Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Pagi hari biasanya merupakan saat tersibuk dalam keluarga kami. Saya tergesa-gesa untuk jangan sampai meninggalkan rumah lewat pukul 06.30 (berhubung macet), sedangkan istri dan ketiga anak kami berupaya meninggalkan rumah selambat-lambatnya pada pukul 06.45. Pagi hari itu situasinya sama, saya sedang berada di kamar mandi tatkala saya mendengar suara putri tertua kami memanggil dan mengingatkan saya, " Pa, Papa antar Praisy, yah!" Tiba-tiba saya teringat janji yang telah saya buat dengannya kemarin malam. Hari ini adalah hari perpindahan bangku di mana para siswa boleh pindah bangku dan ia ingin duduk di muka. Oleh sebab itu ia perlu datang ke sekolah lebih awal agar dapat menempati bangku di depan. "Papa besok antar Praisy yah, sebab Praisy mau duduk di depan." Itulah permintaanya dan saya telah menyanggupinya.
Dengan tergesa-gesa saya berpakaian dan waktu sudah menunjukkan pukul 06.30. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri untuk sarapan telebih dahulu. Ternyata seusai sarapan, waktu telah menujukkan pukul 06.40. Saya pun mulai bimbang. Saya berpikir mungkin saya dapat meminta putri kami itu untuk berangkat bersama dengan istri saya dan kedua adiknya. Toh, dalam waktu 5 menit istri saya akan berangkat mengantar kedua anak kami. Sedangkan kalau saya mengantar putri kami ke sekolah, berarti saya akan berangkat kerja sekitar pukul 07.00 dan lama perjalanan saya akan bertambah 20 sampai 30 menit. Saat itu saya melihat istri saya sedang memakaikan sepatu anak-anak kami yang lain, jadi saya pun menanyakan apakah ia akan berangkat dengan segera, dan apabila ia menjawab ya, maka saya akan memintanya untuk sekaligus mengantar putri tertua kami.
Melihat keengganan saya, istri saya bergegas keluar dan berkata bahwa ia akan mengantar putri kami itu ke sekolah terlebih dahulu. Saya katakan bahwa waktunya tidak mencukupi untuk ia kembali dan menjemput kedua anak kami yang lain. Lalu saya memutuskan untuk mengantar putri kami itu dan memintanya masuk ke mobil. Sesaat setelah itu saya bimbang lagi karena saya merasa keputusan ini tidak efisien dan kemacetan lalu lintas membayang di benak saya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengantar putri kami itu dan meminta istri saya saja yang mengantarnya bersama dengan kedua kedua adiknya. Pada saat itu saya berpikir bahwa keputusan ini adalah keputusan yang paling tepat mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 06.45 --- waktu di mana mereka biasanya berangkat ke sekolah. Saya meminta putri kami itu untuk pindah ke mobil satunya yang akan digunakan istri saya. Saya membukakan pintu mobil, memintanya pindah kendaraan, dan ia menurut saja...sambil mengangis terisak-isak. Pada saat itulah saya menyadari bahwa saya telah melakukan suatu kekeliruan yang besar. Tangisannya begitu perlahan namun kuat, menandakan suatu kesedihan yang dalam. Saya pun memeluknya, menangis, dan meminta maaf kepadanya.
Istri saya tetap mengantarnya dan kedua anak kami yang lain ke sekolah, karena memang ia pun telah siap. Dalam perjalanan kerja (dan juga sekarang ini pada waktu saya sedang menulis), hati saya menangis merasa bersalah yang besar karena akibat ulah saya yang menekankan efisiensi, hati seorang anak kecil telah saya lukai. Waktu saya pulang ke rumah, saya dan istri saya merenungkan kembali peristiwa yang terjadi pagi hari itu. Ia meminta maaf kepada saya karena ia lupa mengingatkan saya untuk tidak sarapan terlebih dahulu. Saya pun meminta maaf atas kejadian tersebut dan mengakui bahwa memang seharusnya saya tidak sarapan agar tidak terlambat mengantar putri kami ke sekolah. Pagi itu saya bangun agak terlambat dan agar dapat mengantarnya lebih awal, saya tidak sedang memikirkan kepentingan putri kami itu, yakni tiba di sekolah lebih awal agar dapat memperoleh bangku di depan. Saya memikirkan sarapan, kemacetan lalu lintas, dan efisiensi waktu. Kepentingannya saya abaikan, karena.... bukankah ia hanya seorang anak kecil yang tidak berdaya dan tidak memiliki hak suara yang besar? Ia tidak dapat banyak menuntut dan hanya dapat bersandar pada kebaikan papanya.
Tatkala saya merenungkan peristiwa tersebut, Firman Tuhan perlahan- lahan memasuki alam sanubari saya, "Sebaiknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi orang lain juga."(Filipi 2:3-4). Betapa mudahnya saya dan mungkin pula sebagian dari kita, memperhatikan kepentingan orang lain, apabila orang itu adalah penting berkuasa, dan menuntut banyak dari kita. Sebaliknya, betapa mudahnya saya, dan mungkin pula sebagian dari kita,mengabaikan kepentingan orang lain, apabila orang itu tidak terlau penting, tak berdaya, dan tidak banyak menuntut dari kita. Dan, betapa mudahnya saya mengbaikan kepentingan orang lain dan melukainya, demi efisiensi. Nasehat dua pengarang Kristen Gary Smalley dan John Trent, memang tepat, "Tekad dan efisiensi dapat diselewengkan menjadi sifat-sifat yang dominan, kasar, dan memaksakan".
Pada hari-hari di mana kita memperingati penjelmaan Allah menjadi manusia. baiklah kita mengingat pula kelanjutan dari ayat tadi, "Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia." (Filipi 2:6,7) Setelah itu, tengoklah orang-orang yang tampaknya tidak penting di sekitar kita-- di rumah kita-- seta turutilah teladan Tuhan kita. Bagi para ayah atau ibu yang telah melakukan kekeliruan, mungkin doa Peter Marshall dapat menjadi doa kita bersama:
Oh, Bersihkanlah hati Kami Tuhan Yesus, Kami datang kepada Engkau sekarang sebagai anak-anak kecil. Kenakanlah kepada kami jubah kesucian Tahirkanlah kami kembali dengan penyesalan dan pertobatan yang tulus. Oh, bersihkanlah hati kami dari kecemasan kembalikanlah sukacita dan kegirangan di dalam Roh-Mu Karena Engkaulah sumber pembaharuan hidup kami. Amin.