Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Salah satu kesalahan fatal yang dapat kita perbuat adalah memilih pasangan hidup yang tidak serasi. Cukup sering saya menjumpai insan yang merana akibat kesalahan memlih baik suami maupun istri. Bagi mereka rumah menjadi tempat asing yang sedapatnya dihindari dan perjumpaan dengan pasangan dirasakan sebagai siksaan. Penyesalan pada akhirnya lenyap dari rongga hati dan tergantikan oleh ketidakpedulian dengan hidup. Masa depan pun berangsur menjadi masa bodoh.
Ada banyak unsur yang terlibat dalam pemilihan pasangan hidup namun ada dua yang terpenting dan keduanya tersurat dalam Kitab Suci. Pertama kita harus memilih yang seiman - sesama pengikut Kristus (1 Korintus 7:39 dan 2 Korintus 6:14) - dan kedua, kita mesti memilih yang sepadan alias cocok sehingga dapat menjadi penolong bagi kita (Kejadian 2:18). Hanya memilih yang seiman namun minus kecocokan adalah jaminan hilangnya kerukunan dalam keluarga dan lahirnya kedukaan di hati. Sebaliknya, hanya memilih yang cocok tetapi tidak seiman akan mengundang masalah kerohanian dan sudah pasti mendukakan hati Tuhan.
Di samping kedua panduan yang tersurat itu sebenarnya ada satu lagi yang tersirat yakni gaya hidup. Untuk menjelaskan hal ini saya akan melukiskannya lewat ilustrasi medis. Kita tahu bahwa penyakit jantung koroner disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah gaya hidup. Jadi, untuk dapat hidup sehat bukan saja diperlukan obat untuk menyembuhkan penyakit itu tetapi juga perubahan gaya hidup. Gaya hidup yang sarat dengan stres dan lemak namun hampa olahraga akan mengurangi keampuhan obat untuk melancarkan peredaran darah. Dari ilustrasi ini dapat kita simpulkan, jika kita tidak ingin berjumpa dengan penyakit jantung koroner maka salah satu hal yang harus kita lakukan adalah memulai gaya hidup yang sehat. Sebaliknya, jika kita mempertahankan gaya hidup yang sarat stres dan lemak maka besar kemungkinan kita akan bertemu dengan penyakit jantung koroner.
Memilih pasangan hidup yang baik berawal dari gaya hidup yang baik. Jika hidup kita tidak karuan, jangan berharap kita akan berjumpa dengan pasangan yang berkualitas baik. Besar kemungkinan kita akan bertemu dengan sesama yang hidupnya berantakan pula. Sebaliknya, bila kita hidup benar dan baik, besar kemungkinan kita akan berpapasan dengan sesama orang yang benar dan baik. Mazmur 1:1-2 mengingatkan, "Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri dijalan orang berdosa dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh tetapi yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam." Dengan kata lain, jika kita berjalan bersama orang fasik, kita akan bertemu dengan orang fasik, sebaliknya bila kita berjalan dalam Firman Tuhan, kita pun akan berjumpa dengan sesama pecinta Firman Tuhan.
Kadang kita beranggapan bahwa memilih pasangan hidup tidak beda dengan memilih kendaraan. Kita tinggal melihat kriteria kendaraan yang baik kemudian membelinya. Memilih pasangan hidup jauh lebih kompleks dari sekadar memilih kendaraan. Begitu banyak orang yang tahu kriteria pasangan hidup yang benar dan baik tetapi tetap tidak memilihnya. Sekurangnya ada dua penyebab mengapa demikian. Pertama, karena kita berjalan di jalur yang salah, maka sampai kapan pun kita tidak akan bertemu dengan orang yang berjalan di jalur yang baik dan benar. Penyebab kedua adalah, sebenarnya kita sudah berjumpa dengan orang yang baik dan benar namun kita tidak memilihnya sebab kita tidak merasa nyaman bersamanya. Kita mengajaknya berbuat hal yang salah dan berdosa, ia tidak mau. Sebaliknya, tatkala ia mengundang kita untuk hidup benar dan baik, kita enggan. Akhimya kita tidak betah bersamanya sebab kita tidak pernah bisa bebas menjadi diri apa adanya - kotor dan berdosa.
Jika itu adalah akhirnya, sedikitnya saya masih bisa bernapas lega. Masalahnya adalah, sebagian orang yang berjalan di jalur yang salah bertemu dan menikah dengan orang yang berjalan di jalur yang benar dan kudus. Karena pelbagai alasan, pemikahan seperti itu kerap terjadi. Problem mulai muncul dengan segera karena orang yang berjalan di jalur yang salah dan kotor tidak akan betah berlama-lama dengan orang yang berjalan di jalur yang baik dan benar. Akibatnya jalur hidup mereka kian terpaut dan relasi menjadi renggang. Akhir cerita, keduanya tidak bahagia dan saling kecewa.
Gaya hidup adalah bagian yang sangat penting dalam pemilihan pasangan hidup. Jika hidup kita tidak karuan, besar kemungkinan kita bertemu dengan pasangan yang tidak karuan pula dan pemikahan pun berakhir dengan kekacauan. Bila hidup kita tidak karuan namun menikah dengan pasangan yang hidup benar, baik kita maupun dia akan sama-sama merana dan tidak akan menemukan kecocokan. Berdasarkan logika sederhana ini, mau tidak mau kita sampai pada kesimpulan bahwa pilihan terbaik adalah, "tidak berjalan menurut nasihat orang fasik dan tidak berdiri di jalan orang berdosa dan tidak duduk dalam kumpulan pencemooh" sehingga kita dapat bertemu dan bersanding dengan sesama orang yang "kesukaannya ialah Taurat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam."
Memilih pasangan hidup tidak sama dengan membeli kendaraan; memilih pasangan hidup lebih mirip dengan bermain biola. Kita tidak bisa membeli keterampilan untuk memainkan biola; kita harus belajar dan berlatih baru bisa memainkan biola. Dengan kata lain, keterampilan bermain biola haruslah menjadi bagian dari diri kita terlebih dahulu sebelum kita mahir memainkannya. Memilih pasangan hidup pun seperti itu. Kita harus hidup baik dan benar terlebih dahulu sebelum kita dapat memilih serta hidup bersama orang yang baik dan benar. Bukankah pemain biola disiapkan untuk memainkan biola, bukan tambur?