Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.
Matius 5:4
Dalam mempersiapkan kuliah, Konseling Kedukaan dan Orang Sakit, Tuhan berkenan menghantarkan beberapa klien yang sedang berduka karena kehilangan orang yang mereka kasihi. Kematian bukanlah topik favorit saya; menghadapi orang yang berduka menggugah kesedihan saya. Terutama jika keluarga yang saya layani juga mempunyai kesamaan dengan kondisi saya, misalnya usia anak yang berdekatan dengan usia anak saya. Sewaktu bertemu dengan mereka, tidak bisa tidak, pikiran saya dibuat menerawang jauh melihat kematian saya sendiri dan dampaknya pada keluarga, jika itu sungguh terjadi sekarang. Pikiran tentang kematian seakan mencegat langkah hidup saya yang cenderung tergesa-gesa.
Elisabeth Kubler-Ross, penulis dan dokter yang terkenal dengan bukunya, Death and Dying, melihat kematian bukan sebagai suatu peristiwa yang mesti dihindarkan. Sebaliknya, ia memandang kematian sebagai bagian dari hidup yang sangat alamiah, bahkan ia memanggil kematian sebagai tahap terakhir pertumbuhan manusia. Di dalam salah satu bukunya yang lain, Death: The Final Stage of Growth, ia mencatatkan pikirannya tentang kematian:
Menghadapi kematian berarti menghadapi pertanyaan puncak tentang :
Apa itu makna hidup. Bila kita sungguh-sungguh ingin hidup, kita mesti memberanikan diri untuk menerima fakta bahwa hidup itu teramat singkat dan bahwa segalanya yang kita lakukan, menentukan hidup ini. Pada waktu kita memasuki senja kehidupan, mudah-mudahan kita akan berkesempatan untuk melihat ke belakang dan berkata, "Hidup ini berarti karena saya telah benar-benar hidup."
Kematian adalah puncak dan akhir perjalanan hidup kita di bumi; makna hidup adalah pedoman dan kompas yang memandu perjalanan hidup ini. Makna hidup memberi bingkai pada kematian sehingga baik yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan sama-sama bertumpu pada pengharapan yang satu, yakni, "... jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia." (Roma 6:8)
Melepaskan orang yang kita kasihi memang tidak mudah; kematiannya seolah-olah merenggut sebagian hidup kita untuk dibawa pergi ke alam baka. Jika demikian keadaannya, penghiburan apakah yang dapat menerangi relung hati yang kelam ini? Saya kira penghiburan sejati hanya bisa kita alami jika kita melihat bahwa ia, yang kita kasihi, telah melalui kehidupan yang bermakna, bukan yang sia-sia. Kesedihan makin menumpuk bila kita menyadari bahwa ia, yang kita kasihi, telah melewati kehidupan yang sia-sia, tanpa makna.
M. Scott Peck mempunyai pemikiran yang jernih tentang kehidupan, secara spesifik, tentang konsep efektif dan efisien. Ia berkata bahwa efektif itu adalah efisien; dengan kata lain, orang yang efektif adalah orang yang efisien. Efisien, bagi Peck, bukanlah mengerjakan banyak hal dalam waktu sesingkat mungkin. Efisien, menurutnya, ialah mengerjakan beberapa hal yang bermakna sepanjang hidup ini. Saya suka dengan definisi Peck ini sebab definisi ini menempatkan hidup dalam perspektif yang benar. "banyak" tidak identik dengan "bermakna" dan orang yang berhasil mengerjakan beberapa hal yang bermakna dalam hidupnya adalah orang yang hidup dengan efektif.
Kesimpulan saya tentang kematian dan penghiburannya adalah ini: Orang yang telah hidup dengan efektif akan meninggalkan hidup ini dengan hati terhibur dan membuat orang yang ditinggalkannya terhibur pula. Seorang hamba Tuhan pernah berujar secara reflektif tentang hal ini. Ia mengakui bahwa sewaktu muda ia merasa terpanggil untuk melakukan banyak hal dalam hidup ini; sekarang barulah ia menyadari bahwa ternyata, ia hanya akan dapat menyelesaikan beberapa di antaranya.
Beberapa tugas bermakna dari Tuhan di bawah bayang-bayang kematian akan menjernihkan perspektif kita dan menempatkan hidup dalam bingkai penghiburan juga pengharapan.