Oleh: Paul Gunadi, Ph.D.
Ada banyak gangguan yang kerap muncul dari ketakutan, salah satunya adalah pemikiran delusional alias pikiran yang berlandaskan khayalan sendiri, bukan realitas. Di dalam ilmu psikologi pola pemikiran seperti itu disebut paranoia. Istilah paranoia berasal dari dua kata Yunani yang terpisah, para yang berarti di luar, dan nous yang bermakna pikiran. Gabungan kedua kata ini pada awalnya berarti, gila- di luar pemikiran yang wajar dan rasional. Sekarang istilah paranoia merujuk kepada ketakutan tak berdasar dan tak rasional.
Isi dari paranoia sesungguhnya adalah rasa takut akan ancaman dari luar. Itu sebabnya penderita paranoia senantiasa berjaga-jaga seolah-olah bahaya akan segera datang tak terduga. Agar aman, si penderita lalu menciptakan (dan mempercayai) skenario bahwa seseorang atau sekelompok orang tengah merancang suatu rencana untuk mencelakakannya. Skenario seperti ini sesungguhnya merupakan upaya untuk "mengantisipasi" dan mencekal datangnya bahaya. Singkat kata, skenario ini sebenarnya merupakan usahanya untuk melindungi diri supaya tidak lengah dan dilukai orang.
Siapa pun yang pernah bertemu dengan penderita paranoia mengetahui betapa mustahilnya untukmenjelaskan bahwa pemikirannya akan skenario itu sesungguhnya tidak berdasar. Apa pun yang kita sampaikan pasti disanggahnya; segala bukti rasional akan dituduh sebagai upaya untuk menutupi maksud jahat di belakangnya; Bahkan ada kecenderungan semua penjelasan akan ditafsir sebagai niat untuk mengelabuinya.
Siapa pun yang pemah tinggal dengan penderita paranoia mengerti betapa susahnya hidup dengannya. Kendati ia hidup di bawah satu atap yang sama ternyata ia tidak hidup di dalam satu dunia yang sama. Kita mungkin melihat satu fenomena yang sama; masalahnya adalah dia dan kita tidak menimba makna yang sama. Apa pun yang kita katakan dapat dan cenderung disalahartikan; niat baik diputarbalikkan menjadi rencana jahat; dan upaya untuk menggapainya ditepis dan dijauhi. Penderita paranoia lebih menyukai dunianya dan merasa lebih aman bila kita membiarkannya hidup di dalam benteng yang kokoh ini.
Ada beberapa penjelasan tentang asal-muasal gangguan ini. Ada yang beranggapan bahwa gangguan ini murni bersumber dari masalah organik - problem dalam syaraf dan senyawa kimiawi di bagian tertentu pada otak yakni amygdala - bagian yang mengatur rasa takut dan cemas. Sudah tentu penjelasan ini masuk akal sebab gangguan ini mencakup gangguan persepsi - bagaimana kita memandang dan menyikapi apa yang tengah dialami. Itu sebabnya lewat obat psikotropis yang diberikan, pemikiran delusional dapat dikurangi dan bahkan dalam kasus tertentu, dihilangkan. Tidak bisa tidak, di sini kita dapat melihat kerja konkret dari obat yang mengoreksi fungsi kerja senyawa kimiawi di otak.
Di samping sumber organik, paranoia bisa pula dicetuskan oleh lingkungan hidup - dalam hal ini, keluarga di mana kita dibesarkan. Sebelum saya membahas hal ini lebih lanjut, sekali lagi saya ingin mengingatkan bahwa paranoia kerap disebabkan oleh faktor organik, tanpa campur tangan lingkungan sama sekali. Saya ingin menegaskan hal ini sebab saya tidak ingin menimbulkan rasa tanggung jawab atau bersalah yang tidak pada tempatnya.
Lingkungan hidup atau keluarga seyogyanya memberi kita rasa aman. Ada dua cara untuk menyuntikkan rasa aman: pertama, lewat pemberian kasih sayang dan kedua, perlindungan dari bahaya. Kasih sayang dapat diibaratkan sebagai tembok untuk melindungi kita; jadi, makin tinggi tingkat kasih sayang yang kita terima, makin besar pula rasa aman. Juga, makin besar rasa aman, makin bertambah kuat pula daya tahan untuk menghadapi gempuran ancaman bahaya dari luar.
