Oleh: Pdt Yakub Susabda, Ph.D.
Salah satu kegagalan yang paling menyedihkandari umat Kristen adalah kegagalan untuk dapatmenjadi berkat bagi dunia. Sejak umat Allah memiliki identitasnya sebagai bangsa yang kudus, memiliki hukum dan tanah perjanjian, masa peperangan dan permusuhan dengan bangsa-bangsa lain sebenamya sudah berakhir. Janji Allah kepada Abraham akan digenapi (Kej 12:2-3). Umat Allah akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain diseluruh muka bumi, karena memang untuk maksud itulah pemilihan dan keselamatan dianugerahkan kepada mereka (Yes 2:1-5). Yoshua 24 menyaksikan bahwa umat Israel ditempatkan oleh Allah ditengah bangsa-bangsa lain dengan resiko sangat tinggi karena ilah-ilah mereka menarik untuk disembah dan sikap bangsa-bangsa lain yang cenderung mempersulit dan menganiaya umat Allah (Luk 10:3, Yoh 17:14-19). Meskipun demikian mereka terpanggil bukan untuk berperang tetapi untuk menjadi berkat. Memang peperangan yang tak terhindarkan masih mungkin terjadi, tetapi Allah tidak pemah memanggil mereka untuk membinasakan bangsa-bangsa lain, bahkan kerja sama dalam membangun kesejahteraan dan kebenaran harus diciptakan (I Raja 5:1-12; Yer 29:7). Mereka harus mengasihi bahkan mendoakan mereka yang memusuhi (Mat 5:44), karena panggilan "menjadi berkat" adalah salah satu bukti dari iman yang sejati (Mat 5:46).
Sayang sekali panggilan dari Allah ini terus-menerus terabaikan. Sejarah membuktikan fase setelah gereja mula-mula yang berhasil mengemban amanat agung ini (Kis 2:47) diikuti dengan fase-fase sejarah kegagalan umat Kristen yang makin lama makin mendalam. Umat Kristen makin lama makin tidak mampu menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia ini, karena a.l:
I. Jiwa manusia yang cenderung berat sebelah dan egosentristik
Memang Alkitab dengan jelas sekali menyaksikan panggilan Allah untuk bersatu dan memberitakan Injil, tetapi panggilan untuk menjadi satu atau "ut Omnes Unum Sint" (Yoh 17:21, 13:35) dan "pemberitaan Injil, pemuridan dan pembaptisan" (Mat 28:19-20) tersebut diresponi dan dikembangkan secara keliru dan berat sebelah oleh jiwa yang berdosa. Akibatnya yang dihasilkan bukan berkat dan kebaikan tetapi kejahatan yang tersamar. Umat Kristen semakin eksklusif terisolir egoistik dan tak dapat menjadi berkat bagi dunia ini.
Panggilan untuk bersatu saling mengasihi telah diubah menjadi upaya untuk menggalang dan menciptakan "solidaritas kelompok." Persis seperti bangsa-bangsa negara Kapitalis yang berkabung, mengheningkan ciptadan mengutuki terrorisme atas gedung kembar World Trade Center di New York dan Pentagon di Washington DC tanggal 11 September 2001 yang lalu, begitu juga umat Kristen "hanya" berkumpul berdoa puasa untuk kepentingan gereja setelah pembakaran gedung-gedung gereja dan penganiayaan di beberapa daerah di Indonesia. Yang dihasilkan adalah hidup suburnya jiwa egocentrism, eksklusifitas dan merasa benar sendiri. Bukannya doa memohon pengampunan dan belas kasihan untuk mereka yang menganiaya tetapi kebencian dan keinginan untuk membalas. Sikap mengheningkan cipta dan keprihatinan hanya diberikan untuk kepentingan kelompoknya sendiri dan sikap yang sama tak pemah diberikan untuk kelompok lain yang menderita. Solidaritas memang bagian integral dari "persekutuan (Koinonia)" tetapi solidaritas tanpa jiwa koinonia adalah persekutuan tanpa kehadiran Kristus (Mat 18:20). Sehingga fungsinya bukan kemenangan atas dosa tetapi bahkan sebaliknya justru menstimulir menghidupkan dosa.
