Tampaknya perbedaan antara pria dan wanita bukan saja mempengaruhi suasana di dalam rumah, namun juga iklim relasi di luar rumah. Ternyata cara kepemimpinan wanita di tempat pekerjaan mereka berlainan dengan gaya kepemimpinan pria. Judy B. Rosener, seorang dosen di Universitas California, Irvine melaporkan hasil penemuannya pada Harvard Business Review, November-December 1990. Misalnya, pria cenderung memandang pekerjaannya dari sudut transaksi, yakni transaksi antara dia dengan bawahannya. Gaya ini disebut transaksi, sebab yang terjadi adalah pertukaran imbalan dengan jasa yang telah diberikan atau penetapan sanksi bagi kinerja yang kurang memuaskan. Sebaliknya, para manajer wanita lebih suka menggunakan pendekatan partisipasi di mana para bawahan didorong untuk memberikan sumbangsih demi kepentingan organisasi. Dampak dari kepemimpinan ini positif karena membuka kesempatan bagi pekerja untuk berkarya lebih kreatif serta mempertebal rasa kepemilikan mereka. Di samping itu, para pekerja akan merasakan penghargaan yang tinggi dan hal ini sangat berkhasiat memperkuat citra diri mereka. Sudah tentu, citra diri yang sehat berpotensi mengoptimalkan semangat kerja dan kesetiaan pada perusahaan.
Dalam hal kuasa, pria pun cenderung mengunakan kuasa yang berasl dari otoritas formalnya atau dari posisinya di dalam organisasi tersebut. Tidak demikian halnya dengan wanita sebab mereka lebih siap membagi kuasa dan informasi yang dimilikinya. Pada umumnya kuasa dalam suatu struktur organisasi berkaitan dengan berapa banyak informasi yang dimiliki oleh seseorang. Semakin tinggi posisinya dalam strata kepemimpinan, semakin banyak informasi yang diketahuinya (dan yang tidak diketahui oleh orang lain). Semakin rendah jabatannya, semakin sedikit informasi yang dimilikinya. Ternyata para manajer wanita tidak terlalu keberatan membagi informasi dengan bawahannya dan hal ini memperlihatkan bahwa mereka tidak terlalu mengasosiasikan kuasa jabatan dengan informasi. Para manajer wanita tampaknya berupaya untuk tidak terlalu menonjolkan otoritas mereka agar tidak merendahkan bawahan mereka.
Para responden wanita dalam penelitian Rosener ini mengatakan bahwa bagi mereka gaya kepemimpinan ini timbul dari diri mereka secara alamiah yakni bersumber dari naluri social mereka. Kesimpulan studi Rosener sekali kagi meneguhkan pengamatan-pengamatan sebelumnya tentang perbedaan antara pria dan wanita. Berlainan dengan pria yang mengkaitkan citra diri mereka dengan karya dan prestasi, wanita cenderung mengasosiasikan citra diri mereka dengan relasi atau hubungan pribadi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan kaum wanita yang bersifat interaktif merupakan kepanjangan dari naluri interaksi atau relasi yang sudah mengakar dalam kepribadian mereka.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gaya kepemimpinan seperti ini sudah tentu berpotensi menciptakan iklim kebersamaan. Namun saya juga dapat membayangkan dampak negatifnya, yakni gaya kepemimpinan interaktif bisa jadi ajang konflik pribadi yang serius. Saya kira ini adalah salah-satu resikonya. Pendekatan pribadi yang sukses membuahkan iklim kekeluargaan yang sehat ; sebaliknya pendekatan pribadi yang gagal bisa melahirkan iklim permusuhan yang dalam.
Tidak ada satu sistem yang sempurna di dunia ini. Baik gaya transaksi maupun gaya interaksi berpotensi positif dan juga negatif. Gaya adalah sarana ; yang penting ialah hati yang menjiwai gaya. Saya teringat Firman Tuhan yang memberikan model atau gaya kepemimpinan sejati, yakni barangsiapa ingin menjadi pemimpin, hendaklah ia menjadi pelayan atau hamba. Suatu konsep yang radikal dan asing bagi telinga kita. Dengan kata lain, hati yang melayani akan menyempurnakan gaya transaksi ataupun gaya interaksi – dan hati yang melayani tidak terbatas pada hati wanita saja.