Rasa aman juga bertumbuh tatkala kita menerima perlindungan dari ancaman bahaya. Jadi, kendati kita menerima kasih sayang yang berlimpah, namun bila hidup ini terus menerus dihantui oleh bahaya, pastilah keseimbangan terganggu dan rasa aman pun terusik. Alhasil, kita mulai mengembangkan rasa cemas kalau-kalau bahaya datang dan tidak akan ada orang yang dapat melindungi kita.
Saya berikan satu contoh konkret untuk menerangkan semua ini. Saat saya menulis artikel ini, saya tengah berada di gereja di mana saya melayani. Di ruang tamu, terbaring seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun. la hadir untuk mengikuti acara anak-anak namun lalu mengalami demam. Sekarang ia sedang menunggu ibunya yang langsung dipanggil untuk menjemputnya. Wajahnya sedih dan matanya berair; tidak bisa tidak, saya pun melihat raut kecemasan pada wajahnya. Saya mengajaknya bicara dan ia memberitahukan saya bahwa ibunya akan segera datang dan betul saja, selang beberapa waktu ibunya menampakkan diri. Wajah yang tadinya sedih dan tegang, tiba-tiba memantulkan damai. Mama telah datang untuk memberinya perlindungan sekaligus menyatakan kasih sayangnya. Ketakutan pun pudar.
Kasih sayang dan perlindungan memberi rasa aman; sebaliknya, hampa kasih sayang dan sarat ancaman melahirkan ketakutan. Jika inilah yang dialami anak hari lepas hari, niscaya dalam dirinya tergenang rasa takut. Bila hati tertanam ketakutan, akhirnya rasa takut akan mewarnai semua yang dialaminya. Semua akan dilihat dari kacamata bahaya yang harus ditangkal dan benak pun akan penuh dengan skenario bahaya.
Anak yang tumbuh besar tanpa kasih sayang juga tidak akan mengerti tentang kasih sayang - apa itu kasih dan bagaimana mengasihi dan dikasihi. Sebagai akibatnya ia akan mengembangkan rasa curiga terhadap limpahan perhatian sebab baginya jangan-jangan ini merupakan upaya untuk mencelakakannya. Dengan kata lain, karena ia tidak pernah mengecam kasih sayang, maka tindak kasih sayang dipandang sebagai modus untuk mengelabuinya agar lengah dan pada akhirnya mudah terperangkap. Jadi, bukan kasih sayang yang dinantikan, sebaliknya, justru bahaya atau penganiayaan yang diantisipasi.
Menurut saya, paranoia dalam kadar tinggi harus melibatkan faktor organik sebagai penyebabnya tetapi paranoia dalam kadar rendah dapat muncul dari faktor lingkungan. Penderita paranoia dalam kadar rendah masih dapat berfungsi di masyarakat: masih bisa berumah tangga, berkarier, berteman mesti tidak akrab. Namun satu gejala yang dapat kita lihat pada dirinya adalah ia tidak mudah percaya orang, kaku dalam mempertahankan pendapatnya, kerap memiliki kecurigaan yang kuat akan niat buruk orang, dan susah intim dengan siapa pun. Ibarat penjaga, ia tidak boleh terlelap; ia selalu menatap orang dengan penuh kehati-hatian dan memilah-milah orang dalam kategori aman atau tidak aman.
Tidak banyak yang dapat kita perbuat untuk mencegah paranoia kadar tinggi karena ia lahir membawa kondisi bawaan itu. Namun ada banyak yang bisa kita perbuat untuk mencegah munculnya paranoia kadar rendah dan semuanya terpulang pada peran kita sebagai orang tua yakni mengasihi dan memberi perlindungan kepada anak. Firman Tuhan mengingatkan bahwa kasih yang sempurna menghalau ketakutan (1 Yohanes 4:18). Terang tidak dapat hadir bersamaan dengan gelap: bila ada terang maka tidak akan ada gelap. Demikian pula dengan kasih: bila ada kasih, maka tidak akan ada ketakutan. Orangtua yang mengasihi dan melindungi anak sesungguhnya tengah menganugerahkan sebuah hadiah tak ternilai kepada buah hatinya: jiwa yang tenteram.