Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Kesulitan dalam berteman, bergaul dan bekerja sama dengan orang- orang yang seiman sering kali muncul oleh karena "ekspektasi yang tidak realistis". Seolah-olah setiap orang Kristen harus dengan sendirinya berkepribadian dewasa, punya integritas tinggi, bijaksana dan penuh kasih. Realitanya ? Kita semua tahu, menjadi Kristen tidak menjamin kehidupan pribadi yang lebih baik. Berpacaran bahkan menikah dengan sesama orang Kristen (seiman) tidak dengan sendirinya menjamin keharmonisan dan kebahagiaan. Bahkan, jikalau kita benar- benar memahami firman Tuhan, kita akan mengerti bahwa menikah dengan orang yang seimanpun tidak dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah. Mengapa demikian ?
Allah adalah Allah yang berencana dan yang menyukai keteraturan (1 Kor. 14:33). Allah yang mengasihi setiap orang percaya adalah Allah yang memberikan talenta dan karunia-karunia roh yang berbeda- beda (Mat. 25:14-30; 1 Kor. 12). Allah tidak menuntut pertanggungjawaban yang sama dari setiap orang. Ia mempunyai rencana yang khusus untuk setiap pribadi. Memang Allah menghendaki setiap anak-Nya menikah dengan orang yang seiman (II Kor. 6:14), tetapi menikah dengan orang yang seiman tidak berarti menikah dengan "siapa saja", pokoknya seiman.
1. Allah mempunyai rencana dan Allah menghendaki setiap orang percaya menikah dengan "orang yang tepat". Sayang sekali realitanya tidak selalu demikian. Kehendak Allah (God's will) untuk pernikahan bukanlah merupakan kehendak Allah "yang ditetapkan" (decreed will of God). Ada perbedaan antara God's will dan God's decreed will. God's will tidak selalu terlaksana (oleh karena Allah tidak memaksakan kehendak-Nya), sedangkan God's decreed will selalu dan pasti terlaksana ( oleh karena ditetapkan Allah dari kekal sampai kekal). Bicara tentang kehendak Allah dalam pernikahan adalah bicara tentang God's will. Dan bicara tentang God's will adalah bicara tentang hubungan antara apa yang Allah kehendaki dan apa yang manusia perbuat. Allah memang punya kehendak, tetapi Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menerima atau menolak. Tetapi heran jikalau dalam realita kehidupan orang percaya sekalipun, banyak kehendak Allah yang tidak terlaksana. Allah menghendaki orang percaya untuk mengasihi sesama, tetapi realitanya berapa orang percaya yang betul-betul mengasihi sesama ? Allah menghendaki setiap orang percaya memberitakan injil, tetapi siapakah yang betul- betul mempunyai komitmen untuk memberitakan injil ? Begitu juga dengan pernikahan, Allah menghendaki orang percaya menikah dengan orang yang tepat, yang sesuai dengan kehendak-Nya. Realitanya, sering kali kebebasan manusia yang menentukan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak setiap orang percaya (walaupun dengan orang yang 'seiman' sekalipun) adalah kehendak Allah.
2. Memahami kebenaran ini, akan menolong setiap orang percaya mengerti akan keunikan kebebasan dan tanggung jawabnya sebagai anak-anak Tuhan. Setiap orang percaya terpanggil untuk mencari, memahami, dan mematuhi Kehendak Allah (Ef. 5:17). Tanpa itu ia akan hidup dalam kebodohan, memilih orang yang "tidak tepat" dan menyia-nyiakan waktu bahkan tidak mengerjakan hal-hal yang bernilai kekal dalam kehidupan pernikahannya.