Oleh: Pdt. Paul Gunadi, Ph.D.
Sewaktu saya kuliah dulu, seorang dosen saya pernah menceritakan tentang salah satu kliennya yang mengalami mental breakdown (hilangnya kewarasan) di tengah-tengah proses penyembLihannya. Saya masih teringat komentar dosen itu yang disampaikannya dengan wajah serius, "Jangan berpikir bahwa kita kuat dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi pada kita." Sejak saat itu sampai sekarang saya sudah menyaksikan beberapa contoh kehidupan di mana kasus tersebut terulang kembali. Adakalanya hantaman yang kita terima begitu kuat sehingga kita tak mampu menjaga keseimbangan hidup kita lagi. Kita pun akhirnya mengalami depresi atau bahkan kehilangan kewarasansesuatu yang tak pernah terpikir akan menimpa kita.
Banyak orang mengenal lagu rohani It ia Well with My Soul (Nyamanlah Jiwaku) yang ditulis oleh H. G. Spafford dan mengetahui latar belakang penulisannya. Konon, lagu itu ditulisnya di atas kapal tatkala ia melintasi lautan Atlantik, tempat di mana terkubur ketiga putrinya yang mati tenggelam. Istri dan ketiga putrinya sedang dalam perjalanan ke Eropa sewaktu kapal mereka karam; si istri selamat namun ketiga putrinya meninggal dunia. Penderitaannya tidak berhenti di situ. Bertahun-tahun kemudian Spafford kehilangan putranya yang mati karena sakit. Setelah peristiwa itu, gereja di mana Spafford dan istrinya berbakti, mengucilkannya karena mereka beranggapan bahwa pasangan Spafford ini pasti berhubungan dengan kuasa gelap. Anggapan yang tidak berdasar ini dilandasi atas keyakinan bahwa hanya orang yang berselingkuh dengan setanlah yang akan kehilangan keempat anaknya. Spafford dan istri terpaksa pindah ke tempat yang jauh untuk memulai hidup yang baru. Hari tua Spafford tidaklah terlalu bahagia sebab pada akhirnya ia menderita sakit jiwa.
Apa yang terjadi dengan Spafford sehingga ia yang dapat menulis lagu yang agung dan mencerminkan iman yang kuat itu bisa mengalami sakit jiwa? Spafford tegar menghadapi kematian ketiga putrinya; ia pun tetap tabah menerima kematian putranya. Namun tatkala ia harus dibuang oleh orang-orang yang seharusnya merangkul dan mendukungnya, ia tak kuasa menahan penderitaannya lagi. Sistem pertahanan hidupnya runtuh dan jiwanya pun retak. Mungkin ada di antara anda yang berargumen bahwa seharusnya ia tetap waras sebab bukankah Tuhan mampu menolongnya. Sudah tentu Tuhan membantunya dan jika ia tekun beriman, tidak seharusnya ia mengalami sakit jiwa. Memang betul, namun dalam hidup banyak peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Mestinya kita beriman dan bersandar pada Tuhan, tetapi tidak selalu kita beriman dan bersandar pada-Nya. Mungkin itu yang terjadi pada Spafford; di episode terakhir hidupnya, tanggul pertahanannya bobol akibat tekanan arus yang terlalu kuat. Banjir penderitaan pun menggenangi sukmanya dan melumpuhkan kesanggupannya untuk hidup.
Ada beberapa langkah awal yang dapat kita lakukan untuk memelihara kesehatan jiwa. Pertama, kita harus memaklumi keterbatasan kita. Kita mesti menerima fakta bahwa kita tidak selalu kuat dan pada titik tertentu, kita bisa ambruk. Dalam beberapa kasus mental breakdown yang pernah saya saksikan, saya memperhatikan adanya unsur sikap tidak mengenal batas pada mereka yang mengalaminya. Kita perlu mengenali batas kemampuan kita dan memahami tanda atau sinyal yang dibunyikan tubuh kita, misalnya kesulitan tidur yang berkepanjangan, kesukaran berkonsentrasi, pikiran yang berjalan dengan cepat ibarat balapan mobil, atau perasaan yang naik turun tak terkendali namun lebih banyak turunnya. Semua itu adalah tanda awas yang harus kita terima dengan lapang dada bahwa kita memerlukan bantuan ekstra dari luar. Dengan kata lain, kita sedang berada di ambang batas untuk dapat terus bertahan dengan waras.
Kedua, kita mesti menyadari bahwa sebagian besar kekuatan kita sebetulnya berasa: dari topangan yang kita terima dari luar, misalnya orang-orang di sekitar kita atau lingkungan hidup yang mendukung. Kehilangan ketiga putrinya dan bahkan kematian putranya tidak meruntuhkan Spafford; namun tatkala gereja mencampakkan, ia ambruk. Secara pribadi saya menyadari bahwa saya sehat seperti sekarang ini dikarenakan dukungan moral yang saya terima dari banyak faktor seperti, istri dan anak-anak saya, sanak keluarga yang memperhatikan saya, teman-teman yang begitu akrab dan baik, serta pekerjaan yang memuaskan hati. Saya kita hidup saya akan mejadi sangat lain kika semua unsur di atas ini ditarik keluar dari dalam kehidupan saya. Jadi memang kita perlu memelihara jalinan persahabatan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita. Manusia yang hidup sendiri akan merusak dirinya sendiri.
Sesungguhnya kita adalah orang yang tidak terlalu kuat; kekuatan yang kita miliki sebenarnya hanyalah sesaat dan sebatas kulit permukaan. Kita adalah penerima kekuatan dari pihak lain: Tuhan, orang lain, lingkungan hidup, dan pekerjaan. Hargailah semuanya itu; bersyukurlah karena Tuhan berkenan memberikan semua itu kepada kita. Saya menyimpulkan bahwa kewarasan kita merupakan hadiah dari Tuhan saja. Saya akan akhiri dengan bait pertama lagu Spafford itu (terjemahan bebas) untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak selalu dipenuhi kekuatan dan bahwa jiwa kita tidak selalu dalam keadaan baik.
Tatkala damai - bak sungai - hadir di jalanku.
ketika kesusahan - seperti gelombang besar - menggulung.
Apapun yang terjadi,
Engkau telah mengajarkanku untuk berkata,
jiwaku baik, jiwaku baik.