Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.
Pernah seorang mahasiswa bertanya, "apa sebenarnya Reformed Injili?" Sambil berpikir saya juga bertanya, "menurut Anda sendiri apa?". la segera menjawab, "menurut saya. Reformed Injili adalah istilah yang dipakai untuk menandai suatu gerakan yang dimulai oleh Dr. Stephen Tong, Dr. Caleb Tong dan Bapak sendiri untuk menghidupkan kembali doktrin Reformed yang murni supaya gereja-gereja di Indonesia dapat dibawa kembali kepada Alkitab dan inti iman Kristiani yang benar. Istilah Injili ditambahkan untuk menegaskan keunikan gerakan ini yang menekankan penginjilan."
Memang sebagian besar jawaban di atas ada benarnya, tetapi saya merasa ada beberapa salah mengerti di balik kata Refomed dan Injili, khususnya dalam penjelasan tentang "Injili". Istilah injili atau evangelical seringkali dipakai dengan pengertian yang berbeda-beda. Kebanyakan gereja-gereja Reformed, a.l. gereja Lutheran yang didirikan oleh Martin Luther di Jerman, memakai nama "Injili/ Evangelical church." Seorang tokoh Reformed yang besar, Karl Barth juga menyebut nama theologianya sebagai Theologia Injili/Evangelical Theology". Padahal kedua istilah Injili di atas tidak ada hubungannya dengan "Injili/Evangelical” yang dipakai dalam gerakan baru yang dimulai oleh Dr. Stephen Tong dkk ini.
Istilah Injili yang dipakai dalam gerakan yang baru ini bersumber dari peristiwa sejarah gereja di Amerika di akhir abad XIX pada saat Biblical Criticism diterima oleh pemimpin-pemimpin gereja Presbyterian denominasi PCUSA. Pada saat itu kelompok yang kemudian disebut sebagai kelompok dari Old Princeton School (A.A. Hodge, B.B. Warfield, Gresham Machen dan sebagainya) meninggalkan PCUSA dan Princeton Theological Seminary untuk mendirikan Westminster Theological Seminary di Philadelphia. Mula-mula mereka bergabung dengan kelompok Fundamentalist karena kemiripan orientasi doktrinal sekitar lima fundamental faith. Tetapi kemudian pada tahun 40-an mereka memisahkan diri dari kaum fundamentalist dan mendirikan The National Association of Evangelicals yang mau bekerja sama dengan gereja-gereja Ekumenikal tetapi dengan motto "cooperation without compromise". Tahun-tahun itulah lahir istilah Injili/Evangelical dengan identitas yang khusus sampai sekarang ini. Yaitu kelompok dari berbagai denominasi gereja yang menerima a.l. (1) Alkitab sebagai Firman Allah yang Infallible dan Inerrant, (2) perlunya orang Kristen dilahirkan Baru (Born Again), (3) perlunya kehidupan dalam kesalehan, (4) perlunya orang Kristen memberitakan Injil sebagai respon atas Great Commision, dan (5) perlunya orang Krsiten memikul Mandat Budaya.
Jadi, istilah lnjili/Evangelical bukan hanya menunjuk akan kegiatan penginjilan yang biasanya kurang diperhatikan oleh gereja-gereja Reformed di seluruh dunia. Istilah ini lebih menunjuk pada identitas gerakan yang baru ini, yang menjadi bagian dari movement kelompok Evangelicals dari berbagai denominasi pada permulaan abad XX. Reformed Injii adalah gerakan kaum Reformed tetapi yang Injili atau Reformed yang berorientasi dengan lima aspek yang juga dipercayai oleh setiap denominasi gereja Injii di seluruh dunia. Apakah itu cukup?
Sejarah gereja-gereja Injili di Amerika menyaksikan betapa dengan kelima aspek penting tersebut, gereja belum dapat berperan cukup di tengah dunia. Doktrin dari denominasi-denominasi gereja non-reformed, meskipun telah ditambah dengan kelima aspek Injili yang begitu baik, ternyata tidak menghasilkan peran gereja yang berarti di tengah dunia. Bahkan ada kecenderungan betapa peran gereja makin lama makin merosot. Mengapa demikian? Jawabnya sederhana, yaitu karena unsur terpenting yang dapat menghidupkan kelima aspek Injili/Evangelicalism itu diabaikan. Unsur itu justru menjadi keunikan dan kelebihan Theologi Reformed, yaitu "unsur akali atau intellect".
Memang Alkitab dalam kesederhanaannya, juga merupakan Firman Allah yang terbuka bagi siapa saja termasuk mereka yang level cognitive-nya rendah. Untuk pelayanan dan kesaksian yang sederhana inilah Firman disingkapkan bagi mereka yang sederhana. Tetapi untuk peran dan pelayanan yang kompleks di tengah dunia yang sudah begitu maju, Allah menyediakan misteri atau rahasia kebijaksanaanNya dalam bentuk Firman yang hanya dapat dipahami oleh mereka dengan level cognitive yang tinggi (Ibrani 5:13 - 6:3). Itulah sebabnya pada saat umat Kristen mengabaikan realita perlunya intellectualism, mereka cenderung kehilangan peran di tengah dunia. Hal ini terbukti dalam sejarah gereja di seluruh dunia.