Begitu juga panggilan untuk memberitakan Injil. Panggilan agung yang sering disebut dengan "The Great Commission" ini juga hadir dalam hati manusia yang berdosa sebagai hal yang tercemar dosa.Akibatnya pemberitaan Injil yang seharusnya lahir dari jiwa yang penuh dengan belas kasihan dan cinta kasih Kristus atas mereka yang masih hidup dalam kegelapan, berubah menjadi "proselitisme," semata-mata ingin pertambahan jumlah. Pemberitaan Injil bisa menjadi mode religiusitas tanpa hati nurani, karena yang dibanggakan adalah keberhasilannya sehingga dalam kepuasan batin mereka, sukacita malaikat (Luk 15:10) untuk pertobatan orang berdosa tidak ada. Tidak heran jikalau spirit pemberitaan Injil yang berkobar-kobar, seperti pada akhir abad XIX dan permulaan abad XX (Great Awakening) bisa menghasilkan kematian peran umat Kristen di dunia ini. Dosa menyebabkan spirit pemberitaanInjilmenghasilkan"anti-intellectualism" ("Fundamentalism and American Culture" New York: Oxford, 1980, p. 212), padahal "anti-intellectualism" menghasilkan kematian peran umat Kristen dalam hampir semua bidang kehidupan. Peran umat Kristen makin lama makin kecil sampai terjadi "pemutarbalikan posisi," dari "sumber berkat"menjadi"objek perubahan paradigma." Kekristenan harus menyesuaikan din dan menanggalkan prinsip-prinsip utama identitas mereka, atau mereka akan semakin terisolir dan terasing bahkan di antara saudara-saudara seiman mereka sendiri.
Jacques Ellul dalam The Technological Society telah mensinyalir hal ini. Di tengah budaya baru yang diciptakan oleh perkembangan teknologi, hampir setiap ruang untuk mengaplikasikan iman Kristen tertutup, termasuk bersekutu dengan saudara seiman. "Natural Grouping" seperti misalnya "persekutuan orang percaya" tak ada lagi. Yang ada adalah "Technological Society" sehingga antara hambaTuhan punmunculpersaingandan kecemburuan(envious)yangsangatbesar. Hancurnya"cohesivepersonalrelationship/keterikatan relasi dengan sesama" ini menutup kemungkinan bagi umat Kristen untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia ini.
II. Sikap umat Kristen di tengah kegagalan mereka untuk menjadi berkat
Kegagalan untuk menjadi berkat juga telah menyeret umat Kristiani kedalam kesalahan-kesalahan lain yang makin menceraikan mereka dari dunia. Entah mulai kapan telah tercipta budaya Kristen yang ekslusif yang memberikan perasaan keterasingan (sense of alienation), permusuhan (sense of antagonisme) dan penolakan terhadap dunia. Meskipun Alkitab sendiri mengajarkan pemakaian "pelayanan" sebagai bahasa inklusif dalam hubungan dengan dunia (Mat 25:34-40) dan mengingatkan bahwa bahasa eksklusif dengan simbol-simbol iman Kristen tak berfaedah untuk dipakai pada saat hati manusia masih tertutup (Mat 7:6), namun umat Kristen belum berhasil mengintegrasikan kedua kebenaran tersebut dalam sikap mereka terhadap dunia. Mereka terjebak dalam berbagai ekstrem, seolah-olah pemberitaan Injil memang harus konfrontatif dengan resiko penolakan dan kebencian dunia terhadap mereka. Seolah-olah pengalaman nabi-nabi dan rasul-rasul dengan penganiayaan oleh karena Injil adalah "satu-satunya kemungkinan" yang memang menjadi ketetapan Tuhan. Mereka lupa bahwa sebagian besar penolakan dan kebencian dunia atas umat Kristen terjadi oleh karena kesalahan dan kelemahan mereka, dan bukan oleh karena kesetiaan mereka pada Injil Yesus Kristus.
Tuhan Yesus memang sudah memprediksi kebencian dunia atas umat Kristen (Yoh 17:14) tetapi Dia tidak pemah mengajarkan tingkah laku yang akan menimbulkan kebencian. Berulang kali Alkitab menyaksikan kehadiran yang "sangat positif dari umat Allah di tengah dunia (Ishak di Bersyeba - Kej 26; Jusuf di Mesir - Kej 39-50; keluarga Elimelekh di Moab dalam kitab Rut; dan Daniel di Babel). Oleh sebab itu untuk lebih memahami realita kegagalan untuk menjadi berkat beberapa fenomena di bawah ini perlu diwaspadai, yaitu:
1. Perasaan takut dan allergi terhadap umat beragama lain yang ada di sekitar kita
Mengapa ada ketakutan dan allergi terhadap umat beragama lain? Mengapa demikian? Apakah kita sebagai umat Kristen ikut andil mencipta kondisi tersebut? Apakah fakta intimidasi yang seringkali kita jumpai, dimana dunia dan kelompok-kelompok fanatik dari umat beragama lain secara sengaja menekan dan menunjukan sikap permusuhan terhadap kita, terjadi sebagai konsekuensi logis dari kehadiran kebenaran Allah dalam din kita atau itu terjadi oleh karena kelemahan dan kecerobohan kita sendiri? Apa sebenamya yang kita takuti? Mengapa kita begitu kuatir untuk masa depan gereja, untuk pemuda-remaja dan anak-anak kita? Mengapa ketakutan ini adalah ketakutan kepada "umat beragama lain dan bukan ketakutan akan ketidak-bertanggungjawaban kita sebagai umat Kristen? Bukankah Alkitab sendiri sudah mengajarkan alasan dan objek ketakutan yang "appropriate" yaitu takut hanya kepada Allah saja (Luk 12:4-5) atau takut berbuat dosa?
