dan Tuhan tidak memberikan teguran atau larangan secara langsung kepada hamba-hamba-Nya yang mempunyai istri lebih dari satu. Sebagaimana kita ketahui, Abraham, Yakub, Daud, dan Solomo beristrikan lebih dari satu. Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan menghendaki mereka beristrikan lebih dari satu ataukah Tuhan membiarkan mereka beristrikan lebih dari satu.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mengetahui desain atau rencana Tuhan tentang pernikahan pada awalnya. Mari kita lihat Kejadian 2:24: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging.” Pada pernikahan pertama ini, dengan jelas kita dapat melihat bahwa Tuhan mendesain pernikahan antara satu pria dan satu wanita. Sama sekali tidak tersirat adanya desain pernikahan ganda atau majemuk yakni beristrikan atau bersuamikan lebih dari satu.
Berikutnya, istilah “satu daging” merujuk kepada kesatuan yang sempurna dan tidak terpisahkan. Alkitab tidak menggunakan istilah “keduanya berpasangan” atau “keduanya berdampingan.” Alkitab memakai istilah, “keduanya menjadi satu daging” ibarat sirup dan air yang telah larut bersama. Atau, jika kita tetap menggunakan konsep daging, kita dapat menyamakannya dengan daging seorang anak yang merupakan perpaduan darah dan daging ayah dan ibunya. Dapatkah kita memilah-milah daging anak dan mengatakan bahwa bagian daging ini dari ibunya dan bagian daging itu dari ayahnya? Jawabannya sudah tentu, tidak.
Konsep kesatuan ini diulang oleh Paulus di Efesus 5:28, “Siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri.” Mengapakah mengasihi istri identik dengan mengasihi diri sendiri? Tepat pada ayat yang sama, Paulus menjelaskan, “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri.” Dengan kata lain, suami dan istri telah menjadi suatu kesatuan yang sempurna sehingga keduanya telah larut dan melebur menjadi satu. Itu sebabnya Firman Allah menegaskan bahwa suami yang mengasihi istrinya sebenarnya mengasihi dirinya sendiri.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin kesatuan itu dipisahkan kembali dan dileburkan dengan perempuan lainnya? Kalau ada yang menjawab, mungkin, itu sama dengan mengatakan bahwa kita dapat memilah-milah daging seorang anak dan membedakan mana yang dari ayahnya dan mana yang dari ibunya. Saya kira jawabannya jelas, tidak mungkin! Itu sebabnya konsep pernikahan yang Tuhan tetapkan pada awalnya adalah antara satu pria dengan satu wanita. Tidak ada penjelasan atau keterangan tentang pernikahan berikutnya karena memang Tuhan tidak pernah mendesain atau merancang pernikahan selanjutnya. Beristrikan lebih dari satu berlawanan dengan konsep satu daging!
Selain di Kejadian 2, kita hanya dapat menemukan pembahasan spesifik mengenai pernikahan di Perjanjian Baru yakni di Efesus 5:22-33, Kolose 3:18-19, 1 Petrus 3:1-7. Pada semua ayat ini, Tuhan selalu menyebut satu suami dan satu istri (bentuk tunggal); tidak ada satu ayat pun yang menyebut “istri-istri” (bentuk jamak). Jadi, pada setiap kesempatan, tatkala Alkitab membicarakan tentang pernikahan, Alkitab selalu konsisten yaitu pernikahan adalah antara satu pria dengan satu wanita.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah, mengapa para tokoh Alkitab itu mempunyai lebih dari satu istri? Jawabannya jelas, yakni pada mulanya Tuhan tidak menghendaki manusia beristrikan lebih dari satu, namun karena kekerasan hati manusia dan nafsu dagingnya, Tuhan membiarkan manusia beristrikan lebih dari satu!
Adakalanya manusia melanggar kehendak Tuhan, adakalanya manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. Beristrikan lebih dari satu masuk dalam kategori yang kedua, yakni manusia menyimpang dari kehendak Tuhan. Baik melanggar maupun menyimpang, keduanya memiliki satu kesamaan yaitu keduanya tidak berada dalam kehendak Tuhan.
Lepas dari kehendak Tuhan yang tersurat di Alkitab, sebenarnya Tuhan sudah memberikan pelita-Nya di dalam hati nurani kita sekalian. Itu sebabnya sejarah manusia memperlihatkan bahwa perjalanan pernikahan bukannya menuju ke arah beristrikan majemuk melainkan beristrikan tunggal. Pada masa lampau hak asasi wanita begitu tertindas sehingga wanita tidak berdaya menyuarakan pilihannya yaitu tidak ingin dimadu. Sekarang, tatkala hak asasi wanita mulai mendapat pengakuan, wanita dengan suara bulat berseru, “Kami tidak ingin dimadu!”
Dengan kata lain, pada mulanya wanita tidak pernah dan tidak akan mengizinkan suaminya beristrikan lebih dari satu. Namun dalam kondisi tertindas, wanita terpaksa menerima keputusan suaminya yang ingin beristrikan lebih dari satu. Bukankah kita yang pria juga akan merasa sangat tidak bahagia jika anak perempuan kita dijadikan istri kedua atau menantu laki-laki kita ternyata mempunyai istri lain?
Firman Tuhan memerintahkan, “Hai suami, kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya…” (Efesus 5:25) Bagaimanakah Tuhan mengasihi jemaat-Nya? Pertama, Tuhan Yesus tidak menduakan jemaat-Nya dan kedua, Ia menyerahkan diri-Nya bagi jemaat. Implikasinya, suami tidak boleh menduakan istrinya dan suami harus menye-rahkan dirinya kepada istrinya, bukan menyerahkan dirinya kepada wanita atau istri yang lain. Suami yang mengasihi istrinya tidak akan menikahi perempuan lain karena perbuatan itu sangat melukai hati istrinya. Sebagai pria, hati kita pun akan sama hancurnya bila istri kita berganti-ganti pelukan: malam ini dengan kita, besok dengan pria yang lain. Firman Tuhan berkata, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Matius 7:12)
Sebagai penutup, saya ingin mengutip dari Matius 6:24, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain.“ Pernikahan merupakan suatu pengabdian; kita tidak bisa, tidak mungkin, dan tidak boleh mengabdi kepada dua tuan.