Mula-mula gereja-gereja di Amerika mempunyai peran sangat besar di tengah dunia. Pada permulaan abad XIX, kaum Puritans dari Inggris merupakan kumpulan orang-orang Kristen yang berpendidikan tinggi. Kehadiran mereka telah menyebabkan 95% orang yang hidup di Massachusetts dan Connecticut melek huruf (Neil Postman, "Amusing Ourselves to Death", New York: Penguin Books, 1985, p. 31). Beban mereka bukan hanya untuk pemberitaan Injil dan kesaksian hidup dalam kesalehan saja, tetapi juga dalam mendidik manusia dengan level pendidikan yang setinggi-tingginya. Mereka mendirikan sekolah tinggi (colleges), mengharuskan orang tua mengajar anaknya membaca dan menulis sebelum usia 6 tahun, dan menggalakkan pendidikan seni, sains, filsafat dan setiap bidang hidup sebagai perwujudan iman kepada Allah dalam Yesus Kristus. Setiap hamba Tuhan haruslah seorang yang berpendidikan tinggi, menguasai bidang-bidang ilmu pengetahuan, dan dapat membimbing jemaatnya dalam setiap tantangan hidup mereka (Alien Garden, "'Puritans Christianity in America", Grand Rapids: Baker, 1990). Hamba Tuhan Puritan yang terkenal, Cotton Mather menegaskan bahwa, "Ignorance is the mother not of devotion but of heresy (Kurang pengetahuan adalah sumber dari kesesatan, dan bukan dari ibadah)" (Garden, p. 186).
Peran ini kemudian luntur di pertengahan abad XIX justru oleh bangkitnya pemberitaan Injil sebagai suatu budaya (Ingat, "suatu budaya"). Pemberitaan Injil itu ansich adalah hal yang amat mutlak penting, tetapi pada saat hal yang penting itu sudah menjadi budaya, justru dapat menghasilkan dampak dan efek sampingan yang merugikan. Hal itulah yang penulis tegaskan dalam bagian depan dari tulisan ini. Betapa Injli/Evangelicalism menjadi unsur yang melemahkan peran gereja di tengah dunia, pada saat penginjilan dijadikan budaya baru umat Kristiani.
Pada pertengahan abad XIX itu, arus dari Great Awakening dari Inggris (yang mulai di Inggris pada abad XVIII) melanda Amerika. Arus itu belum berdampak besar pada saat Great Awakening yang pertama yang dipimpin oleh tokoh Reformed, George Whitefield tahun 1730 dan 1750. Tetapi kemudian dampaknya mulai terasa pada saat terjadi Great Awakening kedua dan ketiga, yang dipimpin oleh Charles Finney tahun 1824-1837, dan diteruskan dalam bentuk Layman's Prayer Revival tahun 1856-1858. Saat-saat itu terjadi kebangunan rohani yang besar-besaran. Ratusan ribu orang Amerika menerima Kristus, dan gereja-gereja berkembang begitu pesat dalam jumlah keanggotaan mereka. Namun sayang sekali pemberitaan Injil tersebut telah membentuk budaya yang sekali lagi justru melemahkan peran Kristiani di tengah dunia. Pengkhotbah-pengkhotbah besar menekankan perlunya pertobatan mendadak (terbukti dengan maju ke depan) lebih daripada pengenalan yang benar dan mendalam akan Firman Tuhan. Khotbah-khotbah yang populer, emosional dan praktis (didasarkan pada tafsiran allegorical) lebih daripada khotbah-khotbah doktrin yang solid yang didasarkan atas hermeneutical accuracy/penafsiran yang tepat. Akibatnya benarlah seperti yang disinyalir oleh George Marsden yang mengatakan bahwa, "anti-intellectualism was a feature of American revivalism (anti-intelektualisme adalah salah satu wujud dari kebangunan rohani di Amerika) ("Fundalitalism and American Culture", New York: Oxford, 1980, p. 212). Spirit yang melemahkan ini terus terbawa sampai sekarang ini. Riset yang dilakukan oleh Galiup Poll on Religion tahun 1980 menyimpulkan keadaan yang ada dengan kata-kata: "We are having a revival of feelings but not of the knowledge of God. The church today is more guided by feelings than by confictions. We value enthusiasm more than inform commitment (Benar kita sedang mempunyai kebangunan, tetapi kebangunan feelings atau emosi dan bukan kebangunan pengetahuan tentang Allah). Gereja-gereja jaman ini lebih dituntun oleh emosi daripada oleh keyakinan iman. Kita menilai semangat yang berkobar-kobar lebih dari komitmen yang didasarkan atas pengenalan akan kebenaran". Nada yang sama diungkapkan oleh R.C. Sproul yang menegaskan bahwa, "We live in what may be most anti-intellectual period in the history of Western civilization ... We must have passion - indeed hearts of fire for the things of God. But that passion must resist with intensity the anti-intellectual spirit of the world (Barangkali kita hidup di tengah jaman yang paling anii-intelektual di sepanjang sejarah kebudayaan Barat... Kita harus memiliki kerinduan besar dari had yang terbakar untuk kebenaran-kebenaran Allah, tetapi kerinduan tersebut harus mewujudkan diri dalam bentuk yang sungguh-sungguh melawan spirit ami intelektual yang ada di dunia ini)"' ("Burning Hearts are Not Nourished by Empty Heads", Christianity Today, 26, Awpt.3, 1982, p. 100).
Injili adalah sesuatu yang baik. Pemberitaan Injil adalah hal yang sangat mulia, tetapi tanpa intellectualism, hal yang baik tersebut dapat membentuk budaya yang justru melemahkan peran Kristen di tengah dunia. Reformed memberi jawab atas kekurangan tersebut dan Theologi Reformed Injili merupakan salah satu kebutuhan mutlak untuk zaman ini. Kiranya Tuhan berkenan dan memberkati hati yang tulus ingin mempersembahkan yang terbaik untukNya. Soli Deo Gloria