Ketakutan yang tidak "appropriate" biasanya lahir dari pemahaman yang keliru tentang kebenaran firman Allah. Panggilan untuk memberitakan Injil, misalnya, telah berubah menjadi hukum keharusan untuk memberitakan Injil bagi setiap orang Kristen dengan cara dan pendekatan yang sama. Akibatnya pemberitaan Injil dilakukan “di luar konteks menjadi berkat” dan jiwa toleransi menghargai perbedaan yang merupakan modal utama untuk menjadi berkat tidak ada lagi. Seolah-olah toleransi menghargai perbedaan merupakan sikap yang keliru oleh karena merugikan dan membahayakan eksklusifitas iman sehingga perlu dihindari jauh-jauh. Hasilnya, pemberitaan Injil hampir selalu dilakukan di luar konteks dialogis hubungan pribadi yang baik atau di luar konteks memperlakukan objek pemberitaan Injil sebagai satu pribadi yang seutuhnya. Tidak heran jikalau banyak orang Kristen melakukan pemberitaan Injil dengan ketakutan dan kecemasan. Mereka takut oleh karena Injil yang begitu penting harus disampaikan di luar konteks "kepedulian yang sesungguhnya" terhadap sesama. Resikonya tinggi, karena mereka yang menjadi objek pemberitaan Injil tersebut "merasa dirinya diperlakukan bukan sebagai manusia yang seutuhnya."
2. Sikap mengisolasi dan bermusuhan terhadap dunia
Memang Alkitab menyaksikan perbedaan hakiki antara umat Allah dengan apa yang disebut sebagai "dunia." Tetapi Alkitab juga menyaksikan betapa Allah sangat mengasihi "dunia" dan mengutus Anak-Nya yang Tunggal untuk menyelamatkan dunia. Bahkan Alkitab juga menyaksikan bahwa kita yang sesungguhnya anak-anak dunia telah dipanggil keluar untuk diutus kembali ke dalam dunia. Gereja (ekklesia) adalah kumpulan anak-anak tebusanNya yang ditempatkan "di tengah dunia untuk menjadi berkat bagi dunia." Itulah sebabnya Allah mengijinkan umatNya hidup bersama bahkan bekerjasama dengan "anak-anak dunia" dalam hampir setiap bidang kehidupan. Bahkan sejarah membuktikan bahwa Allah memakai umat beragama lain untuk membawa filsafat Aristoteles kembali mengisi wacana kepedulian terhadap realita kehidupan dalam dunia yang selama berabad-abad telah diabaikan oleh umat Kristen. Theocracy versi Perjanjian Lama sudah dihapuskan, bahkan negara Kristen seperti jaman Constantine sudah ditiadakan. Allah tidak pernah memanggil umat-Nya menjadi “recounstrutionist” yang akan membangun masyarakat dengan prinsip-prinsip hukum dan peraturan yang eksklusif Alkitabiah. Panggilan untuk umat Kristen adalah panggilan untuk menjadi terang dan garam, dan bukan panggilan untuk menjadi ragi (yeast) yang mengubah hakekat atau mengkhamirkan.
Di tengah misteri kehidupan yang diijinkan Allah ini umat Kristen terus-menerus jatuh dalam berbagai kesalahan. Mereka tidak menyadari adanya berbagai peran yang harus mereka mainkan karena satu pihak mereka “bukan milik dunia” tetapi pihak lain “mereka adalah bagian dari realita kehidupan di dunia”. Peran mereka bukan hanya “single” yaitu sebagai “yang lain dari dunia”. Peran mereka“multiple” karena mereka harus hidup bersama, bekerjasama, berdialog, saling tolong-menolong, saling menghormati, bahkan saling mengasihi dengan “anak-anak dunia”. Mereka harus membangun masyarakat dan kehidupan yang lebih baik untuk dihidupi bersama dengan “anak-anak dunia”. Isolasi dan permusuhan adalah dosa.
Sikap isolasi dan permusuhan seringkali tidak disadari. Sikap negatif ini bahkan menjadi pola hidup banyak umat Kristen, khusunya pada saat mereka tidak mampu fleksibel dalam peran “multiple” yang diberikan Allah pada mereka. Mereka dipanggil untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa di dunia, dan panggilan itu tak mungkin terpenuhi jikalau mereka mengisolasikan diri dari dunia ini. Benar seperti yang dipertanyakan oleh Jerram Barrs. “How can we have true communication with people about a gospel of love and self-sacrifice if we distance ourselves from those who need to hear the message?” (Covenant Magazine, August-September 2001, p. 7)