Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Pernikahan menjadi buruk tidak dengan seketika. Sebagaimana relasi yang kuat dibangun lewat rentang waktu yang panjang, demikian pulalah relasi menjadi buruk lewat tahapan peristiwa yang menimpanya.
James Dobson berpendapat, awal dari pengeroposan pernikahan adalah lunturnya respek. Suami tidak lagi menghormati istri dan sebaliknya, istri tidak memandang suami. Hilangnya respek biasanya berakibat hilangnya tali pengekang yang seharusnya berfungsi sebagai pengikat perilaku hang buruk. Di dalam ikatan respek, kita menahan diri untuk tidak mencaci maki pasangan tatkala marah; di luar tali respek, tidak ada lagi yang dapat menahan keluarnya umpatan dari mulut.
Ada banyak penyebab mengapa respek pudar perlahan namun pasti, salah satu di antaranya adalah dusta. Sebagaimana kita ketahui, dusta adalah kebohongan dan sebagian dari kita sangatlah nyaman hidup dalam kebohongan. Dalam kasus-kasus perselingkuhan yang pernah saya hadapi, pada umumnya si pelaku selingkuh adalah orang yang sudah lama-bahkan lama sekali hidup dalam kebohongan. Dan, bagi saya inilah masalah utamanya, bukan selingkuh itu sendiri.
Orang yang hidup dalam kebohongan sesungguhnya bukanlah sekadar menutupi perbuatan dosanya dari penglihatan orang lain; pada esensinya ia menutupi perbuatannya dari pemandangannya sendiri. Bahkan dapat saya katakan, orang yang hidup dalam kebohongan sebenarnya menolak untuk melihat dirinya - apa adanya. Ia mengembangkan sebuah gambar tentang siapa dirinya yang jauh berbeda dari kenyataan. Ia berperilaku berlainan dengan apa yang sesungguhnya ia pikirkan atau rasakan atau ingin lakukan. Ia menolak melihat kelemahan dirinya dan tidak berani mengakui keterbatasannya. Scott Peck memanggilnya, manusia dusta.
Pernikahan mulai rusak dan merana tatkala salah seorang pesertanya menderita sakit dusta. Daripada mengakui dan memunculkan kebutuhannya, ia malah bersikap kuat dan anti-kelemahannya. Daripada mengakui, "Aku takut!" ia malah berteriak, "Kamu tidak mengasihiku!" Masalahnya adalah, pasangannya mulai menyadari bahwa sesungguhnya tidaklah demikian. Pasangannya mulai mencium bau aslinya dan melihat warna dasarnya, namun tatkala diperhadapkan di mukanya, ia menyangkal dan menyumpah-nyumpah. Respek pun runtuh, sebagai gantinya, muncullah leceh.
Menghadapi manusia dusta memang tidak mudah, sering kali kita marah dibuat frustrasi. Bagaimana tidak? Apa pun yang kita katakan kepadanya untuk dilihat, pastilah ia lemparkan kembali pada kita, seakan-akan kita telah mengirim paket ke alamat yang salah. Pada akhirnya kita letih dan tidak lagi bersemangat mengurai jerami kebohongan yang menutupi dirinya; kita muak dan marah, akhirnya kita bersikap tidak peduli. Pernikahan pun retak.
Pilihan ada di tangan kita yang berdusta: memilih pernikahan retak atau memilih topeng retak? Saya mengerti bahwa godaan terbesar adalah memilih pernikahan retak daripada membiarkan topeng retak. Memang kebanyakan manusia dusta lebih memilih mengorbankan segalanya daripada melihat bopeng pada wajahnya. Dalam hal inilah manusia dusta menjadi kejam - bahkan sangat kejam - karena ia tega melukai dan membiarkan orang lain hancur daripada mengakui kelemahannya. Ia lebih memilih membohongi dirinya daripada berkata benar kepada dirinya sendiri sebab baginya, berbohong masih berpotensi menyelamatkan sisa respek yang masih tertinggal. Di sinilah letak kekeliruan terbesarnya.
Respek dibangun di atas kebenaran - pengakuan bahwa benar saya begini dan begitu-dan bertumbuh di atas perubahan - pengabdian bahwa saya akan terus bergumul untuk tidak begini dan begitu. Firman Tuhan mengingatkan, "Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar ... " (Efesus 4:25). Sebelum kita dapat berkata benar kepada satu sama lain, bukankah seharusnya kita memulainya dengan berkata benar kepada diri sendiri? Inilah awal dari pernikahan yang sehat: Buanglah dusta!